Rabu, 31 Mei 2017

IDE ASLI PEMIKIRAN IBNU SINA TENTANG PENDIDIKAN

BAB I

PENDAHULUAN

Pada zaman kebangkitan Islam (abad VII-XII M), hampir semua sarjana muslim saat itu tidak merasa cukup hanya dengan menguasai satu cabang ilmu pengetahuan saja, Para ilmuan muslim pada saat itu mengusai pelbagai disiplin ilmu. Kecenderungan seperti ini merupakan sebuah kebiasaan para tokoh Islam dalam rangka meningkatkan kualitas diri sekaligus sebagai upaya untuk mengembangkan dan memajukan pelbagai disiplin ilmu di dalam agama  Islam. Hal ini dilatarbelakangi oleh dasar dan pandangan sarjana muslim Islam sendiri terhadap eksistensi dan pentingnya penguasaan pelbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Periode renaisans modern dalam islam di tandai dengan munculnya perjuangan-perjuangan politis untuk melepaskan diri dari dominasi asing dan komformisme dalam Kehidupan dan pemikiran. Para filosof pada masa itu bukanlah sekedar filosof akan tetapi juga pemimpin politik dan pembaharu sosial dan eksekutif.
Di antara sekian banyak tokoh pemikir Islam yang menguasai beberapa cabang ilmu pengetahuan ialah Ibnu Sina.Ia tidak hanya seorang ahli di bidang kedokteran kelas dunia saja, akan tetapi ibnu sina juga seorang yang cakap di bidang sains dan falsafah. Di samping itu Ia juga merupakan ahli politik yang lincah dan ahli kemasyarakatan yang berkaliber dunia.
Orang-orang Eropa mengenalnya dengan Avicenna yang disebut sebagai “thegreatest Muslim thinker and the last of the Muslim philoshopher in theEast”.[1] Ibnu Sina terkenal sebagai “Father Of Doctor” dan masih banyak lagi sebutan baginya yang berkaitan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran.Karyanya yang sangat terkenal adalah al-Qanun fi al-Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad. Meskipun ia lebih dikenal sebagai seorang filosof dan ahli di bidang kedokteran, namun disiplin ilmu yaang lain tak lupa pula ia pelajari.













