IDE ASLI PEMIKIRAN IBNU SINA TENTANG
PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
Pada zaman kebangkitan Islam (abad VII-XII M), hampir semua sarjana muslim
saat itu tidak merasa cukup hanya dengan menguasai satu cabang ilmu pengetahuan
saja, Para ilmuan muslim pada saat itu mengusai pelbagai disiplin ilmu.
Kecenderungan seperti ini merupakan sebuah kebiasaan para tokoh Islam dalam
rangka meningkatkan kualitas diri sekaligus sebagai upaya untuk mengembangkan
dan memajukan pelbagai disiplin ilmu di dalam agama Islam. Hal ini dilatarbelakangi oleh dasar dan
pandangan sarjana muslim Islam sendiri terhadap eksistensi dan pentingnya
penguasaan pelbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Periode renaisans modern dalam islam di tandai dengan
munculnya perjuangan-perjuangan politis untuk melepaskan diri dari dominasi
asing dan komformisme dalam Kehidupan dan pemikiran. Para filosof pada masa itu
bukanlah sekedar filosof akan tetapi juga pemimpin politik dan pembaharu sosial
dan eksekutif.
Di antara sekian banyak tokoh pemikir Islam yang
menguasai beberapa cabang ilmu pengetahuan ialah Ibnu Sina.Ia tidak hanya
seorang ahli di bidang kedokteran kelas dunia saja, akan tetapi ibnu sina juga
seorang yang cakap di bidang sains dan falsafah. Di samping itu Ia
juga merupakan ahli politik yang lincah dan ahli kemasyarakatan yang berkaliber
dunia.
Orang-orang Eropa mengenalnya dengan Avicenna
yang disebut sebagai
“thegreatest Muslim thinker and the last
of the Muslim philoshopher in theEast”.[1]
Ibnu Sina terkenal sebagai “Father Of Doctor”
dan masih banyak lagi sebutan baginya yang berkaitan dengan karya-karyanya di
bidang kedokteran.Karyanya yang sangat terkenal adalah al-Qanun fi al-Thib yang merupakan rujukan di bidang
kedokteran selama berabad-abad. Meskipun ia lebih dikenal sebagai seorang
filosof dan ahli di bidang kedokteran, namun disiplin ilmu yaang lain tak lupa pula ia pelajari.
BAB II
PEMBAHASAN
Bagi orang-orang yang
berkompeten terhadap bidang pendidikan akan
menyadari bahwa dunia pendidikan kita
sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang
“sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang
seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya
seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak
memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan
“manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang
diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan,
kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar
yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang
terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika
orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan
berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai,
semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai
sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang
sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang
menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan
tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri
dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa
dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung
industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan
mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan
kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut
dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah)
atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari
Amerika Latin) adalah pendidikan gaya
bank. Sistem pendidikan ini sangat
tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia
yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid
untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai
pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit
box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila
sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid
hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya
adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat
menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah
yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada
mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Maslah ketiga dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang
dihasilkan pendidikan ini hanya siap
untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.
Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena
yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia
tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah
kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung
dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam
“strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu
kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan
politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis
kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan
ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita.
Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai
sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan
kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan
menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain.
Nama lengkapnya
Abu Ali Al-Husain Ibnu Abdullah Ibnul Hasan Ibnu Ali Ibnu Sina.[2] Ayahnya
bernama Abdullah dari Balkh dan Ibunya Astarah dari Afghanistan.[3]
ada juga yang menyatakan bahwa ibu Ibnu Sina berkebangsaan Persia, karena pada
abad ke-10 M Afghanistan berada di bawah kekuasaan Persia (Abudddin
Nata,2000:60) dilahirkan di desa Akhsyana, dekat Bukhara pada bulan shafar
bertepatan dengan bulan agustus tahun 370 H/980 M[4], Ulama berbeda pendapat menegenai tahun
kelahiran ibnu sina[5],
Namun menurut pengamatan penulis
dari berbagai referensi yang penulis baca, penulis cendrung berpendapat
bahwasanya ibnu sina lahir pada tahun 370 H/980 M. sebagaimana menurut ibnu sina sendiri :
“Ayahku berasal
dari balkh yang pindah ke bukhara pada masa Amir Nuh Bin Mansur, selama Amir
Nur Bin Mansur memerintah dia pekerjakan di bagian administrasi yang ia percaya
sebagai penguasa desa dari salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Bukhara, di
sebut Kharmaitan salah satu desa terpenting di wilayah ini. Dekat dengan daerah
ini yang disebut Afhsana, dimana ayahku telah menikahi ibuku (namanya adalah
Shitara) dan diamana ia bertempat tinggal dan hidup. Aku lahir disana sebagaimana kakakku, dan kemudian kita
pindah ke bukhara. Guru al-Qur’an dan guru kesusteraan telah
disediakan untukku, dan ketika aku berumur 10 tahun aku telah menyelesaikan
hafalan al-Qur’anku dan beberapa karya sastra, oleh karena itu orang sangat
kagum kepadaku.”[6]
Ibnu Sina dapat
gelar dari ilmuan-ilmuan islam pada masanya dengan “As-Syeikh” dan “Ar-Rais”.
As-Syeikh dimaksudkan semacam gelar tingkat keilmuan yang luas atau semacam
guru besar. Ar-Rais adalah Pemimpin/Kepala dimaksudkan sebagai kepala
pemerintahan karena beliau pernah menajabat kepala pemerintahan pada Daulah
Hamdaniyah zaman Amir Syamsud Daulah.[7] Karena ibnu sina telah diperkenalkan oleh
ayahnya dengan ilmu politik ketika beliau masih muda. Ibnu sina menceritakan
tentang hal ini :
“ayahku adalah seorang yang mengikuti aliran
dari seorang Propagandis dari mesir, dan termasuk menjadi pengikut aliran
Ismai’iliyyah. Dari mereka aku dengar uraian tentang ilmu “jiwa dan rasio” menurut aliran yang mereka
anut dan mereka ketahui. Begitu juga saudaraku menerimanya. Sering aku ikut
msuyawarah mereka, dan aku mengetahui seluruh pendirian mereka, tetapi jiwaku
tidak mau mnerimanya.”[8]
Setelah ayahnya
wafat ibnu sina memilih untuk pindah, pada saat itu ia berumur 21 tahun.[9]
Jurjan adalah kota peratama yang ia singgahi kemudia ia pindah ke Hamadzan
ketika Raja Syamsu Al-Dawlah hendak diobati. Ibnu sina adalah belia yang cerdas,karena
intelektualitas Ibnu Sina yang cukup refresentatif pada masanya sehingga diberi
gelar Al-Syaik Al Ra’is (The Leader
Among Wise Men), Hujjat Al-Haqq (The
Proof Of God), dan bapak kedokteran islam (Amir
Al-Athibba’, The Price Of Physicians).[10]
suatu prediksi mulia bagi seorang intelektual professional yang tidak mudah
diberikan kepada siapa pun karena eksistensinya yang ketat memikat. Di usia 10
tahun dia sudah bisa hafal al-Qur’an dan alim
pelbagai ilmu ke-Islaman yang berkembang saat itu seperti Tafsir, Kalam,
Filsafat, Fiqh, Logika, Arsitek serta Pengobatan. Dia belajar Fiqh kepada
Ismail Ibn Al-Husain Al-Zahid, belajar
Logika dan Arsitek kepada Abu Abd Allah Al-Natili, dan pernah belajar ilmu
Kedokteran kepada Ali Abi Sahl Al-Masiti dan Abu Mansur Hasan Ibn Nuh
Al-Qomari. selain berguru ibnu sina belajar dan menekuni pelbagai ilmu secara
otodidak.[11] Ibnu sina sangat matang dalam ilmu
pengetahuantardisional islam dan filsafat yunani, dari al-Qur’an dan hadits dan
juga ilmu perangkat atau ilmu yang berkaitan dengan nya. Bahkan, konon ibnu
sina hafal methapsysic karya Aristoteles. Dengan demikian tentu saja
ibnu sina menguasai karya-karya kuno Plato, Neo-Platonisme, Galen, Al-Farabi
dan Ikhwan Al-Safa.[12]
Ibnu Sina mulai menulis
karya-karya monumental di berbagai bidang keilmuwan, dengan karya pertamanya
berjudul Al-Majmu’u = Copendium (ikhtisar), yang memuat himpunan
filsafat ilmu sampai kepada ilmu psikologi dan metafisika. Ibnu Sina tidak pernah berhenti membaca serta tidak pernah bosan menulis
buku. Dia memang dikenal kuat memikul tanggung jawab ilmu dan sering tidak
tidur malam hanya karena membaca dan menulis. Selain itu, Ibnu Sina tidak
mengambil upah dalam mengobati orang sakit. Bahkan dia banyak bersedekah kepada
fakir miskin sampai akhir hayatnya.