BAB II

PEMBAHASAN

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Maslah ketiga dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain.
Nama lengkapnya Abu Ali Al-Husain Ibnu Abdullah Ibnul Hasan Ibnu Ali Ibnu Sina.[2] Ayahnya bernama Abdullah dari Balkh dan Ibunya Astarah dari Afghanistan.[3] ada juga yang menyatakan bahwa ibu Ibnu Sina berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 M Afghanistan berada di bawah kekuasaan Persia (Abudddin Nata,2000:60) dilahirkan di desa Akhsyana, dekat Bukhara pada bulan shafar bertepatan dengan bulan agustus tahun 370 H/980 M[4], Ulama berbeda pendapat menegenai tahun kelahiran ibnu sina[5], Namun menurut pengamatan penulis dari berbagai referensi yang penulis baca, penulis cendrung berpendapat bahwasanya ibnu sina lahir pada tahun 370 H/980 M. sebagaimana menurut ibnu sina sendiri :
“Ayahku berasal dari balkh yang pindah ke bukhara pada masa Amir Nuh Bin Mansur, selama Amir Nur Bin Mansur memerintah dia pekerjakan di bagian administrasi yang ia percaya sebagai penguasa desa dari salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Bukhara, di sebut Kharmaitan salah satu desa terpenting di wilayah ini. Dekat dengan daerah ini yang disebut Afhsana, dimana ayahku telah menikahi ibuku (namanya adalah Shitara) dan diamana ia bertempat tinggal dan hidup. Aku lahir disana sebagaimana kakakku, dan kemudian kita pindah ke bukhara. Guru al-Qur’an dan guru kesusteraan telah disediakan untukku, dan ketika aku berumur 10 tahun aku telah menyelesaikan hafalan al-Qur’anku dan beberapa karya sastra, oleh karena itu orang sangat kagum kepadaku.”[6]
Ibnu Sina dapat gelar dari ilmuan-ilmuan islam pada masanya dengan “As-Syeikh” dan “Ar-Rais”. As-Syeikh dimaksudkan semacam gelar tingkat keilmuan yang luas atau semacam guru besar. Ar-Rais adalah Pemimpin/Kepala dimaksudkan sebagai kepala pemerintahan karena beliau pernah menajabat kepala pemerintahan pada Daulah Hamdaniyah zaman Amir Syamsud Daulah.[7] Karena ibnu sina telah diperkenalkan oleh ayahnya dengan ilmu politik ketika beliau masih muda. Ibnu sina menceritakan tentang hal ini :
“ayahku adalah seorang yang mengikuti aliran dari seorang Propagandis dari mesir, dan termasuk menjadi pengikut aliran Ismai’iliyyah. Dari mereka aku dengar uraian tentang ilmu “jiwa dan rasio” menurut aliran yang mereka anut dan mereka ketahui. Begitu juga saudaraku menerimanya. Sering aku ikut msuyawarah mereka, dan aku mengetahui seluruh pendirian mereka, tetapi jiwaku tidak mau mnerimanya.”[8]
Setelah ayahnya wafat ibnu sina memilih untuk pindah, pada saat itu ia berumur 21 tahun.[9] Jurjan adalah kota peratama yang ia singgahi kemudia ia pindah ke Hamadzan ketika Raja Syamsu Al-Dawlah hendak diobati. Ibnu sina adalah belia yang cerdas,karena intelektualitas Ibnu Sina yang cukup refresentatif pada masanya sehingga diberi gelar Al-Syaik Al Ra’is (The Leader Among Wise Men), Hujjat Al-Haqq (The Proof Of God), dan bapak kedokteran islam (Amir Al-Athibba’, The Price Of Physicians).[10] suatu prediksi mulia bagi seorang intelektual professional yang tidak mudah diberikan kepada siapa pun karena eksistensinya yang ketat memikat. Di usia 10 tahun dia sudah bisa hafal al-Qur’an dan alim pelbagai ilmu ke-Islaman yang berkembang saat itu seperti Tafsir, Kalam, Filsafat, Fiqh, Logika, Arsitek serta Pengobatan. Dia belajar Fiqh kepada Ismail Ibn Al-Husain Al-Zahid, belajar Logika dan Arsitek kepada Abu Abd Allah Al-Natili, dan pernah belajar ilmu Kedokteran kepada Ali Abi Sahl Al-Masiti dan Abu Mansur Hasan Ibn Nuh Al-Qomari. selain berguru ibnu sina belajar dan menekuni pelbagai ilmu secara otodidak.[11] Ibnu sina sangat matang dalam ilmu pengetahuantardisional islam dan filsafat yunani, dari al-Qur’an dan hadits dan juga ilmu perangkat atau ilmu yang berkaitan dengan nya. Bahkan, konon ibnu sina hafal methapsysic karya Aristoteles. Dengan demikian tentu saja ibnu sina menguasai karya-karya kuno Plato, Neo-Platonisme, Galen, Al-Farabi dan Ikhwan Al-Safa.[12]
Ibnu Sina mulai menulis karya-karya monumental di berbagai bidang keilmuwan, dengan karya pertamanya berjudul Al-Majmu’u = Copendium (ikhtisar), yang memuat himpunan filsafat ilmu sampai kepada ilmu psikologi dan metafisika. Ibnu Sina tidak pernah berhenti membaca serta tidak pernah bosan menulis buku. Dia memang dikenal kuat memikul tanggung jawab ilmu dan sering tidak tidur malam hanya karena membaca dan menulis. Selain itu, Ibnu Sina tidak mengambil upah dalam mengobati orang sakit. Bahkan dia banyak bersedekah kepada fakir miskin sampai akhir hayatnya.
Ibnu Sina wafat di Hamdzan, Persia pada tahun 428 H (1037 M)[13] dalam usianya yang ke-58 tahun. Dia wafat karena terserang penyakit usus besar. Selama masa hidupnya Ibnu Sina memberikan sumbangan luar biasa terhadap kemajuan keilmuwan. Pemikiran-pemikiran Ibnu Sina di berbagai disiplin ilmu banyak diadopsi oleh ilmuwan masa setelahnya, tidak hanya oleh ilmuwan muslim tetapi juga ilmuwan Barat banyak yang mengadopsi pengetahuan dari karya-karya Ibnu Sina. Dalam rangka memperingati 1000 tahun hari kelahirannya, melalui event Fair Millenium di Teheran pada tahun 1955, Ibnu Sina dinobatkan sebagai “Father of Doctor” untuk selama-lamanya.
Ayah dan saudaranya sangat memperhatikan pendidikan ibnu sina, pendidikan ibnu sina dapat dilihat pada fase-fase berikut ini :[14]
1.      Fase anak-anak sampai berumur 10 tahun, dalam fase ini ibnu sina sudah hafal al-qur’an dan sudah memperlajari kesusasteraan. Ia juga mampu menghafal sebagian besar sastra Arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles setelah membacanya empat puluh kali, kendatipun ia belum memahaminya sampai membaca ulasan al-Farabi.[15]
2.    Fase remaja berakhir pada umur 16 tahun, pada fase ini dia telah mempelajari ilmu hitung, fiqh, pokok ilmu logika dari buku Isogage. dan pokok-pokok ilmu ukur dari buku Eucliedes dan ilmu astroniomi dari buku Almagest. kemudian dia mengusai pula ilmu ketabiban teori dan praktek dan menemukan pula dari hasil-hasil pengalamnnya bermacam-macam pengobatan.
3.    Fase dewaasa berakhir pada umur 18 tahun, pada fase ini dia mengembangkan bacaan dan ilmunya. dia telaah ilmu logika, dan filsafat sehingga ia kuasai ilmu fisika dan matematika. kemudian dia mulai mengarahkan studinya kearah bidang theology (Ilahiyat) maka dibacanya fisika aristoteles dibantu oleh buku-buku Al-Farabi. ketika Amir Daulah Samaniyah Nuh Ibnu Mansur jatuh sakit, dia bersama para tabib yang lainnya ikut serta merawatnya. saat itulah dia berkenalan dengan Amir dan memanfaatkan perpustakaan Amir Daulah tesebut. disini dia menemukan buku-buku Ketabiban, Bahasa Arab, Syair-Syair, Ilmu Fiqh yang terdapat di tempat-tempat lain. seluruh buku tersebut berhasil di telaahnya dan menguasainya.[16]
Dari autobiografi dan karangan-karangannya dapat diketahui data tentang sifat kepribadian ibnu sina, misalya :[17]
1.    Mengagumi Dirinya Sendiri
kekaguman akan dirinya diceritakan sendiri oleh temannya sendiri yakni Abu Ubaid Al-Jurjani.antara lain dari ucapan ibnu sina sendiri, ketika aku berumur 10 tahun aku telah hafal al-Qur’an dan sebagian besar kesusteraan hingga aku dikagumi.
2.    Mandiri Dalam Pemikiran
Ketika bapak dan saudara ibnu sina berdiskusi tentang jiwa dan akal menurut pandangan mereka, ibnu sina mendengarnya lalu memahami diskusi itu. Akan tetapi jiwa ibnu sina tidak dapat menerima pandangan mereka tentang jiwa dan akal karna ibnu sina memliki karakteristik sendiri dalam pemikirannya.
3.    Menghayati Agama
Setiap argumentasi ibnu sina terklebih dahulu memperhatikan muqaddimah qiyasiyah nya setepat-tepatnya, juga ia perhatikan kemungkinan kesimpulannya. Di peliharanya syarat-syarat muqaddimahnya sampai ia yakin kebenaran masalah itu.
4.    Rajin mencari ilmu
Menurut keterangan beliau : “saya tenggelamkan dalam studi ilmu dan membaca selama satu setengah tahun. Aku tekuni studi bidang logika dan filsafat, saya tidak tidur satu malam suntuk selama itu”.
5.    Pendendam
Dia meredam dendam itu dalam dirinya terhadap orang yang menyinggung perasaannya, dan ia hormat apabila ia dihormati.
6.    Cepat melahirkan karangan.
Dalam hal karya tulis Ibnu Sina termasuk filsuf muslim yang paling produktif, dilihat dari umur kalender kehidupannya memang terhitung pendek. Akan tetapi, ketika kita lihat dari amal baktinya sebenarya ia berumur panjang. Karena karya nya yang selalu dijadikan pedoman sepanjang masa.
Pemikiran Ibnu Sina ada yang mengenai  filsafat dan ada juga mengenai ilmu-ilmu lainnya.[19] Pemikirannya tentang filsafat bermacam-macam ada yang berkaitan dengan ilmu fisika dan ada pula yang berkaitan dengan ilmu ketuhanan.[20] Pemikiran Ibnu Sina secara mendasar mempengaruhi perumusan kembali teologi katolik Roma yang dilakukan oleh Albert yang agung dan terutama oleh Thomas Aquinas. Penulis akan mencoba membahas penafsiran ibnu sina tentang doktrin filsafat yunani. Elemen-elemen doktrin ibnu sina adalah yunani, dan beberapa perumusan kembali tentang doktrin-doktrin yunani dan dapat pula ditemukan pada pemikiran Al-Farabi (yaitu seseorang filsuf muslim yang sangat berjasa besar terhadap pemikiran ibnu sina).[21]
Karakteristik paling mendasar dari pemikiran ibnu sina adalah pencapaian defenisi dengan metode pemisahan dan pembedaan konsep-konsep secara tegas dan keras. Tata cara ini memungkinkan untuk merumuskan kembali prinsip-prinsipnya yang sangat umum dan mendasar bahwa pada setiap konsep yang jelas dan berbeda. Suatu prinsip yang pada akhirya Descrates menggunakan sebagai dasar dari tesis nya tentang dualisme akal-tubuh. Ibnu sina selalu melakukan pembuktian-pembuktian tentang dualisme tubuh dan akal, Doktrin Universal, teorinya tentang esensi dan eksistensi dan sebagainya. Contoh dari prinsip ini adalah “bahwa apa yang disahkan dan diizinkan, berbeda dengan apa yang tidak disahkan dan tidak diizinkan”[22] dan “ suatu konsep tunggal secara keseluruhan tak dapat diketahui dan tidak diketahui secara bersamaan, kecuali terhadap aspek-aspek yang berbeda”[23]