Ibnu Sina wafat di
Hamdzan, Persia pada tahun 428 H (1037 M)[13]
dalam usianya yang ke-58 tahun. Dia wafat karena terserang penyakit usus besar.
Selama masa hidupnya Ibnu Sina memberikan sumbangan luar biasa terhadap
kemajuan keilmuwan. Pemikiran-pemikiran Ibnu Sina di berbagai disiplin ilmu
banyak diadopsi oleh ilmuwan masa setelahnya, tidak hanya oleh ilmuwan muslim
tetapi juga ilmuwan Barat banyak yang mengadopsi pengetahuan dari karya-karya
Ibnu Sina. Dalam rangka memperingati 1000 tahun hari kelahirannya, melalui
event Fair Millenium di Teheran pada tahun 1955, Ibnu Sina dinobatkan sebagai “Father
of Doctor” untuk selama-lamanya.
Ayah dan saudaranya
sangat
memperhatikan pendidikan ibnu sina, pendidikan ibnu sina dapat dilihat pada
fase-fase berikut ini :[14]
1. Fase anak-anak sampai berumur 10
tahun, dalam fase ini ibnu sina sudah hafal al-qur’an dan sudah memperlajari
kesusasteraan. Ia juga mampu menghafal sebagian besar sastra Arab, dan ia juga hafal kitab
metafisika karangan Aristoteles setelah membacanya empat puluh kali, kendatipun
ia belum memahaminya sampai membaca ulasan al-Farabi.[15]
2. Fase remaja berakhir pada umur 16 tahun, pada
fase ini dia telah mempelajari ilmu hitung, fiqh, pokok ilmu logika dari buku Isogage. dan pokok-pokok ilmu ukur dari
buku Eucliedes dan ilmu astroniomi
dari buku Almagest. kemudian dia
mengusai pula ilmu ketabiban teori dan praktek dan menemukan pula dari
hasil-hasil pengalamnnya bermacam-macam pengobatan.
3. Fase dewaasa berakhir pada umur 18 tahun, pada
fase ini dia mengembangkan bacaan dan ilmunya. dia telaah ilmu logika, dan
filsafat sehingga ia kuasai ilmu fisika dan matematika. kemudian dia mulai
mengarahkan studinya kearah bidang theology (Ilahiyat) maka dibacanya fisika aristoteles dibantu oleh buku-buku
Al-Farabi. ketika Amir Daulah Samaniyah Nuh Ibnu Mansur jatuh sakit, dia
bersama para tabib yang lainnya ikut serta merawatnya. saat itulah dia
berkenalan dengan Amir dan memanfaatkan perpustakaan Amir Daulah tesebut.
disini dia menemukan buku-buku Ketabiban, Bahasa Arab, Syair-Syair, Ilmu Fiqh
yang terdapat di tempat-tempat lain. seluruh buku tersebut berhasil di
telaahnya dan menguasainya.[16]
Dari
autobiografi dan karangan-karangannya dapat diketahui data tentang sifat
kepribadian ibnu sina, misalya :[17]
1.
Mengagumi Dirinya Sendiri
kekaguman akan dirinya diceritakan sendiri oleh
temannya sendiri yakni Abu Ubaid Al-Jurjani.antara lain dari ucapan ibnu sina
sendiri, ketika aku berumur 10 tahun aku telah hafal al-Qur’an dan sebagian
besar kesusteraan hingga aku dikagumi.
2.
Mandiri Dalam Pemikiran
Ketika bapak dan saudara ibnu sina berdiskusi
tentang jiwa dan akal menurut pandangan mereka, ibnu sina mendengarnya lalu
memahami diskusi itu. Akan tetapi jiwa ibnu sina tidak dapat menerima pandangan
mereka tentang jiwa dan akal karna ibnu sina memliki karakteristik sendiri
dalam pemikirannya.
3.
Menghayati Agama
Setiap argumentasi ibnu sina terklebih dahulu
memperhatikan muqaddimah qiyasiyah nya setepat-tepatnya, juga ia
perhatikan kemungkinan kesimpulannya. Di peliharanya syarat-syarat muqaddimahnya
sampai ia yakin kebenaran masalah itu.
4.
Rajin mencari ilmu
Menurut keterangan beliau : “saya tenggelamkan
dalam studi ilmu dan membaca selama satu setengah tahun. Aku tekuni studi
bidang logika dan filsafat, saya tidak tidur satu malam suntuk selama itu”.
5.
Pendendam
Dia meredam dendam itu dalam dirinya terhadap
orang yang menyinggung perasaannya, dan ia hormat apabila ia dihormati.
6.
Cepat melahirkan karangan.
Dalam hal karya tulis Ibnu Sina termasuk
filsuf muslim yang paling produktif, dilihat dari umur kalender kehidupannya
memang terhitung pendek. Akan tetapi, ketika kita lihat dari amal baktinya
sebenarya ia berumur panjang. Karena karya nya yang selalu dijadikan pedoman
sepanjang masa.
Pemikiran Ibnu
Sina ada yang mengenai filsafat dan ada juga mengenai ilmu-ilmu
lainnya.[19]
Pemikirannya tentang filsafat bermacam-macam ada yang berkaitan dengan ilmu
fisika dan ada pula yang berkaitan dengan ilmu ketuhanan.[20] Pemikiran Ibnu Sina secara mendasar
mempengaruhi perumusan kembali teologi katolik Roma yang dilakukan oleh Albert
yang agung dan terutama oleh Thomas Aquinas. Penulis akan mencoba membahas
penafsiran ibnu sina tentang doktrin filsafat yunani. Elemen-elemen doktrin
ibnu sina adalah yunani, dan beberapa perumusan kembali tentang doktrin-doktrin
yunani dan dapat pula ditemukan pada pemikiran Al-Farabi (yaitu seseorang
filsuf muslim yang sangat berjasa besar terhadap pemikiran ibnu sina).[21]
Karakteristik
paling mendasar dari pemikiran ibnu sina adalah pencapaian defenisi dengan
metode pemisahan dan pembedaan konsep-konsep secara tegas dan keras. Tata cara
ini memungkinkan untuk merumuskan kembali prinsip-prinsipnya yang sangat umum
dan mendasar bahwa pada setiap konsep yang jelas dan berbeda. Suatu prinsip
yang pada akhirya Descrates menggunakan sebagai dasar dari tesis nya
tentang dualisme akal-tubuh. Ibnu sina selalu melakukan
pembuktian-pembuktian tentang dualisme tubuh dan akal, Doktrin
Universal, teorinya tentang esensi dan eksistensi dan sebagainya. Contoh dari prinsip ini adalah
“bahwa apa yang disahkan dan diizinkan, berbeda dengan apa yang tidak disahkan
dan tidak diizinkan”[22] dan “
suatu konsep tunggal secara keseluruhan tak dapat diketahui dan tidak diketahui
secara bersamaan, kecuali terhadap aspek-aspek yang berbeda”[23]
1. Doktrin tentang wujud
Perarakan
intelegensi imaterial dari wujud tertinggi dengan cara pemancaran di maksudkan untuk membahas
sesuai dengan pendapat yang diilhami oleh teori
pemancaran Neo-Platonik. Pendapat yang lemah dan tak dapat dipertahankan
dari aristoteles yang mengatakan bahwa tidak ada terusan dari Tuhan Yang Esa
kepada dunia. Kemudian para filsuf muslim mengolah kembali tradisi filsafat
yunani, tidak hanya membangun sistem yang rasional akan tetapi juga
sistem yang rasional yang beruapaya mengintegrasikan tradisi islam.
Adanya tuhan
adalah suatu keniscayaan, dan adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan di
turunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi, karena
dengan demikian yang lain juga tidak akan ada.[24] Tuhan
menciptakan sesuatu karena adanya keperluan yang rasional. Dengan dasar
keperluan yang rasional ini, ibnu sina menjelaskan prapengetahuan Tuhan tentang
semua kejadian, seperti apa yang kita lihat pembahasannya tentang Tuhan. Dunia
ada secara keseluruhan bukan karena kebetulan, tetapi diberikan oleh Tuhan. Ia
diperlukan dan keperluan ini diturunkan dari tuhan. Inilah prinsip
ibnu sina tentang eksistensi secara singkat.[25]
Ibnu sina
berkeyakinan bahwa hanya dari bentuk dan materi saja anda tidak akan pernah
mendapatkan eksistensi yang nyata[26], tetapi
hanya kualitas-kualitas esensial yang betulan. Ibnu sina telah menganlisis dalam kesempatan
yang panjang, hubungan dan bentuk materi dalam Al-Syifa (“Met” II, 4 dan
“Met” VI,1), dimana ia menyimpulkan bahwa bentuk dan materi itu bergantung
kepada tuhan (atau akal aktif) dan lebih jauh bahwa eksistensi yang tersusun
juga tidak bisa hanya disebabkan oleh bentuk dan materi saja, akan tetapi harus
ada sesuatu yang lain. Akhirnya, di dalam (“Met” VIII, 5) ia menjelaskan kepada kita bahwa ”segala sesuatu
kecuali yang esa, yang esesnsi-Nya adalah tunggal dan maujud, memperoleh
eksistensi-nya dari sesuatu yang lain di dalam dirinya sendiri, ia layak untuk
mendapatkan ketidakadaan yang mutlak. Sekarang,
ia bukan materi sendiri tanpa bentuknya,atau bentuk sendiri tanpa materinya
yang layak mendapatkan ketidakaadaan itu, tetapi adalah semuanya (bentuk dan
materi).[27]
Menurut ibnu
sina, esensi mewujud dalam pikiran Tuhan dan dalam intelegensi-intelegensi
dalam pikiran aktif sebelum hal-hal yang ada itu mewujud dalam dunia lahiriah,
dan mereka juga ada dalam pikiran kita setelah mereka itu mewujud. Tetapi kedua
tingkat esensi ini sangat berbeda. Dan perbedaan itu tidak hanya karena adanya
pengertian bahwa yang satu bersifat kreatif sedangkan yang lain bersifat
imitatif. Tetapi sesungguhnya esistensi itu tidak universal dan tidak pula
khas, tetapi hanyalah esensi. Kekhasan dan universalitas adalah “kejadian”
yang terjadi pada esensi.[28]
2. Hubungan Jiwa-Raga
Pemikiran
terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang jiwa. Sebagai Al-Farabi ia juga menganut paham pancaran. Dari Tuhan memancar
akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama
demikian seterusnya sehingga tercapai akal kesepuluh dan bumi. Dari akal
kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan.
Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal sepuluh adalah Jibril. [29]
Berlainan
dengan Al-Farabi, Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua
sifat-sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin
wujudnya jika ditijau dari hakikat dirinya dan atau Necessary By Virtue Of The
Necessary Being Dab Possible In Essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga
objek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagi wajib wujudnya dan dirinya sebagai
mungkin wujudnya. Dari pemikiran-pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal, dari
pemikiran tentan dirinya sebagi wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari
pemikiran tenang dirinya sebagai mugkin wujudnya timbul langit-langit.
Sebagaimana
Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan jiwa dan raga. Akan tetapi
semua pemikiran Aristoteles menolak kecendrungan suatu pandangan dua
subtansi, Yang mana menurut ibnu sina
dipandang sebagai bentuk dari dualisme radikal. Ibnu Sina tidak menggunakan
dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan mengenai hubungan jiwa
dan raga.
Afinitas alasan
ibnu sina dengan Cogito Ergo Sumnya Descrates telah ditunjuk oleh para
ahli sejarah filsafat. Sesungguhnya semua kecendrungan pemikiran ini diilhami
oleh Pemikiran Plotinus tentang keterpisahan jiwa dengan tubuh.[30] Tetapi
terdapat perbedaan penting apa yang telah di rumuskan oleh Ibnu Sina dan
Descrates. menurut Descrates, bahwa kesadaran atau “saya pikir” termasuk dalam
“saya” begitulah menurut Descrates, “saya fikir” dan “saya adalah” mempunyai
kesamaan makna.[31]
Maka jelaslah bahwa dalam hal ini kesadaran diri dan keberadannnya secara logis
tak dapat dipisahkan. Tapi menurut ibnu sina, unsur kesadaran itu ada sejak
seseorang dapat mengukuhkan keberadannya sendiri, hal itu betapa pun ada hanya
sebagai cara untuk menempatkan diri, ia adalah kenyataan yang mungkin, dan
bukan suatu kemestian yang logis.