1.    Doktrin tentang wujud
Perarakan intelegensi imaterial dari wujud tertinggi dengan cara pemancaran di maksudkan untuk membahas sesuai dengan pendapat yang diilhami oleh teori  pemancaran Neo-Platonik. Pendapat yang lemah dan tak dapat dipertahankan dari aristoteles yang mengatakan bahwa tidak ada terusan dari Tuhan Yang Esa kepada dunia. Kemudian para filsuf muslim mengolah kembali tradisi filsafat yunani, tidak hanya membangun sistem yang rasional akan tetapi juga sistem yang rasional yang beruapaya mengintegrasikan tradisi islam.
Adanya tuhan adalah suatu keniscayaan, dan adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan di turunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa tuhan itu  tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lain juga tidak akan ada.[24] Tuhan menciptakan sesuatu karena adanya keperluan yang rasional. Dengan dasar keperluan yang rasional ini, ibnu sina menjelaskan prapengetahuan Tuhan tentang semua kejadian, seperti apa yang kita lihat pembahasannya tentang Tuhan. Dunia ada secara keseluruhan bukan karena kebetulan, tetapi diberikan oleh Tuhan. Ia diperlukan dan keperluan ini diturunkan dari tuhan. Inilah prinsip ibnu sina tentang eksistensi secara singkat.[25]
Ibnu sina berkeyakinan bahwa hanya dari bentuk dan materi saja anda tidak akan pernah mendapatkan eksistensi yang nyata[26], tetapi hanya kualitas-kualitas esensial yang betulan. Ibnu sina telah menganlisis dalam kesempatan yang panjang, hubungan dan bentuk materi dalam Al-Syifa (“Met” II, 4 dan “Met” VI,1), dimana ia menyimpulkan bahwa bentuk dan materi itu bergantung kepada tuhan (atau akal aktif) dan lebih jauh bahwa eksistensi yang tersusun juga tidak bisa hanya disebabkan oleh bentuk dan materi saja, akan tetapi harus ada sesuatu yang lain. Akhirnya, di dalam (“Met” VIII, 5)  ia menjelaskan kepada kita bahwa ”segala sesuatu kecuali yang esa, yang esesnsi-Nya adalah tunggal dan maujud, memperoleh eksistensi-nya dari sesuatu yang lain di dalam dirinya sendiri, ia layak untuk mendapatkan ketidakadaan yang mutlak. Sekarang,  ia bukan materi sendiri tanpa bentuknya,atau bentuk sendiri tanpa materinya yang layak mendapatkan ketidakaadaan itu, tetapi adalah semuanya (bentuk dan materi).[27]
Menurut ibnu sina, esensi mewujud dalam pikiran Tuhan dan dalam intelegensi-intelegensi dalam pikiran aktif sebelum hal-hal yang ada itu mewujud dalam dunia lahiriah, dan mereka juga ada dalam pikiran kita setelah mereka itu mewujud. Tetapi kedua tingkat esensi ini sangat berbeda. Dan perbedaan itu tidak hanya karena adanya pengertian bahwa yang satu bersifat kreatif sedangkan yang lain bersifat imitatif. Tetapi sesungguhnya esistensi itu tidak universal dan tidak pula khas, tetapi hanyalah esensi. Kekhasan dan universalitas adalah “kejadian” yang terjadi pada esensi.[28]
2.    Hubungan Jiwa-Raga
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang jiwa. Sebagai Al-Farabi ia juga menganut paham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama demikian seterusnya sehingga tercapai akal kesepuluh dan bumi. Dari akal kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal sepuluh adalah Jibril. [29]
Berlainan dengan Al-Farabi, Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat-sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika ditijau dari hakikat dirinya dan atau Necessary By Virtue Of The Necessary Being Dab Possible In Essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga objek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagi wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran-pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal, dari pemikiran tentan dirinya sebagi wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tenang dirinya sebagai mugkin wujudnya timbul langit-langit.
Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan jiwa dan raga. Akan tetapi semua pemikiran Aristoteles menolak kecendrungan suatu pandangan dua subtansi,  Yang mana menurut ibnu sina dipandang sebagai bentuk dari dualisme radikal. Ibnu Sina tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan mengenai hubungan jiwa dan raga.
Afinitas alasan ibnu sina dengan Cogito Ergo Sumnya Descrates telah ditunjuk oleh para ahli sejarah filsafat. Sesungguhnya semua kecendrungan pemikiran ini diilhami oleh Pemikiran Plotinus tentang keterpisahan jiwa dengan tubuh.[30] Tetapi terdapat perbedaan penting apa yang telah di rumuskan oleh Ibnu Sina dan Descrates. menurut Descrates, bahwa kesadaran atau “saya pikir” termasuk dalam “saya” begitulah menurut Descrates, “saya fikir” dan “saya adalah” mempunyai kesamaan makna.[31] Maka jelaslah bahwa dalam hal ini kesadaran diri dan keberadannnya secara logis tak dapat dipisahkan. Tapi menurut ibnu sina, unsur kesadaran itu ada sejak seseorang dapat mengukuhkan keberadannya sendiri, hal itu betapa pun ada hanya sebagai cara untuk menempatkan diri, ia adalah kenyataan yang mungkin, dan bukan suatu kemestian yang logis.
Ibnu sina telah meghabiskan satu bab khusus dalam membahas antara hubungan jiwa dan raga ini yang mana mendasarakan keberagaman indra pada perbedaan-perbedaan kualitatif yang terdapat diantara kerja mental. Walaupun demikian, ia berulang-ulang menekankan perlunya ikatan terpadu (ribat) bagi kerja yang beraneka ragam itu.[32]
Sungguh ia menyatakan bahwa fungsi-fungsi vegetatif dan perseptual pada manusiapun, misalnya secara spesifik berbeda dengan fungsi-fungsi yang ada pada tumbuh-tumbuhan dan hewan, karena rasionalitas yang ada pada manusia tersebut yang melingkupi dan mengubah karakter semua fungsinya. Azas terpadu inilah pikiran itu sendiri.
Ibnu sina dalam memandang hakikat jiwa dipengaruhi oleh Aristoteles tentang manusia sebagaimana layaknya benda alam yang terdiri dari dua unsur yaitu madad (materi) dan shurat (form),[33] ibnu sina mendefenisikan jiwa dengan Jauhar  rohani. Defenisi ini mengisyaratkan bahwa jiwaa merupakan substansial rohani, tidak tersusun dari materi-materi sebagaimana jasad.
Menurut ibnu sina, hubungan antara jiwa dan raga itu sangat erat, keduanya saling bekerjasama antara terus menerus. Jika jiwa tidak ada, maka jasadpun tidak ada, karena jiwa adalah sumber kehidupannya, yang mangatur baik urusan maupun potensi. Jika jasad tidak ada, maka jiwapun tidak ada. Karena untuk menerima jiwa, jasad adalah syarat bagi adanya jiwa itu sendiri.
3.    Teori pengetahun
Sesuai dengan tradisi yunani yang universal, Ibnu Sina memberikan seluruh ilmu pengetahuan sebagai jenis abstraksi untuk memahami bentuk suatu yang diketahui. Persepsi indrawi memerlukan sekali kehadiran materi yang nyata. Tetapi tidak dapat memahami tanpa pelekatan-pelekatan dan kejadia-kejadian materi yang memberikan kekhususan kepada imajinasi, sedangkan dalam akal sendiri bentuk murni dimengerti secara universal. Juga mungkin sekali ibnu sina menjelaskan teori “tentang tingkatan-tingkatan abstraksi-abstraksi” ini untuk menghindari keberatan-keberatan itu, yang tentang keberatan aristoteles tantang pengertian (menurut doktrin ini seluruh pengertian merupakan abstraksi bentuk “Tanpa materi-nya”) bertanggung jawab, yaitu kila persepsi adalah pengetahuan tentang bentuk semata-mata, maka bagaimana kita tahu bahwa bentuk ini mewujud pada materi ? atau sungguh bagaiman kita tahu bahwa materi sama sekali ada.
Kedudukan ibnu sina pada persepsi secara umum adalah kedudukan reaisme yang naïf, seperti kedudukan aristoteles dan para pengulasnya yang memandang persepsi secara representasi. Namun setelh mendapat kritik dari skepsistisme dan relatifisme yang menunjukkan relatifitas kualitas-kualitas yang tercerap, pandangan secara ralatifisme ini benar-benar termodifikasi dan akhirnya ibnu sina menerima pandangan kausal-semu atau lebih tepat relasional tentang kualitas-kualitas persepsi yaitu  objek-objek yang memiliki kualitas-kualitas nyata, hal ini bertanggung jawab atas bebrapa pertanyaan subyektifis Ibnu Sina yang membedakan antara presepsi primer dan presepsi sekunder. Presepsi primer bersifat subyektif atau merupalan keadaan pikiran orang yang menjerat, sedangkan presepsi sekunder merupakan keadaan lahiriyah. Ibnu Sina tidak benar-benar melihat, seperti kita orang-orang modern, kesulitan-kesulitan mendasar pada kedudukan ini. Namun konsepsinya muncul kembali dalam filsafat barat abad pertengahan sebagai pembeda antara objek psikologis atau intensional dan objek yang nyata, suatu pembedaan yang lama kemudian dikembangangkan oleh locke menjadi pembedaan kualitas-kualitas presepsi sekunder.
Tetapi kunci utama doktrin Ibnu Sina tentang presepsi ialah pembedaan antara presepsi internal dan eksternal. Presepsi eksternal ialah kerja panca indera eksternal Ibnu Sina pun membagi-bagi presepsi internal menjadi ima unsure kendatipun ia menunjukan keraguan yang amat sangat terhadap subyek ini (lihat “Psychology”, IV, I). Tujuan utama dari Ibnu Sina adalah memisah-misahkan fungsi atau kerja yang berbeda secara kualitatif dan tentu saja kita ingat lagi tentang prinsipnya bahwa pad setiap gagasan yang jelas pasti terdapat perbedaan dalam realitasnya.
Kini kita beranjak pada doktrin tentang akal yang telah diulas secara sangat terperinci oleh Ibnu Sina. Ia telah mengambil alih dalam doktrinya itu teori dalam perkembangan akal manusia yang dikumandagkan oleh Aristoteles secara sangat singkat dan agak kabur kemudia diperjelas oleh Alexander dari Aphrodisias dan kemudian oleh Al-Farabi. Namun Ibnu Sina telah menambahkan penafsiran-penafsiranya sendiri yang teramat baru dan asli.  Secara singkat, membedakan akal potensial pada manusia dan akal aktif diluar manusia, yang karena pengaruh serta petunjuknya akal potensial berkembang dan menjadi matang. Pada dasarnya, yang menjadi masalah adalah asal kesdaran manusia hal ini dijelaskan berdasarkan anggapan tentang akal transenden supra-manusiawi yang bila akal manusia siap menerimanya, meanugerahkan pengetahuan kepada akal manusia.
Berlawanan dengan Alexander, Al-Farabi, dan mungkin juga Aristoteles, Ibnu Sina beranggapan bahwa akal potensial pada manusia adalah unsur yang tak dapat dibagi-bagi, tidak bersifa materi dan tak dapat dirusak sekalipun akal ini dibangkitkan pada waktu tertentu dan sebagai sesuatu yang bersifat pribadi bagi setiap individu.
4.    Ajaran tentang kenabian
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu Ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan: intelektual, imajinatif, keajaiban, dan sosiopolitis. Totalitas keempat tingkatan ini member kita petunujuk yang jelas tentang motivasi, watak, dan arah pemikiran keagamaan. Memang, dari gambaran dan penafsiran sepihak kami tetntang proposisi filosofis sentralnya sejauh ini, jiwa kegamaanya telah muncul dengan jelasnya. Teori tentnag “ada” telah membawa kepada kebergantungan setiap makhluk tertentu kepada Tuhan dan ajran-ajarannya tentang jiwa-raga serta asal kejadia dan sifat pengetahuan bermuara pada konsepsi keagamaan tentang keajaiban-keajaiban disatu pihak dan tentang pengetahuan kewahyuan dilain pihak. Dan ada sedikit kesan bahwa nafas kegamaan merupakan sesuatu yang sengaja diselipkan kedalam pemikiran rasionalnya yang murni. Tetapi sebaliknya, nafas keagamaan itu secara organik telah menumbuhkan suatu proses rasiosinasi yang tepat, lalu menghujam kedalam inti dasar pemikiranya.
Bisa dikatakan bahwa Ibnu Sina adalah warga dunia spiritual- intelektual, helenis dan Islami. Dalam pemikiranya ia pada haikatnyatelah menyatkan tentang kedua dunia tersebut sedemikian rupa sehingga keduanya menjadi identik, degan demikian masalah tentang ketidak setiaan kepada salah satu dari keduanya sama sekali tidak timbul pada dirinya. Dalam keadaan demikian, baik Islam tradisional maupun warisan budaya helenisme tak pelak lagi ditafsirkan dan dimodifikasi sampai pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil. Hal ini tampak pada keseluruhan falsafahnya yang secara teknis memasuki bidang agama, tetapi yang paing gambling tampak pada doktrinya tentang kenabian. Dalam doktrinya ini, Ibnu Sina secara drastis memodifikasi teologi dogmatis musilm dengan menyatakan bahwa wahyu di dalam al-Quran pada umumnya tidak keseluruhan merupakan kebenran simbolis, bukan kebenran harfiyah tetapi wahyu itu harus tetap sebagai kebenaran harfiyah bagi orang awam (ini tidak berarti bahwa Quran itu fiman Tuhan sebenarnya, seperti akan kita lihat nanti dalam arti harfiyah memang al-Quran adalah firman Tuhan). Memang, bangsa Yunani tidak memiliki konsepsi kenabian dan wahyu kenabiamsebaga mana dikenal oleh umat Islam. Sebenarnya konsepsi Muslim tentang kenabian ini baru dan unik dalam sejarah agama. Menurut para filosof Muslim (terutama Ibnu Sina, karena walaupun Al-Farabi telah mempelopori jalanya kita tidak menemukan semua unsure ini padanya, kecuai unsure-unsur tersamar, kasar dan terpencar-pencar, ini menjadi suatu teoru terurai, menyeluruh, dan halus untuk menafsirkan kepribadian Muhammad, tak lain dan tak bukan merupakan penampilan seorang jenius).[34]
5.    Tuhan dan dunia
Pada bagian pertama telah kita pelajari bahwa Tuhan itu unik dalam arti dia adalah kemaujudan yang mesti segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diriya sendiri dan keberadaanya bergantung kepada Tuhan. Kemaujudan yang mesti itu jumlahnya harus satu tetapi Tuhan memilik esensi lain, tak ada atribut-atribut lain kecuali Dia itu ada. Ini dinyatakan oleh Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa esemsi Tuhan identik dengan keberadaanya yang mesti itu. Karena Tuhan tidak beresensi, maka Dia mutlak sedeehan adan tak dapat didefinisakan,. Namun jika Dia tak bersseni dan tak beratribut, bagaimana caranya agar Dia dapat dikaitkan dengan dunia? Menurut Aristoteles yang menganut konsepsi ketuhanan, dunia ini menunjukan dirinya sebagi sesuatu yang lain bukan objek ciptaan Tuhan, bukan objek yang dilindunginya, dan bahkan bukan pula objek pengetahuanya. Tuhanya Aristoteles meberkati kehidupan bahagia berupa renungan diri yang abadi dan dunia menata dirinya menjadi sebuah kosmos berlandaskan cinta-kasih dan pemujaan terhadapnya, untu menjadi seperti dia.
Tradisi falsafah Muslim menemukan jalan keluar karena mendapat pengaruh dari contoh Neo-Platonis yang menggabungkan antara kesederhanaan mutlak Tuhan dan gagasan bahwa dalam mengetahu dirinya, Tuhanpun mengetahui esensi segala sesuatu secara tersirat dan sederhana. Sistem ini dirancang dan sisusun oleh Ibnu Sina yang berupaya menggali atribut-atribut Tuhan tentang pengetahuan, penciptaan, kekuasaan, kehendak, dan sebagainya. Dari adanya yag sedrehana dan tak berubah-ubah atau lebih tepat untuk membuktikan bahwa atribut-atribut ini tak lain adalaj kenyataan akan keberadaanya. Hal ini dilakukan dalam upaya membuktikan bahwa semua atribut itu tidak relasional ataupun negative. Jadi, atribut-atribut itu identik dengan adanya Tuhan dan dengan satu sama lain. Maka dari itu Tuhan adalah mutlak sederhana. Bahwasanya Tuhan itu maha mengetahui dibuktukan dengan kenyataan bahwa Dia murni dari amteri dan merupaka  jiwa yang murni Dia adalah akal murni dimana subyek dan objeknya identik.
Adapun mengenai atribut-atribut kehendak dan penciptaan Tuhan, pembahasaan emanasionis Ibnu Sina menganggapnya tak jadi maslah apa yang telah dibuktikan oleh Al-Ghazali. Dalam pembahasan intelektual-emanasionis yang seksama tentang ketuhanan, pembuktian Al-Ghazali itu tak ada artinya sama sekali. Menurut Ibnu Sina, kehendak Tuhan berarti hanyalah prosesi yang mesti atas dunia dari dirinya dan kekuasaan dirinya melalui proses ini. Memang ia mendefinisikan ini dengan istilah yang benar-benar negative, yaitu bahwa Tuhan tidak berkehendak sehingga dunia berprosesi dari-Nya ini amat berbeda dengan atribut-atribut positif dari pilhan dan penentuan pilihan tersebut titip.
Dunia ini secara abadi bersama Tuhan, karena baik materi maupun bentuk mengalir abadi dari Dia. Tetapi walaupun konsep ini menjijikan bagi Islam orthodox, tujuan Ibnu Sina memperkenalkanya adalah dalam rangka berupaya untuk berlaku adil terhadap tuntutan-tuntutan agama maupun terhadap penalaran dan utntuk menghindari materialisme ateistis. Menrurt kaum materialis dunia ini telah ada dan abadi tanpa Tuhan. Menurut Ibnu Sina pun abadi adanya, tetapi karena dunia ini tak berdiri sendiri maka secara keseluruhan membutuhkan Tuhan dan bergantung kepadanya secara abdi. Disini kita melihat adnya tujuan ganda dari ajaran esensi dan keberadaan ini. Tidak seperti halnya ateisme ajaran ini menghendaki Tuhan agar berada di atas segala maujud dalam rangka menghinadri panteisme, selanjutnya ajaran ini menhendaki agar adanya Tuhan itu dibedakan secara mendasar dari adanya Tuhan.
Tidak diragukan lagi bahwa ibnu sina adalah seorang filsuf yang sangat besar pengaruhnya didunia, para cendikiawan arab maupun eropa dengan jujur mengakuinya sebagai salah seorang budayawan ulung, pandangan nya sangat luas dan sangat sulit untuk kita carikan tandingannya, genius, menguasi pelbagai ilmu pengetahuan seperti : kedokteran, filsafat, fisika, logika, dll. Dia telah memberikan sumbangan yang cukup besar dalam rangka peningkatan peradaban umat manusia. Seorang sarjanawan jerman Wiston Fold pernah melakukan penelitian dan mendata  karya ibnu sina, tidak kurang  dari 105 buku yang meliputi tentang ilmu kedokteran, filsafat, agama, astronomi, bahasa, sastra, mistik, matematika, logika, fisika, dan sebagainya.
Ibnu sina sangat besar sekali jasanya dalam bidang khazanah ilmu pengetahuan, meskipun beliau hidup dizaman yang penuh intrik dan penuh pergolakan. Keistimewaan karyanya terletak pada tulisannya yang sangat bermutu, rasional, objektif, kerangka berfikirnya sitematis, maupun eksperimen-eksperimennya yang sangat cermat dan mendalam. Bauh karya beliau mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi kebangkitan keilmuan dieropa maupun pemikiran sarjana barat pada umumnya. Pemikiran filsafat ibnu sina pernah diajarkan di berbagai universitas dieropa, bahkan sampa sekarang masih dikuliahkan di berbagi universitas katolik disana.
Ibnu sina memiliki kontribusi yang sangat besar didalam bidang pendidikan yakni telah meletakkan dasar-dasar dan konsep  tentang pendidikan islam. Ibnu sina mempunyai pendapat yang cukup terkenal dalam bidang pendidikan anak, pandangan beliau mengenai kurikulum tingkat pertama dalam pendidikan islam dapat dikemukakan sebagai berikut berdasarkan ungkapan ibnu sina:
“Pertama-tama sebaiknya anak itu belajar al-Qur’an, tentu saja setalah anak itu siap secara fisik dan mental untuk belajar. Seyogyanya pada waktu yang sama ia juga belajar huruf abjad, diajarkan dasar-dasar pendidikan agama dan di ajarkan syair-syair pilihan yang berisi tentang budi pekerti, penghargaan tentang ilmu, celaan terhadap kebodohan, dorongan bebuat baik kepada kedua orang tua, melakukan perbuatan baik, melayani tamu dengan baik dan sebagianya.”