Ibnu sina telah
meghabiskan satu bab khusus dalam membahas antara hubungan jiwa dan raga ini yang
mana mendasarakan keberagaman indra pada perbedaan-perbedaan kualitatif yang
terdapat diantara kerja mental. Walaupun demikian, ia berulang-ulang
menekankan perlunya ikatan terpadu (ribat) bagi kerja yang beraneka ragam itu.[32]
Sungguh ia
menyatakan bahwa fungsi-fungsi vegetatif dan perseptual pada manusiapun,
misalnya secara spesifik berbeda dengan fungsi-fungsi yang ada pada tumbuh-tumbuhan
dan hewan, karena rasionalitas yang ada pada manusia tersebut yang melingkupi
dan mengubah karakter semua fungsinya. Azas terpadu inilah pikiran itu sendiri.
Ibnu sina dalam
memandang hakikat jiwa dipengaruhi oleh Aristoteles tentang manusia sebagaimana
layaknya benda alam yang terdiri dari dua unsur yaitu madad (materi) dan
shurat (form),[33] ibnu sina mendefenisikan jiwa dengan Jauhar
rohani. Defenisi ini mengisyaratkan bahwa jiwaa merupakan substansial rohani, tidak tersusun dari materi-materi sebagaimana
jasad.
Menurut ibnu
sina, hubungan antara jiwa dan raga itu sangat erat, keduanya saling bekerjasama antara terus menerus. Jika jiwa tidak ada, maka jasadpun tidak
ada, karena jiwa adalah sumber kehidupannya, yang mangatur baik urusan maupun
potensi. Jika jasad tidak ada, maka jiwapun tidak ada. Karena untuk menerima
jiwa, jasad adalah syarat bagi adanya jiwa itu sendiri.
3. Teori pengetahun
Sesuai dengan tradisi yunani yang universal, Ibnu
Sina memberikan seluruh ilmu pengetahuan sebagai jenis abstraksi untuk memahami
bentuk suatu yang diketahui. Persepsi indrawi memerlukan sekali kehadiran
materi yang nyata. Tetapi tidak dapat memahami tanpa pelekatan-pelekatan dan
kejadia-kejadian materi yang memberikan kekhususan kepada imajinasi, sedangkan
dalam akal sendiri bentuk murni dimengerti secara universal. Juga mungkin
sekali ibnu sina menjelaskan teori “tentang tingkatan-tingkatan
abstraksi-abstraksi” ini untuk menghindari keberatan-keberatan itu, yang
tentang keberatan aristoteles tantang pengertian (menurut doktrin ini seluruh
pengertian merupakan abstraksi bentuk “Tanpa materi-nya”) bertanggung jawab,
yaitu kila persepsi adalah pengetahuan tentang bentuk semata-mata, maka
bagaimana kita tahu bahwa bentuk ini mewujud pada materi ? atau sungguh
bagaiman kita tahu bahwa materi sama sekali ada.
Kedudukan ibnu
sina pada persepsi secara umum adalah kedudukan reaisme yang naïf, seperti
kedudukan aristoteles dan para pengulasnya yang memandang persepsi secara
representasi. Namun setelh mendapat kritik dari skepsistisme dan relatifisme
yang menunjukkan relatifitas kualitas-kualitas yang tercerap, pandangan secara
ralatifisme ini benar-benar termodifikasi dan akhirnya ibnu sina menerima
pandangan kausal-semu atau lebih tepat relasional tentang kualitas-kualitas
persepsi yaitu objek-objek yang memiliki
kualitas-kualitas nyata, hal ini bertanggung jawab atas bebrapa pertanyaan
subyektifis Ibnu Sina yang membedakan antara presepsi primer dan presepsi
sekunder. Presepsi primer bersifat subyektif atau merupalan keadaan pikiran
orang yang menjerat, sedangkan presepsi sekunder merupakan keadaan lahiriyah.
Ibnu Sina tidak benar-benar melihat, seperti kita orang-orang modern,
kesulitan-kesulitan mendasar pada kedudukan ini. Namun konsepsinya muncul
kembali dalam filsafat barat abad pertengahan sebagai pembeda antara objek
psikologis atau intensional dan objek yang nyata, suatu pembedaan yang lama
kemudian dikembangangkan oleh locke menjadi pembedaan kualitas-kualitas presepsi sekunder.
Tetapi kunci
utama doktrin Ibnu Sina tentang presepsi ialah pembedaan antara presepsi
internal dan eksternal. Presepsi eksternal ialah kerja panca indera eksternal
Ibnu Sina pun membagi-bagi presepsi internal menjadi ima unsure kendatipun ia
menunjukan keraguan yang amat sangat terhadap subyek ini (lihat “Psychology”,
IV, I). Tujuan utama dari Ibnu Sina adalah memisah-misahkan fungsi atau kerja yang berbeda secara kualitatif dan tentu saja
kita ingat lagi tentang prinsipnya bahwa pad setiap gagasan yang jelas pasti
terdapat perbedaan dalam realitasnya.
Kini kita
beranjak pada doktrin tentang akal yang telah diulas secara sangat terperinci
oleh Ibnu Sina. Ia telah mengambil alih dalam doktrinya itu teori dalam
perkembangan akal manusia yang dikumandagkan oleh Aristoteles secara sangat
singkat dan agak kabur kemudia diperjelas oleh Alexander dari Aphrodisias dan
kemudian oleh Al-Farabi. Namun Ibnu Sina telah menambahkan
penafsiran-penafsiranya sendiri yang teramat baru dan asli. Secara singkat, membedakan akal potensial pada
manusia dan akal aktif diluar manusia, yang karena pengaruh serta petunjuknya
akal potensial berkembang dan menjadi matang. Pada dasarnya, yang menjadi
masalah adalah asal kesdaran manusia hal ini dijelaskan berdasarkan anggapan
tentang akal transenden supra-manusiawi yang bila akal manusia siap
menerimanya, meanugerahkan pengetahuan kepada akal manusia.
Berlawanan
dengan Alexander, Al-Farabi, dan mungkin juga Aristoteles, Ibnu Sina
beranggapan bahwa akal potensial pada manusia adalah unsur yang tak dapat
dibagi-bagi, tidak bersifa materi dan tak dapat dirusak sekalipun akal ini
dibangkitkan pada waktu tertentu dan sebagai sesuatu yang bersifat pribadi bagi
setiap individu.
4. Ajaran tentang kenabian
Pentingnya
gejala kenabian dan wahyu Ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah
diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan: intelektual, imajinatif,
keajaiban, dan sosiopolitis. Totalitas
keempat tingkatan ini member kita petunujuk yang jelas tentang motivasi, watak,
dan arah pemikiran keagamaan. Memang, dari gambaran dan penafsiran sepihak kami
tetntang proposisi filosofis sentralnya sejauh ini, jiwa kegamaanya telah
muncul dengan jelasnya. Teori tentnag “ada” telah membawa kepada kebergantungan
setiap makhluk tertentu kepada Tuhan dan ajran-ajarannya tentang jiwa-raga
serta asal kejadia dan sifat pengetahuan bermuara pada konsepsi keagamaan
tentang keajaiban-keajaiban disatu pihak dan tentang pengetahuan kewahyuan
dilain pihak. Dan ada sedikit kesan bahwa nafas kegamaan merupakan sesuatu yang
sengaja diselipkan kedalam pemikiran rasionalnya yang murni. Tetapi sebaliknya,
nafas keagamaan itu secara organik telah menumbuhkan suatu proses rasiosinasi
yang tepat, lalu menghujam kedalam inti dasar pemikiranya.