Ibnu Sina sangat memperhatikan prinsip-prinsip dalam pendidikan yakni pelajaran hendaknya dimulai dari hal-hal yang sederhana, mudah dan ringan kemudian baru beralih pada pelajaran yang lebih berat. Beliau juga mempertimbangan kecerdasan seorang anak maupun kekuatan ingatanya, oleh karena itu tidak perlu diragukan lagi bahwa Ibnu Sina itu adalah seorang ahli pendidikan sejati artinya beliau sepertinya dilahirkan di bumi ini sebagai seorang pendidik yang mengenal betul kejiwaan manusia maupun tingkat kecerdasanya. Pendidikan Islam menurut Ibnu Sina dapat dirumuskan sebagai berikut:
“setelah anak selesai menghafal surat-surat pendek al-Quran dan mengetahui dasar-dasar tata bahasa Arrab secara sederhana, barulah kemudian diarahkan untuk mempelajari pelajaran lainya sesuai dengan tingkat kesiapan dan kemampuanya. Dan perlu juga hendaknya diberi pelajran ketrampilan.”

Bila materi-materi pendidikan dasar telah dapat diselesaikan dengan baik, selanjutnya yang perlu diperhatikan kembali adalah masalah bakat dan minat anak tersebut. jika minatnya kepada hal-hal yang praktis, maka dia harus diarahkan pada materi pendidikan yang bersifat ketrampilan. Sebaliknya, bila minatnya kepada seni sastra dan kebudayaan sebaiknya dia di beri kesempatan dan fasilitas berkaitan dengan itu agar kelak ia benar-benar menjadi sastrawan dan budayawan.
Bila kita cermati uraian di atas, betapa luasnya pokok_pokok uraian pikiran Ibnu Sina tentang pendidikan yang pernah dikemukakan pada 5 H/900 tahun yang lalu. Dari uraian pemikiranya yang sangat beragam itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
“Mata pelajaran itu hendaknya disesuaikan dengan minat dan bakat anak didik, agar dia dapat menguasainya dengan baik”. Setiap anak harus kita tempatkan dan dibimbing sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Prinsip-prinsip pendidikan seprti inilah yang banyak diterapkan oleh institusi pendidikan modern pada abad ke 21 ini”.

 Ahli pendidikan seperti Ibnu Sina nampaknya berpikir praktis, bahwa menuntut imu itu tidak sekedar untuk perkembangan ilmu itu sendiri, akan tetapi disamping materi-materi pelajaran yang pokok seperti membaca, menulis, dan berhitung, juga perlu diajarkan ketrampilan yang dapat membekali anak didik dapat mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya di masa datang dari jasa ketrampilan yang dimilikinya itu.
Selanjutnya unutk melahirkan para ilmuan yang ulung Ibnu Sina menekankan agar mendidik mahasiswa sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuanya. Oleh karena itu institusi atau universitas yang kita bangun harus memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka sesuai dengan pilihan masing-masing sepanjang pilihan itu didasrkan pada bakat, minat, dan kemampuan dari mahasiswa itu sendiri: hal ini seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Sina:
“Jika seorang anak senang belajar tulis menulis, maka ketika ia belajar bahasa perlu ditambah materi pelajaran surat-menyurat, masalah kehumasan, berhitung, administrasi perkantoran. Sebaliknya bila ia ingin belajar ilmu pengetahuan lainya, juga harus dilayani.”

Di dalam pengembangan khazanah keilmuan dan di dalam pengembangan minat, bakat, dan keterampilan siswa (murid) perlu adanya guru (pendidik). Adapun  Sifat-sifat yang harus dimiliki guru (pendidik) yaitu :
Menurut Ibnu Sina seorang guru itu seyogyanya adalah seorang yang berakal sehat, kuat agamanya, berakhlak mulia, pandai mengambil hati anak didik (murid), berwibawa, berkepribadian yang tangguh, berwawasan yang luas dan tidak statis, manis tutur katanya, cerdik, terpelajar, nechis, dan berhati suci.
Jelas sudahlah sekarang bahwa seorang guru yang melakukan tugas mendidik anak-anak, harus memiliki sifat-sifat tersebut di atas. Memang, seorang guru haruslah orang yang berakal sehat, bijaksana dalam bertindak, menyelesaikan tugasnya dengan baik, cermat daam berpikir, dan pendapatnya jitu. Seorang guru tidak boleh berperangai kasar dan emosional, karena hal itu tidak baik pengaruhnya terhadap kepribadian anak didik.
Disamping itu, haruslah orang yang mendalami ilmu pengetahuan agama, seorang yang soleh dan bertakwa kepada Allah SWT dan Rasulnya. Seorang guru harus merasa takut melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah baik diketahui orang lain atau tidak. Dia selalu mengevaluasi dirinya terhadap waktu mengajar yang dipandangnya kurang efektif dalam proses belajar-mengajar.
Dapat kita simpulkan bahwa konsep pendidikan sebagai mana yang dikemukakaan oleh Ibnu Sina merupakan masalah yang amat penting dan profesi yang cukup pelik yang membutuhkan kemampuan khusus dan pengetahuan yang memadai tentang masalah anak didik (murid). Dan ironisnya, justru yang jumapi dimasyarakat banyak guru yang tidak mengetahui sedikitpun dasar-dasar teori pendidian dan metodologi pengajaranya.
Ibnu Sina menyatakan, bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagian (sa’adah). Kebahagian itu sendiri bisa dicapai secara bertingkat, Sesuai dengan tingkat pendidikan yang dikemukakannya, yaitu mulai dari kebahagian pribadi (individu), kebahagian rumah tangga, kebahagian masyarakat, kebahagian manusia secara menyeluruh, dan kebahagian yang terakhir adalah kebahagian di akhirat. Kebahagian ini tidak bisa diperoleh secara serentak, akan tetapi diperoleh secara bertahap.[36]
Di dalam bukunya “ Risalah As-Siyasiyah”di jelaskan bagaimana pendidikan orang tua dalam mengasuh anak[37]. Banyak buah pikiran dari ibnu sina yang sangat berharga dan patut kita pegangi, antara lain :[38]
1.    Memberi nama dengan nama yang baik,
2.    Apabila anak telah berhenti menyusu maka mulailah mendidiknya dengan membina budi pekertinya
3.    Jika anak sudah besar (fase sekolah dasar) maka mulailah mengajarkannya membaca al-Qur’an
4.    Menekankan pembinaan peserta didik, agar berakhlak mulia dan terhindar dari akhlak tercela, mengubah kebiasaan yang jelek dengan cara Taqhrib dan Targhib (pemberian ancaman dan harapan)
5.    Bila anak sudah menyelesaikan pelajaran al-Qur’an dan sudah menghafal kaedah-kaedah bahasa, maka perhatikan  kerajinan/ keterampilannya maka bimbinglah anak ke arah itu.
6.    Seorang pendidik seorang yang cerdas bijaksana, taat beragama, budi pekerti pembinaan akhlak, pandai membimbing anak-anak, terhormat dalam persfektif anak-anak, jauh dari sifat  negatif (kasar), dll.
7.    Tujuan dari pendidikan adalah : “kemandirian dalam mengemban beban hidup dan memberi kemanfaatan kepada masyarakat, dengan jalan membina tiap anggota masyarakat dengan pekerjaan mereka yang baik



