Bisa dikatakan
bahwa Ibnu Sina adalah warga dunia spiritual- intelektual, helenis dan Islami.
Dalam pemikiranya ia pada haikatnyatelah menyatkan tentang kedua dunia tersebut
sedemikian rupa sehingga keduanya menjadi identik, degan demikian masalah tentang
ketidak setiaan kepada salah satu dari keduanya sama sekali tidak timbul pada
dirinya. Dalam keadaan demikian, baik Islam tradisional maupun warisan budaya
helenisme tak pelak lagi ditafsirkan dan dimodifikasi sampai pada tingkat yang
lebih besar atau lebih kecil. Hal ini tampak pada keseluruhan falsafahnya yang
secara teknis memasuki bidang agama, tetapi yang paing gambling tampak pada
doktrinya tentang kenabian. Dalam doktrinya ini, Ibnu Sina secara drastis
memodifikasi teologi dogmatis musilm dengan menyatakan bahwa wahyu di dalam
al-Quran pada umumnya tidak keseluruhan merupakan kebenran simbolis, bukan
kebenran harfiyah tetapi wahyu itu harus tetap sebagai kebenaran harfiyah bagi orang
awam (ini tidak berarti bahwa Quran itu fiman Tuhan sebenarnya, seperti akan
kita lihat nanti dalam arti harfiyah memang al-Quran adalah firman Tuhan).
Memang, bangsa Yunani tidak memiliki konsepsi kenabian dan wahyu kenabiamsebaga
mana dikenal oleh umat Islam. Sebenarnya konsepsi Muslim tentang kenabian ini
baru dan unik dalam sejarah agama. Menurut para filosof Muslim (terutama Ibnu
Sina, karena walaupun Al-Farabi telah mempelopori jalanya kita tidak menemukan
semua unsure ini padanya, kecuai unsure-unsur tersamar, kasar dan
terpencar-pencar, ini menjadi suatu teoru terurai, menyeluruh, dan halus untuk
menafsirkan kepribadian Muhammad, tak lain dan tak bukan merupakan penampilan
seorang jenius).[34]
5. Tuhan dan dunia
Pada bagian
pertama telah kita pelajari bahwa Tuhan itu unik dalam arti dia adalah
kemaujudan yang mesti segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diriya
sendiri dan keberadaanya bergantung kepada Tuhan. Kemaujudan yang mesti itu jumlahnya harus satu tetapi Tuhan memilik
esensi lain, tak ada atribut-atribut lain kecuali Dia itu ada. Ini dinyatakan
oleh Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa esemsi Tuhan identik dengan keberadaanya
yang mesti itu. Karena Tuhan tidak beresensi, maka Dia mutlak sedeehan adan tak
dapat didefinisakan,. Namun jika Dia tak bersseni dan tak beratribut, bagaimana
caranya agar Dia dapat dikaitkan dengan dunia? Menurut Aristoteles yang
menganut konsepsi ketuhanan, dunia ini menunjukan dirinya sebagi sesuatu yang
lain bukan objek ciptaan Tuhan, bukan objek yang dilindunginya, dan bahkan
bukan pula objek pengetahuanya. Tuhanya Aristoteles meberkati kehidupan bahagia
berupa renungan diri yang abadi dan dunia menata dirinya menjadi sebuah kosmos
berlandaskan cinta-kasih dan pemujaan terhadapnya, untu menjadi seperti dia.
Tradisi
falsafah Muslim menemukan jalan keluar karena mendapat pengaruh dari contoh
Neo-Platonis yang menggabungkan antara kesederhanaan mutlak Tuhan dan gagasan
bahwa dalam mengetahu dirinya, Tuhanpun mengetahui esensi segala sesuatu secara
tersirat dan sederhana. Sistem ini dirancang dan sisusun oleh Ibnu Sina yang
berupaya menggali atribut-atribut Tuhan tentang pengetahuan,
penciptaan, kekuasaan, kehendak, dan sebagainya. Dari adanya yag sedrehana dan
tak berubah-ubah atau lebih tepat untuk membuktikan bahwa atribut-atribut ini
tak lain adalaj kenyataan akan keberadaanya. Hal ini dilakukan dalam upaya
membuktikan bahwa semua atribut itu tidak relasional ataupun negative. Jadi,
atribut-atribut itu identik dengan adanya Tuhan dan dengan satu sama lain. Maka
dari itu Tuhan adalah mutlak sederhana. Bahwasanya Tuhan itu maha mengetahui
dibuktukan dengan kenyataan bahwa Dia murni dari amteri dan merupaka jiwa yang murni Dia adalah akal murni dimana
subyek dan objeknya identik.
Adapun mengenai
atribut-atribut kehendak dan penciptaan Tuhan, pembahasaan emanasionis Ibnu
Sina menganggapnya tak jadi maslah apa yang telah dibuktikan oleh Al-Ghazali.
Dalam pembahasan intelektual-emanasionis yang seksama tentang ketuhanan,
pembuktian Al-Ghazali itu tak ada artinya sama sekali. Menurut Ibnu Sina,
kehendak Tuhan berarti hanyalah prosesi yang mesti atas dunia
dari dirinya dan kekuasaan dirinya melalui proses ini. Memang ia mendefinisikan
ini dengan istilah yang benar-benar negative, yaitu bahwa Tuhan tidak
berkehendak sehingga dunia berprosesi dari-Nya ini amat berbeda dengan
atribut-atribut positif dari pilhan dan penentuan pilihan tersebut titip.
Dunia ini
secara abadi bersama Tuhan, karena baik materi maupun bentuk mengalir abadi
dari Dia. Tetapi walaupun konsep ini menjijikan bagi Islam orthodox, tujuan
Ibnu Sina memperkenalkanya adalah dalam rangka berupaya untuk berlaku adil
terhadap tuntutan-tuntutan agama maupun terhadap penalaran dan utntuk
menghindari materialisme ateistis. Menrurt kaum materialis dunia ini telah ada
dan abadi tanpa Tuhan. Menurut Ibnu Sina pun abadi adanya, tetapi karena dunia
ini tak berdiri sendiri maka secara keseluruhan membutuhkan Tuhan dan
bergantung kepadanya secara abdi. Disini kita melihat adnya tujuan ganda dari
ajaran esensi dan keberadaan ini. Tidak seperti halnya ateisme ajaran ini
menghendaki Tuhan agar berada di atas segala maujud dalam rangka menghinadri
panteisme, selanjutnya ajaran ini menhendaki agar adanya Tuhan itu dibedakan
secara mendasar dari adanya Tuhan.
Tidak diragukan lagi bahwa ibnu
sina adalah seorang filsuf yang sangat besar pengaruhnya didunia, para
cendikiawan arab maupun eropa dengan jujur mengakuinya sebagai salah seorang
budayawan ulung, pandangan nya sangat luas dan sangat sulit untuk kita carikan
tandingannya, genius, menguasi pelbagai ilmu pengetahuan seperti : kedokteran,
filsafat, fisika, logika, dll. Dia telah memberikan sumbangan yang
cukup besar dalam rangka peningkatan peradaban umat manusia. Seorang sarjanawan
jerman Wiston Fold pernah melakukan penelitian dan mendata karya ibnu sina, tidak kurang dari 105 buku yang meliputi tentang ilmu
kedokteran, filsafat, agama, astronomi, bahasa, sastra, mistik, matematika,
logika, fisika, dan sebagainya.
Ibnu sina sangat besar sekali jasanya dalam bidang
khazanah ilmu pengetahuan, meskipun beliau hidup dizaman yang penuh intrik dan
penuh pergolakan. Keistimewaan karyanya terletak pada tulisannya yang sangat bermutu,
rasional, objektif, kerangka berfikirnya sitematis, maupun
eksperimen-eksperimennya yang sangat cermat dan mendalam. Bauh karya beliau
mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi kebangkitan keilmuan dieropa maupun
pemikiran sarjana barat pada umumnya. Pemikiran filsafat ibnu sina pernah diajarkan
di berbagai universitas dieropa, bahkan sampa sekarang masih dikuliahkan di
berbagi universitas katolik disana.
Ibnu sina memiliki kontribusi yang sangat besar
didalam bidang pendidikan yakni telah meletakkan dasar-dasar dan konsep tentang pendidikan islam. Ibnu sina mempunyai
pendapat yang cukup terkenal dalam bidang pendidikan anak, pandangan beliau
mengenai kurikulum tingkat pertama dalam pendidikan islam dapat dikemukakan
sebagai berikut berdasarkan ungkapan ibnu sina:
“Pertama-tama
sebaiknya anak itu belajar al-Qur’an, tentu saja setalah anak itu siap secara
fisik dan mental untuk belajar. Seyogyanya pada waktu yang sama ia juga belajar
huruf abjad, diajarkan dasar-dasar pendidikan agama dan di ajarkan syair-syair
pilihan yang berisi tentang budi pekerti, penghargaan tentang ilmu, celaan
terhadap kebodohan, dorongan bebuat baik kepada kedua orang tua, melakukan
perbuatan baik, melayani tamu dengan baik dan sebagianya.”
Ibnu Sina sangat memperhatikan prinsip-prinsip dalam
pendidikan yakni pelajaran hendaknya dimulai dari hal-hal yang sederhana, mudah
dan ringan kemudian baru beralih pada pelajaran yang lebih berat. Beliau juga
mempertimbangan kecerdasan seorang anak maupun kekuatan ingatanya, oleh karena
itu tidak perlu diragukan lagi bahwa Ibnu Sina itu adalah seorang ahli
pendidikan sejati artinya beliau sepertinya dilahirkan di bumi ini sebagai
seorang pendidik yang mengenal betul kejiwaan manusia maupun tingkat
kecerdasanya. Pendidikan Islam menurut Ibnu Sina dapat dirumuskan sebagai
berikut:
“setelah
anak selesai menghafal surat-surat pendek al-Quran dan mengetahui dasar-dasar
tata bahasa Arrab secara sederhana, barulah kemudian diarahkan untuk
mempelajari pelajaran lainya sesuai dengan tingkat kesiapan dan kemampuanya.
Dan perlu juga hendaknya diberi pelajran ketrampilan.”
Bila materi-materi pendidikan dasar telah dapat
diselesaikan dengan baik, selanjutnya yang perlu diperhatikan kembali adalah
masalah bakat dan minat anak tersebut. jika minatnya kepada hal-hal yang
praktis, maka dia harus diarahkan pada materi pendidikan yang bersifat ketrampilan.
Sebaliknya, bila minatnya kepada seni sastra dan kebudayaan sebaiknya dia di
beri kesempatan dan fasilitas berkaitan dengan itu agar kelak ia benar-benar
menjadi sastrawan dan budayawan.
Bila kita cermati uraian di atas, betapa luasnya
pokok_pokok uraian pikiran Ibnu Sina tentang pendidikan yang pernah dikemukakan
pada 5 H/900 tahun yang lalu. Dari uraian pemikiranya yang sangat beragam itu
dapat disimpulkan sebagai berikut:
“Mata pelajaran
itu hendaknya disesuaikan dengan minat dan bakat anak didik, agar dia dapat
menguasainya dengan baik”. Setiap anak harus kita tempatkan dan dibimbing
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Prinsip-prinsip pendidikan seprti
inilah yang banyak diterapkan oleh institusi pendidikan modern pada abad ke 21
ini”.
Ahli pendidikan
seperti Ibnu Sina nampaknya berpikir praktis, bahwa menuntut imu itu tidak
sekedar untuk perkembangan ilmu itu sendiri, akan tetapi disamping
materi-materi pelajaran yang pokok seperti membaca, menulis, dan berhitung, juga
perlu diajarkan ketrampilan yang dapat membekali anak didik dapat mandiri dan
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya di masa datang dari jasa ketrampilan yang
dimilikinya itu.
Selanjutnya unutk melahirkan para ilmuan yang ulung
Ibnu Sina menekankan agar mendidik mahasiswa sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuanya. Oleh karena itu institusi atau universitas yang kita bangun harus
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka sesuai dengan pilihan
masing-masing sepanjang pilihan itu didasrkan pada bakat, minat, dan kemampuan
dari mahasiswa itu sendiri: hal ini seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Sina:
“Jika
seorang anak senang belajar tulis menulis, maka ketika ia belajar bahasa perlu
ditambah materi pelajaran surat-menyurat, masalah kehumasan, berhitung,
administrasi perkantoran. Sebaliknya bila ia ingin belajar ilmu pengetahuan
lainya, juga harus dilayani.”
Di dalam pengembangan khazanah keilmuan dan di dalam
pengembangan minat, bakat, dan keterampilan siswa (murid) perlu adanya guru
(pendidik). Adapun Sifat-sifat yang
harus dimiliki guru (pendidik) yaitu :
Menurut Ibnu Sina seorang guru itu seyogyanya adalah
seorang yang berakal sehat, kuat agamanya, berakhlak mulia, pandai mengambil
hati anak didik (murid), berwibawa, berkepribadian yang tangguh, berwawasan
yang luas dan tidak statis, manis tutur katanya, cerdik, terpelajar, nechis,
dan berhati suci.
Jelas sudahlah sekarang bahwa seorang guru yang
melakukan tugas mendidik anak-anak, harus memiliki sifat-sifat tersebut di
atas. Memang, seorang guru haruslah orang yang berakal sehat, bijaksana dalam
bertindak, menyelesaikan tugasnya dengan baik, cermat daam berpikir, dan
pendapatnya jitu. Seorang guru tidak boleh berperangai kasar dan emosional,
karena hal itu tidak baik pengaruhnya terhadap kepribadian anak didik.
Disamping itu, haruslah orang yang mendalami ilmu
pengetahuan agama, seorang yang soleh dan bertakwa kepada Allah SWT dan
Rasulnya. Seorang guru harus merasa takut melakukan perbuatan yang dilarang
oleh Allah baik diketahui orang lain atau tidak. Dia selalu mengevaluasi
dirinya terhadap waktu mengajar yang dipandangnya kurang efektif dalam proses
belajar-mengajar.