 

BAB III

KESIMPULAN DAN SUGGESTION

Besar sekali pengaruh pemikiran ibnu sina. Di timur, sesungguhnya pemikiran ibnu sina telah mendominasi falsafah muslim sampai zaman modern ketika ia disejajarkan dengan beberapa pemikir barat yang mana mereka terdidik di universitas-universitas modern sedangkan ibnu sina banyak belajar secara otodidak.
Karya-karya ibnu sina diterjemahkan ke dalam bahasa latin di spanyol pada pertengahan abadke 6 H/12 M. Pengaruh pemikirannya di barat  tampak jelas dan mendalam serta tebentang luas. Pengaruh ibnu sina mulai tampak secara nyata sejak masa Albert yang agung, Santo dan guru termasyhur Thomas Aquinnas. Metafisika ( dan Teologi) Aquinnas tak dapat di menegmerti tanpa jasa yang ia pahami dan ia terima dari pemikiran ibnu sina.
Kita semua dapat  melihat betapa besarnya pengaruh pemikiran ibnu sina baik itu di timur apatah lagi di barat. Bahkan pemikiran filsuf abad pertengahan pun tak luput dari pengaruh pemikiran ibnu sina, seperti Robert Grosseteste dan Roger Bacon. Dun Scotus dan Count  pengulas-pengulas Aristoteles paling hebat pada abad pertengahan memberikan kesaksian bahwa karyanya juga tak lepas dari pengaruh pemikiran ibnu sina.


Author aware of the many shortcomings in the writing of scientific papers, whether that of punctuation errors, language and so on. Then, on the basis of the expected shortage of criticism and constructive suggestions. So that there is change for the better.

















DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam Hadhadarh  Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern, Raja Grafindo, Jakarta, 2013
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam Jakarta: Djambatan,2003
Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam : Gagasan-Gagasan Besar Para Imuwan Muslim, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015.
Ahmad Barizi,Pendidikan Integrative :Akar Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, UIN-MALIKI PRESS : Malang, 2011
Al-makin, Keragaman Dan Perbedaan, Suka Press : Yogyakarta, 2016
Busyairi Madjiji,  Konsep Kependidikan Para Filsuf Muslim, Al-Amin:Yogyakarta, 1997
Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisime Dalam Islam   Jakarta : Bulan Bintang, 1973
Ibnu sina, The Life Of Ibnu Sina : Sirat al-Syaikh al-Rais, a critical edition & annotated transl. By William Gohlman Albany  : Sunny, 1974
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Isl am, Telaah Sejarah dan Pemikirannya, Kalam Mulia : Jakarta, 2011
Muhammad Athiyah Al-Abrasy,  Pokok-Pokok Pikiran Ibnu Sina Tentang Pendidikan, Isa al-Babi Wa Syirkah, Cet II 1969/1389 H
Referensi online :
:Jurnal Pemikiran Islam,Vol.40,No.1 (Alwizar: Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina) Januari - Juni 2015. Di akses tanggal 23 november 2016 pada pukul 23:00 WIB
Fathor Rachman Ustman, “Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina”  Jurnal Tadris, Volume5, Nomor 1 (April, 2010). Di akses tanggal 23 november 2016 pada pukul 23:00 WIB

M.Ihsan Dacholfany, Sistem dan Pendidikan Menurut Ibnu Sina. http://www.teknologipendidikan.net/sistemdan-pendidikan-menurut-Ibnuu-sina. Di akses tanggal 23 november 2016 pada pukul 23:00 WIB



[1]M.Ihsan Dachol fany, Sistem dan Pendidikan Menurut Ibnu Sina. Di akses tanggal 23 november 2016 pada pukul 23:00 WIB  http://www.teknologipendidikan.net/sistemdan-pendidikan-menurut-Ibnuu-sina.

[2]Busyairi Madjiji,  Konsep Kependidikan Para Filsuf Muslim, (Al-Amin:Yogyakarta, 1997) cet.I, hlm.45
[3]H.Ahmad Barizi, Pendidikan Integrative :Akar Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (UIN-MALIKI PRESS : Malang, 2011), hlm.222
[4]Ibid,, hlm 223       
[5]Ulama berbeda pendapat mengenai tahun kelahirannya. Al-Qifthi dan Ibn Khalkan mengatakan pada tahun 370 H/980 M, Ibn Abi Ushaibi’ah mengatakan pada tahun 375 H/985 M, ada yang mengatakan pada tahun 373 H/983 M, dan ada pula yang mengatakan 363 H/973 M. (Muhammad Ustman Najati, dalam Min A’lam Al-Tarbiyyah Al-‘Arabiyyah Al-Islamiyah, Jilid II, 1409 H/ 1988 M:243)
[6]Ibnu sina, The Life Of Ibnu Sina : Sirat al-Syaikh al-Rais, a critical edition & annotated transl. By William Gohlman (albany : sunny, 1974),  hlm 17-19.
[7] Busyairi Madjiji, Opcit, hlm.45
[8]Zainal Abidin Ahmad, Ibnu Sina....., hlm. 41dikutip dari kitab ‘Uyun ul Anba’, juz II, hlm.2 oleh Ibnu Abi Ushaibi’ah.
[9]H.Ahmad Barizi, Pendidikan Integrative :Akar Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, hlm 223
[10]Ibid,hlm 224
[11]H.Ahmad Barizi,Pendidikan Integrative :Akar Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam,hlm 223
[12]Al-makin, keragaman dan perbedaan, (Suka Press : Yogyakarta, 2016) hlm.197
[13] Abdurrahman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan IslamHadhadarh Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern, (Raja Grafindo, Jakarta, 2013).hlm.77.
[14] Busyairi Madjiji , Konsep Kependidikan Para Filsuf Muslim, hlm 46   
[15]Ahmad Fuad Al-Ahwani, Ibnu Sina, Kairo : Dar al-Ma’arif, t.t. h.20
[16]Lihat Syafaruddin Khattab, Tarikh At-Tharbiyah Fil Ushulil Wustha, (At-Thalabah : Mesir 1931) hlm. 130
[17]Busyairi Madjiji , Konsep Kependidikan Para Filsuf Muslim, hlm 47-51
[18]Oleh Fazlur Rahman, Lektor Kepala Institute Of Islamic Studies, Mc Gill University, Canada. Yang di terjemahkan oleh : Luthfi A.B
[19]Busyairi Madjiji , Konsep Kependidikan Para Filsuf Muslim, hlm 51
[20] Ibid,hlm 51
[21]M.M Syarif, Para Filsuf  Muslim, hlm. 102
[22]Tertuang dalam karya ibnu sina, Al-Syifa      
[23]Terdapat dalam  Al-Syifa bagian psikolgi, V, 7.
[24] Karangan  Ibnu Sina, Al-Najat, Kairo, 1939, hlm 224. Akan terlihat bahwa benih-benih argumentasi ontologis ada dalam bentuk yang telah cukup dikembangkan dalam argumentasi ini. Maka akan terbukti, argumrntasi kosmologis, berdasarkan ajarikan materi sena ban Aristoteles tentang sebab pertama, akan tak ada gunanya dalam mempertahankan keberadaan Tuhan. Nemun demikian, ibnu sina belum memilih untuk membangun  suatu argumen ontologis yang dicanangkannya. Argumentasinya itu, sepertinaakan kita lihat nanti yang menjadi ajaran utama teologi dogmatis aktolik roma, lebih menyerupai pembuktian leibniz menegenai Tuhan sebagai dasar dunia, karena Tuhan kita dapat memahami keberadaan dunia. Disini sebab akibat bertindak sebagai premis-premis dan kesimpulan yaitu walaupun ada gerak mundur dari akibat yang diperkirakan ke sebab, kita bergerak ke muka dadi premis yang  sudah pasti menuj kesimpulan. Sebenarnya, menurut ibnu sina, Tuhan menciptakan melalui kemestian  rasional yang atas dasar itu pula ia menjelaskan prapengetahuan ilahitentang segala peristiwa, sebagaimana akan kita lihat pada uraian tentang Tuhan.
[25]M.M Syarif, Para Filsuf  Muslim, hlm. 105
[26]Bagian ini berdasarkan artikel F.Rahman “Essence And Existence In Avicenna”dalam Mediaeval and Renaissance Studies, Oxford, 1958. Walaupun pertimbanga-pertimbanganbaru yang ditambahakan disini sampai tingkat tertentu telah mengubah pemaparannya.
[27]Ibid, hlm.106-107.
[28] Ibnu Sina, Al-syifa’ ( pengantar menuju logika : kairo , 1952) hlm 65-69Juga  “ Met” V.1
[29] Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisime Dalam Islam  ( Jakarta : Bulan Bintang, 1973)  h.34-35
[30] Perkembangan serupa terjadi di barat, dimulai dari augustine dibawah pengaruh Neo-Platonis.
[31]meditations II,“Bagaimana hal berfikir? Saya mendapati disini bahwa pemikiran adalah atribut kepunyaan saya. Tetapi kapan saja hanya ketika sya berfikir. Mungkin masalahnya adalah  jika saya berhenti berfikir sama sekali maka saya pun  dengan sendirinya harus berhenti ada sama sekali, tetapi saya ini tidak lebih dari benda yang berfikir.
[32] Sebuah peranyaan menarik bisa kita ajukan disini tentang kemanunggalan pikiran. Kita telah melihat perbedaan kualitattif antara gejala mental dan fisiktelah memastikan atribusi keduanya kepada substansi-substansi yang berbeda. Argumen ini dinyatakan kembali oleh G.F Stout yang dalam tulisannya”mind and matter” meletakkan “priciple of generic research balance” pada tindakan-tindakan dan cara kerja jika itu semua terdapat dalam substansi tunggal. C.D Broat telah menolak dualisme dalam tulisannya “mind and itsnplace in nature” dengan alasan bahwa tak ada ketentuan yang dapat diletakkan seperti berapa besar perbedaan kuantitatif yang harusada untuk membolehkan kita menempatkan gejala pada substansi-substansi yang berbeda. Namun demikian, Broadka sendiri lrbih menyukai “Compound Theory” antara pikiran dan tubuh. Sehingga secara tersirat ia memberi tekanan pada prinsip-prinsipia persamaan dan perbedaan kualitatif yang ingin ia ingkari. Sebeb, mengapa ada kemestian lain bagi “Compound” ?.
Toh kalau kita menerima segala sesuatu dari prinsip tersebut, kita dapat menanyakan perlambangan apa yang  terjadi pada tindakan-tindakan mental untuk mengatributkannya menjadi satu substansi. Sebab, berharap, berkeinginan dan berpikir adala gejala yang saling berlainan. Menurut falsafah tradisionl , kesadaran mungkin merupakan kualitas umumyang  memenuhi prinsip tersebut dan hal itu memang telah dianggap sebagai bahan baku dalam pembuatan gejala itu. Jika kita meyakininya, maka akan terbukti bahwa keinginan , katakutan dan harapan di lua kesadaran adalan nonmental.
[33] Form adalah jiwa manusia sedangkan materi adalah jasad manusia
[34]  Lihat,. Prophecy in Islam dari F. Rahman G. Allen & Unwin, London
[35] Muhammad Athiyah Al-Abrasy,  Pokok-Pokok Pikiran Ibnu Sina Tentang Pendidikan, ( isa al-Babi wa syirkah, Cet II 1969/1389 H)
[36]Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sejarah danPemikirannya, Kalam Mulia, Jakarta,2011,h.177
[37] Jika anak sudah disapih dari susu ibunya, maka hendaknya ia dilatih/dibiasakan dengan etika yang baik sebelum ribadinya dipengaruhi oleh etika yang jelek, sebelum dikurung oeh sangkar tabi’at yang buruk, dan sebelum di penjara oleh tradisi yang salah. Karena anak kecil sangat mudah sekali dipengaruhi oleh etika yang baikdan sekaligus etika yang buruk. Oleh sebab itu, pendidikan yang diberikan sekiranya dapat menjauhkan mereka dari etika yang kurang baik, dari tabi’at yang buruk, dan tradisi yang salah., dengan pujian dan celaan, ganjaran dan hukuman, penerimaan dan penolakan, hadiah dan siksaan, sesuia kondisi yang bersangkutan. Jika perlu, pendidikan pemulihan anak ke arah etika yang baik dilakukan dengan pukulan sejauh tidak merusak dan emnjadikannya penakut, sebagaimana banyak di lakukan oleh ahli hikmah terhadap murid-muridnya.
[38]H.Busyari Madjiji, Konsep Kependidikan Para Filsuf Muslim” hlm.59-64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RAFTING DI SUNGAI ELO MAGELANG

Agar perjalanan liburan bersama keluarga di kawasan wisata Borobudur, Kabupaten Magelang, menjadi lebih lengkap, tak dapat dilewatkan pengal...