Dapat kita simpulkan bahwa konsep pendidikan sebagai
mana yang dikemukakaan oleh Ibnu Sina merupakan masalah yang amat penting dan
profesi yang cukup pelik yang membutuhkan kemampuan khusus dan pengetahuan yang
memadai tentang masalah anak didik (murid). Dan ironisnya, justru yang jumapi
dimasyarakat banyak guru yang tidak mengetahui sedikitpun dasar-dasar teori
pendidian dan metodologi pengajaranya.
Ibnu Sina menyatakan, bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagian (sa’adah). Kebahagian itu sendiri bisa dicapai secara bertingkat, Sesuai
dengan tingkat pendidikan yang dikemukakannya, yaitu mulai dari kebahagian
pribadi (individu), kebahagian rumah tangga, kebahagian masyarakat, kebahagian
manusia secara menyeluruh, dan kebahagian yang terakhir adalah kebahagian di
akhirat. Kebahagian ini tidak
bisa diperoleh secara serentak, akan tetapi diperoleh secara bertahap.[36]
Di dalam bukunya “ Risalah As-Siyasiyah”di jelaskan bagaimana
pendidikan orang tua dalam mengasuh anak[37].
Banyak buah pikiran dari ibnu sina yang sangat berharga dan patut kita pegangi,
antara lain :[38]
1.
Memberi nama dengan nama yang baik,
2.
Apabila anak telah berhenti menyusu
maka mulailah mendidiknya dengan membina budi pekertinya
3.
Jika anak sudah besar (fase sekolah
dasar) maka mulailah mengajarkannya membaca al-Qur’an
4.
Menekankan pembinaan peserta didik,
agar berakhlak mulia dan terhindar dari akhlak tercela, mengubah kebiasaan yang
jelek dengan cara Taqhrib dan Targhib (pemberian ancaman dan
harapan)
5.
Bila anak sudah menyelesaikan pelajaran
al-Qur’an dan sudah menghafal kaedah-kaedah bahasa, maka perhatikan kerajinan/ keterampilannya maka bimbinglah
anak ke arah itu.
6.
Seorang pendidik seorang yang cerdas
bijaksana, taat beragama, budi pekerti pembinaan akhlak, pandai membimbing
anak-anak, terhormat dalam persfektif anak-anak, jauh dari sifat negatif (kasar), dll.
7.
Tujuan dari pendidikan adalah :
“kemandirian dalam mengemban beban hidup dan memberi kemanfaatan kepada
masyarakat, dengan jalan membina tiap anggota masyarakat dengan pekerjaan
mereka yang baik
BAB III
KESIMPULAN
DAN SUGGESTION
Besar sekali pengaruh pemikiran ibnu sina. Di timur, sesungguhnya
pemikiran ibnu sina telah mendominasi falsafah muslim sampai zaman modern
ketika ia disejajarkan dengan beberapa pemikir barat yang mana mereka terdidik
di universitas-universitas modern sedangkan ibnu sina banyak belajar secara
otodidak.
Karya-karya ibnu sina diterjemahkan ke dalam bahasa latin di spanyol pada
pertengahan abadke 6 H/12 M. Pengaruh pemikirannya di barat tampak jelas dan mendalam serta tebentang
luas. Pengaruh ibnu sina mulai tampak secara nyata sejak masa Albert yang agung,
Santo dan guru termasyhur Thomas Aquinnas. Metafisika ( dan Teologi) Aquinnas
tak dapat di menegmerti tanpa jasa yang ia pahami dan ia terima dari pemikiran
ibnu sina.
Kita semua dapat melihat betapa
besarnya pengaruh pemikiran ibnu sina baik itu di timur apatah lagi di barat.
Bahkan pemikiran filsuf abad pertengahan pun tak luput dari pengaruh pemikiran
ibnu sina, seperti Robert Grosseteste dan Roger Bacon. Dun Scotus dan
Count pengulas-pengulas Aristoteles
paling hebat pada abad pertengahan memberikan kesaksian bahwa karyanya juga tak
lepas dari pengaruh pemikiran ibnu sina.
Author aware of the many shortcomings in the writing of
scientific papers, whether that of punctuation errors, language and so on.
Then, on the basis of the expected shortage of criticism and constructive
suggestions. So that there is change for the better.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Assegaf, Aliran Pemikiran
Pendidikan Islam Hadhadarh Keilmuan Tokoh Klasik
Sampai Modern, Raja Grafindo,
Jakarta, 2013
Abdul Aziz
Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam Jakarta: Djambatan,2003
Abu Muhammad
Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam : Gagasan-Gagasan Besar Para Imuwan Muslim,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015.
Ahmad Barizi,Pendidikan Integrative
:Akar Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, UIN-MALIKI PRESS : Malang, 2011
Al-makin, Keragaman Dan Perbedaan, Suka
Press : Yogyakarta, 2016
Busyairi
Madjiji, Konsep Kependidikan Para Filsuf Muslim, Al-Amin:Yogyakarta, 1997
Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisime Dalam Islam Jakarta : Bulan Bintang, 1973
Ibnu sina, The Life Of Ibnu Sina : Sirat
al-Syaikh al-Rais, a critical edition & annotated transl. By William
Gohlman Albany :
Sunny, 1974
Jalaluddin, Filsafat
Pendidikan Isl am, Telaah Sejarah dan Pemikirannya, Kalam Mulia :
Jakarta, 2011
Muhammad
Athiyah Al-Abrasy, Pokok-Pokok
Pikiran Ibnu Sina Tentang Pendidikan, Isa al-Babi Wa Syirkah, Cet II
1969/1389 H
Referensi online :
Fathor Rachman Ustman, “Pemikiran
Pendidikan Ibnu Sina” Jurnal Tadris, Volume5, Nomor 1 (April,
2010). Di akses tanggal 23 november 2016 pada pukul 23:00 WIB
M.Ihsan Dacholfany, Sistem dan Pendidikan Menurut Ibnu Sina. http://www.teknologipendidikan.net/sistemdan-pendidikan-menurut-Ibnuu-sina. Di akses tanggal 23
november 2016 pada
pukul 23:00 WIB
[1]M.Ihsan Dachol fany, Sistem
dan Pendidikan Menurut Ibnu Sina.
Di akses tanggal 23 november 2016 pada pukul 23:00 WIB http://www.teknologipendidikan.net/sistemdan-pendidikan-menurut-Ibnuu-sina.
[2]Busyairi Madjiji, Konsep
Kependidikan Para Filsuf Muslim, (Al-Amin:Yogyakarta, 1997) cet.I, hlm.45
[3]H.Ahmad Barizi, Pendidikan Integrative :Akar Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan
Islam, (UIN-MALIKI PRESS : Malang, 2011), hlm.222
[5]Ulama berbeda pendapat
mengenai tahun kelahirannya. Al-Qifthi dan Ibn Khalkan mengatakan pada tahun
370 H/980 M, Ibn Abi Ushaibi’ah mengatakan pada tahun 375 H/985 M, ada yang
mengatakan pada tahun 373 H/983 M, dan ada pula yang mengatakan 363 H/973 M. (Muhammad
Ustman Najati, dalam Min A’lam
Al-Tarbiyyah Al-‘Arabiyyah Al-Islamiyah, Jilid II, 1409 H/ 1988 M:243)
[6]Ibnu sina, The Life Of Ibnu Sina : Sirat al-Syaikh al-Rais, a critical
edition & annotated transl. By William Gohlman (albany : sunny, 1974), hlm 17-19.
[7] Busyairi
Madjiji, Opcit, hlm.45
[8]Zainal Abidin Ahmad, Ibnu Sina....., hlm. 41dikutip dari kitab ‘Uyun ul
Anba’, juz II, hlm.2 oleh Ibnu Abi Ushaibi’ah.
[9]H.Ahmad Barizi, Pendidikan Integrative :Akar Tradisi Dan
Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, hlm 223
[11]H.Ahmad
Barizi,Pendidikan
Integrative :Akar Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam,hlm
223
[13] Abdurrahman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan IslamHadhadarh
Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern, (Raja Grafindo, Jakarta, 2013).hlm.77.
[16]Lihat
Syafaruddin Khattab, Tarikh At-Tharbiyah
Fil Ushulil Wustha, (At-Thalabah : Mesir 1931) hlm. 130
[18]Oleh Fazlur Rahman, Lektor Kepala Institute Of Islamic Studies, Mc Gill University,
Canada. Yang di terjemahkan oleh : Luthfi A.B
[22]Tertuang dalam karya ibnu sina, Al-Syifa
[23]Terdapat dalam Al-Syifa bagian
psikolgi, V, 7.
[24] Karangan Ibnu Sina, Al-Najat,
Kairo, 1939, hlm 224. Akan terlihat bahwa benih-benih argumentasi ontologis ada
dalam bentuk yang telah cukup dikembangkan dalam argumentasi ini. Maka akan
terbukti, argumrntasi kosmologis, berdasarkan ajarikan materi sena ban
Aristoteles tentang sebab pertama, akan tak ada gunanya dalam mempertahankan
keberadaan Tuhan. Nemun demikian, ibnu sina belum memilih untuk membangun suatu argumen ontologis yang dicanangkannya.
Argumentasinya itu, sepertinaakan kita lihat nanti yang menjadi ajaran utama
teologi dogmatis aktolik roma, lebih menyerupai pembuktian leibniz menegenai
Tuhan sebagai dasar dunia, karena Tuhan kita dapat memahami keberadaan
dunia. Disini sebab akibat bertindak sebagai premis-premis dan kesimpulan yaitu
walaupun ada gerak mundur dari akibat yang diperkirakan ke sebab, kita bergerak
ke muka dadi premis yang sudah pasti
menuj kesimpulan. Sebenarnya, menurut ibnu sina, Tuhan menciptakan melalui
kemestian rasional yang atas dasar itu
pula ia menjelaskan prapengetahuan ilahitentang segala peristiwa, sebagaimana
akan kita lihat pada uraian tentang Tuhan.
[25]M.M Syarif, Para Filsuf Muslim, hlm.
105
[26]Bagian ini berdasarkan artikel F.Rahman “Essence And Existence In
Avicenna”dalam Mediaeval and Renaissance Studies, Oxford, 1958.
Walaupun pertimbanga-pertimbanganbaru yang ditambahakan disini sampai tingkat
tertentu telah mengubah pemaparannya.
[28] Ibnu Sina, Al-syifa’ ( pengantar menuju logika : kairo , 1952) hlm
65-69Juga “ Met” V.1
[30] Perkembangan serupa terjadi di barat, dimulai dari augustine dibawah
pengaruh Neo-Platonis.
[31]meditations II,“Bagaimana hal berfikir? Saya mendapati disini
bahwa pemikiran adalah atribut kepunyaan saya. Tetapi kapan saja hanya ketika
sya berfikir. Mungkin masalahnya adalah
jika saya berhenti berfikir sama sekali maka saya pun dengan sendirinya harus berhenti ada sama
sekali, tetapi saya ini tidak lebih dari benda yang berfikir.
[32] Sebuah peranyaan menarik bisa kita ajukan disini tentang kemanunggalan
pikiran. Kita telah melihat perbedaan kualitattif antara gejala mental dan
fisiktelah memastikan atribusi keduanya kepada substansi-substansi yang berbeda.
Argumen ini dinyatakan kembali oleh G.F Stout yang dalam tulisannya”mind and
matter” meletakkan “priciple of generic research balance” pada
tindakan-tindakan dan cara kerja jika itu semua terdapat dalam substansi
tunggal. C.D Broat telah menolak dualisme dalam tulisannya “mind and
itsnplace in nature” dengan alasan bahwa tak ada ketentuan yang dapat
diletakkan seperti berapa besar perbedaan kuantitatif yang harusada untuk
membolehkan kita menempatkan gejala pada substansi-substansi yang berbeda. Namun
demikian, Broadka sendiri lrbih menyukai “Compound Theory” antara pikiran dan
tubuh. Sehingga secara tersirat ia memberi tekanan pada prinsip-prinsipia
persamaan dan perbedaan kualitatif yang ingin ia ingkari. Sebeb, mengapa ada
kemestian lain bagi “Compound” ?.
Toh kalau kita menerima segala sesuatu dari prinsip tersebut, kita dapat
menanyakan perlambangan apa yang terjadi
pada tindakan-tindakan mental untuk mengatributkannya menjadi satu substansi.
Sebab, berharap, berkeinginan dan berpikir adala gejala yang saling berlainan.
Menurut falsafah tradisionl , kesadaran mungkin merupakan kualitas
umumyang memenuhi prinsip tersebut dan
hal itu memang telah dianggap sebagai bahan baku dalam pembuatan gejala itu.
Jika kita meyakininya, maka akan terbukti bahwa keinginan , katakutan dan
harapan di lua kesadaran adalan nonmental.
[33]
Form adalah jiwa manusia sedangkan materi adalah jasad manusia
[34] Lihat,. Prophecy in Islam dari F. Rahman G.
Allen & Unwin, London
[35]
Muhammad Athiyah Al-Abrasy, Pokok-Pokok
Pikiran Ibnu Sina Tentang Pendidikan, ( isa al-Babi wa syirkah, Cet II
1969/1389 H)
[36]Jalaluddin, Filsafat
Pendidikan Islam, Telaah Sejarah danPemikirannya, Kalam Mulia,
Jakarta,2011,h.177
[37] Jika anak sudah disapih dari susu ibunya, maka hendaknya ia
dilatih/dibiasakan dengan etika yang baik sebelum ribadinya dipengaruhi oleh etika
yang jelek, sebelum dikurung oeh sangkar tabi’at yang buruk, dan sebelum di
penjara oleh tradisi yang salah. Karena anak kecil sangat mudah sekali dipengaruhi
oleh etika yang baikdan sekaligus etika yang buruk. Oleh sebab itu, pendidikan
yang diberikan sekiranya dapat menjauhkan mereka dari etika yang kurang baik,
dari tabi’at yang buruk, dan tradisi yang salah., dengan pujian dan celaan,
ganjaran dan hukuman, penerimaan dan penolakan, hadiah dan siksaan, sesuia
kondisi yang bersangkutan. Jika perlu, pendidikan pemulihan anak ke arah etika
yang baik dilakukan dengan pukulan sejauh tidak merusak dan emnjadikannya
penakut, sebagaimana banyak di lakukan oleh ahli hikmah terhadap
murid-muridnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar