KERAJAAN ISLAM DI JAWA
(KERAJAAN DEMAK, BANTEN, CIREBON, PAJANG, MATARAM)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebelum Islam masuk ke pulau Jawa, mayoritas masyarakat Jawa masih
menganut ajaran Hindu dan Buddha. Hal ini didukung oleh fakta sejarah yang
menerangkan bahwa terdapat kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa.
Kerajaan-kerajaan tersebut sangat tangguh dan kokoh hingga peninggalan dari kerajaan
Hindu dan Buddha masih dapat kita lihat saat ini, seperti Candi Prambanan,
Candi Borobudur, dan sebagainya.
Islam datang ke pulau Jawa melalui beberapa jalur seperti jalur
perdagangan, perkawinan, dan sebagainya. Proses Islamisasi di Jawa juga terjadi
karena adanya peran dari Walisongo. Walisongo adalah para wali yang merintis
dan menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Peran Walisongo tidak hanya sebagai
penyebar ajaran Islam, melainkan dalam bidang politik, Walisongo juga berperan
sebagai penasihat agama bahkan menjadi pemimpin agama di beberapa kerajaan
Islam di Jawa. Proses Islamisasi berkembang sangat cepat hingga muncul beberapa
kerajaan yang bercorak Islam di Jawa. Makalah ini akan membahas bagaimana
perkembangan ajaran agama Islam di pulau Jawa serta beberapa kerajaan Islam
yang ada di Jawa.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi sosial,
ekonomi, dan politik, serta peran Kerajaan Demak dalam proses Islamisasi di
Jawa?
2.
Bagaimana sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi sosial,
ekonomi, dan politik, serta peran Kerajaan Cirebon dalam proses Islamisasi di
Jawa?
3.
Bagaimana sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi sosial,
ekonomi, dan politik, serta peran Kerajaan Banten dalam proses Islamisasi di
Jawa?
4.
Bagaimana sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi
perekonomian, peran dalam kebudayaan, serta kemunduran Kerajaan Pajang di Jawa?
5.
Bagaimana sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi sosial,
ekonomi, dan politik, perkembangan dan peradaban Islam, serta kemunduran dari
Kerajaan Mataram di Jawa?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi
sosial, ekonomi, dan politik, serta peran Kerajaan Demak dalam proses
Islamisasi di Jawa?
2.
Untuk mengetahui sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi
sosial, ekonomi, dan politik, serta peran Kerajaan Cirebon dalam proses
Islamisasi di Jawa?
3.
Untuk mengetahui sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi
sosial, ekonomi, dan politik, serta peran Kerajaan Banten dalam proses
Islamisasi di Jawa?
4.
Untuk mengetahui sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi
perekonomian, peran dalam kebudayaan, serta kemunduran Kerajaan Pajang di Jawa?
5.
Untuk mengetahui sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi sosial,
ekonomi, dan politik, perkembangan dan peradaban Islam, serta kemunduran dari
Kerajaan Mataram di Jawa?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kerajaan Demak
1.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Demak
Kerajaan Demak
adalah sebuah kerajaan yang terletak di daerah Demak, Jawa Tengah. Pendiri
kerajaan Demak adalah Pangeran Jinbun atau lebih dikenal dengan sebutan Raden
Patah. Menurut sumber sejarah, Pangeran Jimbun merupakan keturunan dari Raja
Brawijaya yang menikahi seorang wanita dari Cina.[1] Ibu
kandungnya yang merupakan seorang putri Cina menjadi selir Raja Brawijaya yang
terakhir. Ketika sedang hamil, putri Cina tersebut dihadiahkan pada seorang
anaknya yang bernama Arya Damar, seorang gubernur di Palembang.[2]
Setelah dewasa,
Raden Patah kemudian pergi ke Jawa Timur untuk berguru dengan Sunan Ampel. Dikisahkan
dalam buku Babad Tanah Jawa, Sunan Ampel memiliki tiga orang putri, dan salah
satu putrinya akan dinikahkan dengan Raden Patah, yaitu Nyai Ageng Mendaka.
Setelah menikah dengan Nyai Ageng Mendaka, atas nasihat Sunan Ampel, Raden
Patah berkelana dan menemukan sebuah tempat bernama Glagah Wangi. Raden Patah
kemudian membuka dan membangun desa di Glagah Wangi hingga banyak orang yang
tinggal menetap disitu. Mereka diajari agama Islam, sembahyang lima waktu, dan
tiap rumah memiliki surau/langgar.
2.
Sistem Pemerintahan
Dalam sistem pemerintahan, kekuasaan tertinggi berada di tangan
Raja. Menurut Graaf dan Pigeaud, Raden Patah memiliki gelar Panembahan Sayyidin
Panata Gama.[3]
Demak kemudian dijadikan pusat dan benteng agama Islam.
Pada masa pemerintahan Raden Patah, disusun angkatan perang yang
bertugas sebagai penjaga negara dan penjaga agama Islam. Hal ini dilakukan agar
agama Islam unggul dan terus berkembang sesuai dengan keinginan para
pendahulunya (Walisongo). Dalam pelaksanaan hukum, Raden Patah menyusun suatu
kitab undang-undang dan peraturan dalam pelaksanaan hukum yang dikenal sebagai
Salokantara. Di dalamnya menerangkan tentang pemimpin keagamaan yang pernah
menjadi hakim yang disebut dharmadhyaksa. Raden Patah juga membuat
siasat politik yaitu :
a.
Menghancurkan kekuatan Portugis di luar Indonesia
b.
Membuat pertahanan yang kuat di Indonesia
Usaha melawan Portugis belum selesai ketika pada tahun 1518 Raden
Patah wafat. Beliau pun digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati Unus.
Namun, Adipati Unus hanya memerintah selama tiga tahun sehingga usahanya
sebagai negarawan tidak banyak diceritakan.[4]
Setelah Adipati Unus wafat, ia digantikan oleh saudaranya yang
bernama Sultan Trenggana. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Demak diperluas
hingga ke arah Barat, yaitu Banten, dan ke Timur hingga ke hulu sungai Brantas.
3.
Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
Dalam hal perekonomian, masyarakat Demak berkembang ke arah
perdagangan maritim dan agraria. Dalam kemaritiman, Demak memiliki fungsi
sebagai pelabuhan transit atau penghubung antara daerah penghasil rempah-rempah
di daerah timur Malaka yang kemudian dibawa ke arah Barat. Dalam hal agraria,
Demak memiliki daerah pertanian yang cukup luas sehingga hasil pertanian yang
berupa beras kemudian di ekspor ke Malaka.[5]
4.
Peran dalam Proses Islamisasi
Dalam proses Islamisasi di wilayah Demak, kerajaan Demak berperan
dalam pembangunan Masjid Agung Demak sebagai pusat peribadatan umat Islam. Dengan
adanya masjid, umat Islam dapat membangun hubungan dengan pusat-pusat Islam
Internasional di luar negeri.[6]
B.
Kerajaan Banten
1.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Banten
Pada tahun 1524/1525, Nurullah atau Sunan Gunungjati pergi ke
Banten dan meletakkan dasar bagi pengembangan agama dan perdagangan orang-orang
Islam. Menurut cerita Jawa-Banten, Sunan Gunungjati menduduki Banten setelah
berhasil menyingkirkan bupati Sunda dengan bantuan militer dari Demak.
Pada tahun 1527, Hasanuddin yang merupakan putra dari Sunan
Gunungjati berhasil menduduki kota pelabuhan Sunda Kelapa. Hasanuddin yang
semakin berkuasa dan tidak menghiraukan Demak yang sedang kacau sejak tahun
1550. Pada tahun 1568, ia memutuskan hubungan dengan Demak dan menyatakan
dirinya sebagai raja pertama kerajaan di Banten.
2.
Sistem Pemerintahan
Dalam sistem pemerintahan, Hasanuddin mengikuti kebijakan ayahnya
yaitu memperluas wilayah agama Islam, seperti ke Lampung dan wilayah
sekitarnya. Pada saat pemerintahan Banten dipimpin oleh anak Hasanuddin yang
bernama Yusuf, terdapat pimpinan agama yang dipegang oleh Maulana Judah (dari
Jeddah).[7]
3.
Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
Pada masa pemerintahan Hasanuddin, dilakukan ekspansi wilayah
hingga ke Lampung dan wilayah sekitarnya di Sumatera Selatan. Wilayah tersebut
merupakan wilayah penghasil merica yang besar sehingga Banten menjadi kota
pelabuhan yang disinggahi para pedagang dari Cina, India, dan Eropa.[8]
Peninggalan yang terdapat di kerajaan Banten adalah sebuah Meriam besar
buatan Demak yang merupakan hadiah dari Sultan Trenggana sebagai tanda
penghargaan atas hasil yang telah dicapai. Meriam yang diberi nama Ki Jimat
tersebut masih dapat dilihat di Banten tepatnya di Kampung Karang Antu pada
paruh pertama abad ke-20.[9] Selain
itu, terdapat peninggalan sejarah berupa Keraton Surosowan, Masjid Agung dan
Menara Banten, Masjid Pacinan Tinggi, dan makam-makam Sultan Banten.[10]
4.
Peran dalam Proses Islamisasi
Menurut Hoesein Djajadiningrat, penyebaran Islam di Banten
dilakukan oleh Sunan Gunungjati pada tahun 1525 dan 1526 M. Setelah Pangeran
Hasanuddin beranjak dewasa, tugas untuk menyebarkan agama Islam kemudian
diserahkan pada Hasanuddin. Ia berkeliling ke daerah-daerah sehingga
berangsur-angsur penduduk Banten memeluk agama Islam. Penyebaran Islam di
Banten dilakukan melalui jalur kesenian, misalnya dengan akulturasi beberapa
bangunan masjid, menara, dan kraton yang tidak terlepas dari pengaruh
Hindu-Islam.[11]
C.
Kerajaan Cirebon
1.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Cirebon
Menurut sejarah, pendiri kerajaan Cirebon adalah Nurullah atau yang
lebih dikenal dengan nama Sunan Gunungjati. Nurullah berasal dari Pasei, kota
pelabuhan tua di Aceh. Berdasarkan cerita Jawa Barat, Nurullah melakukan ibadah
haji di Mekkah pada tahun 1521 dan kemudian kembali ke Demak pada tahun 1524.
Ketika kembali ke Demak, ia menikahi saudara perempuan Sultan Trenggana.
Setelah menikah, Nurullah kemudian pergi ke Banten dan mendirikan
pemukiman muslim. Menurut sejarah Banten, Sunan Gunungjati menetap di Banten
hingga tahun 1552. Sunan Gunungjati yang memiliki daerah kekuasaan di Cirebon
sebelumnya diserahkan pada putranya yang bernama Pangeran Pasareyan. Namun,
pada tahun 1552, Pangeran Pasareyan wafat.[12] Kemudian,
Nurullah yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunungjati pindah ke Cirebon, dan
pemerintahan yang berada di Banten diserahkan pada anaknya yang bernama
Hasanuddin.
Menurut cerita-cerita Jawa, tidak ada kepastian mengenai adanya
keraton besar yang didirikan oleh Sunan Gunungjati. Cerita Jawa hanya menyebutkan
bahwa Sunan Gunungjati menyuruh membuat masjid besar dengan gaya yang sama
seperti Masjid Agung Demak. Tidak dibangunnya keraton besar di Cirebon
kemungkinan karena Sunan Gunungjati masih berkedudukan di Banten hingga tahun
1552.[13]
2.
Sistem Pemerintahan
Kekuasaan pemerintahan yang kuat tidak dimiliki kerajaan Cirebon.
Kerajaan Cirebon berusaha memperkuat kedudukan politiknya dengan perkawinan.
Sunan Gunungjati yang menikah dengan saudara perempuan Sultan Trenggana dari
Demak, ia menyuruh putranya, Hasanuddin dari Banten menikah dengan putri yang
ditinggalkan raja.
3.
Kemajuan dalam bidang Budaya
Pada zaman pemerintahan Sultan Trenggana, Cirebon merupakan kota
pelabuhan yang dihuni masyarakat Islam yang berdarah campuran Cina. Namun pada
saat itu, Cirebon belum menjadi kota yang makmur. Sunan Gunungjati-lah yang
berhasil mengubah Cirebon menjadi kota yang merdeka.[14]
Dalam bidang kebudayaan, keraton Cirebon banyak mengembangkan
kegiatan sastra seperti mengarang nyanyian keagamaan Islam yang disebut Suluk
yang bercorak mistis[15]
4.
Peran dalam Proses Islamisasi
Menurut cerita orang-orang pribumi, proses Islamisasi daerah
Cirebon dilakukan oleh Sunan Gunungjati. Cirebon yang merupakan daerah
kekuasaaan Kerajaan Sunda Pajajaran yang bercorak Hindu-Buddha. Pada masa pemerintahan
Sunan Gunung Jati, proses Islamisasi di daerah Jawa Barat dilakukan. Misalnya,
pada tahun 1525- 1526, penyebaran Islam ke Banten dilakukan dengan cara
menempatkan putra Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana Hasanuddin yang
kemudian menjadi pemimpin Kerajaan Banten. Penyebaran Islam tidak hanya
dilakukan ke Banten, namun juga wilayah Priangan Timur antara lain ke Galuh
pada tahun 1528 dan ke Talaga pada tahun 1530. [16]
D. Kerajaan Pajang
1. Sejarah Berdirinya Kerajaan Pajang
Kerajaan ini adalah dari kelanjutan
kesultanan Demak. Sesuai tersebut dalam Serat Kandha dan Babad Tanah Jawa
disebutkan sebagai mana tertulis dalam buku H.J. de Graff dan Th. Pigeaud, raja
utama adalah putera Raja Pengging. Semasa kecil ia bernama Mas Kerabet ketika
dewasa bernama Jaka Tingkir sesuai dengan tempat lahirnya. Setelah dewasa ia
menikah dengan puteri Sultan Trenggana, dan dia membentuk keraton Demak. Konon
ada yang mengatakan ia cucu dari Sunan Kalijaga. Dia terkenal orang yang sangat
pandai mengatasi keadaan yang sedang berkecamuk.
Jaka Tingkir adalah raja pertama Kerajaan
Pajang, ia berkuasa karena mengambil alih kekuasaan yang pada waktu itu
kerajaan Demak sedang kekacauan terjadi pembunuhan sesuhunan Pawoto yang di
bunuh oleh Aria Penangsang penguasa Jipang (Bojonegoro) pada tahun 1546 M.
setelah ia memerintah menarik semua benda pusaka dipindah ke Pajang, dan ia
menjadi raja yang paling berpengaruh di pulau Jawa ia bergelar Sultan
Adiwijaya.[17]
2. Sistem Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Sultan Adiwijaya,
ia memperluas kekuasaan di tanah pedalaman ke arah timur samping Bengawan Solo
terbesar. Setelah itu dia berturut-turut menguasai Blora (1554 M.), dan Kediri
(1577M.). Pada tahun 1581 M., ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai Sultan
Islam dari raja-raja terpenting di Jawa Timur, pada umumnya hubungan keraton
Pajang dengan keraton Timur memang bersahabat.[18]
Setelah Jaka Tingkir meninggalkan dunia
pada tahun 1587, para penggantinya tidak dapat mempertahankan pemerintahnya.
Ahli waris Sultan Pajang ialah tiga
orang putra menantu; yaitu raja di Tuban, raja di Demak, dan raja di Araos
Bayu, di samping putranya sendiri, Pangeran Banawa, yang kono masih sangat
muda. Oleh karena itu, dia disingkirkan oleh Arya Panggiri (dari Demak) dan
dijadikan adipati di Jipang. Sebagai pemimpin Pajang adalah Arya Panggiri.
Ternyata, tindakan-tindakannya banyak yang merugikan rakyat sehingga
menimbulkan rasa tidak senang di mana-mana.
Keadaan semacam itu dimanfaatkan oleh Pangeran
Benawa untuk merebut kembali kekuasaannya. Usahanya berhasil, sesudah menjadi
pertempuran pada tahun 1588. Selanjutnya, Arya Panggiri di kembalikan ke Demak
kemenangan tersebut atas peran Senopati mataram yang dianggapkannya sebagai
kakak. Namun, baru satu tahun memerintah, dia wafat. Meskipun ada pendapat yang
mengatakan bahwa dia meninggalkan Pajang, menuju Parakan (Kedu).
Setelah itu memerintah Pajang banyak
dikendalikan oleh orang-orang Mataram. Buktinya, Senopati Mataram mengangkat
Gagak Bening, yang memerintah sampai dengan tahun 1592. Senopati Mataram
mengendalikan Pajang sampai dengan tahun 1618.[19]
3. Perekonomian Pajang
Pada abad ke 16 dan 17 Pajang sangat maju di bidang pertanian,
sehingga merupakan lumbung beras terkemuka pada zamannya. Pusat kerajaan Pajang
berada di dataran rendah tempat bertemuan sungai Pepe dan Dengkeng (yang
kedua-duanya bermata air di lereng Gunung Merapi) dengan Bengawan Solo. Air
cukup sepanjang tahun. Irigasi dapat di pastikan lancar, sehingga pertanian
Pajang maju.
Penguasa-penguasa Pajang pun rupanya bercita-cita pula untuk
membangun suatu negeri kombinasi agraris-maritim dengan daerah induk Panjang
sebagai tulang panggung daerah agraris penghasil peras serta pelabuhan ekspor
di muara Bengawan Sala yang stategis di jawa Timur seperti Gresek dan daratan.
Keadaan yang terakhir inilah yang sebenarnya mempersulit tercapainya cita-cita
yang sangat ideal itu, karena Bengawan Sala tidah bermuara di Jawa tengah
seperti di demak misalnya, melaikan di Jawa Timur. Bagai mana pun untuk
mencapai cita-cita sebagai Negara agraris-maritim, Pajang harus berorientasi ke
Jawa Timur , kerena di sanalah terdapat pelabuhan untuk ekspor besarnya.[20]
4. Peranan Pajang di bidang Budaya
Pajang mempunyai peranan penting dalam memperkenalkan gaya-gaya
arsitektur. Sastra dan seni lainya yang di ambil-alih dari Demak dan Jepara ke
daerah pedalaman Jawa Tengah. Karaton Pajang sendiri dibangun menurut model
arsitektur keraton Demak.
Sastra jawa pada masa Pajang juga telah hidup dan dihayati oleh
rakyat . pada parut kedua abad ke-16
pengarang karang Gayam, pujangga keraton Pajang, telah menulis kitab Nitisruti
yang mengandung ajaran-ajaran moral Jawa.
Dua tokoh penyebar agama di wilayah
Pajang adalah Syekh Siti Jenar mengajarkan islam yang bersifat mistik dan
sinkretis. Daerah penyebaran ajaran Syakh Siti Jenar diperkirakan sekitar
Pengging. Sedang Sunan Tembayat menyebarkan agamanya jauh di sebelah Selatan,
di Tembayat, Klaten, sesuai dengan asalnya dari Semarang, Sunan tembayat
menyiarkan agama islam yang lebih puritan.
Suatu tradisi religius yang diperkirakan
juga berasal dari abad ke 16 adalah pesta apem yang disebut Angka Wiyu di Jatinom di daerah Klaten sekarang,
yang pada masa itu juga termasuk wilayah Pajang. Letaknya pun tidak jauh dari
Pengging. trandisi religius itu dilaksanakan dan dirakyatkan dengan
menyembarkan dengan kue apem di atas kepala para pengunjung untuk
diperebutkanya.[21]
5. Berakhirnya Kerajaan Pajang
Sultan Adiwijaya meninggal pada tahun 1587. Kemudian di makamkan
di Butuh, yang terletak tidak jauh di sebelah Barat taman kerajaan Pajang.
Makam itu hingga kini masih dikenal sebagai makam Aji.
Sepeninggal Sultan Adiwijaya
pada 1587 itu kerajaan Pajang ditaklukkan oleh negara bawahannya, Mataram.
Pemberontakan Pajang terhadap Mataram pada masa
pemerintahan Sultan Agung telah menghancurkan Pajang untuk selama-lamanya.
Pemberontakan ini terjadi pada 1617-1618 dan memperleh duungan dari pihak-pihak
yang tidak puas di Mataram. Pemberotakan Pajang ini mudah dipahami pula, karena
secara ekonomis Pajang senantiasa ditekan, dahulu oleh Demak dan sekarag oleh
Mataram. Menurut catatan VOC pemberontakan itu terjadi pada masa musim kering
yang luar biasa hebatnya yang berlangsung dari 1618-1624.
Sebagai hukuman atas
pemberontakan yang berupa tidak mau menyetorkan hasil berasnya kepada Mataram,
sawah-sawah di Pajang yang padinya sedang menguning dibakar habis oleh pasukan
Mataram. Para petani yang terlibat dalam pemberontakan itu kemudian diangkut
paksa ke Mataram. Tenaga mereka dmanfaatkan dalam pembangunan keraton baru di
Plered yang letaknya 1 Km sebelah tumur laut Ibu Kota Mataram yang lama, Karta.
Sesudah itu Pajang tidak lagi berarti baik politk atau pun ekonomi.[22]
E. Kerajaan Mataram
1. Sejarah Berdirinya Dinasti Mataram
Pendiri padam raja-raja dinasti Mataram
adalah Ki Ageng Pemanahan. Diceritakan bahwa Ki Ageng Pemanhan adalah cucu Ki
Ageng Sela (Sesela) yang bermukim di Sesela, di daerah Grobongan, sebelah
selatan Demak. Dalam legenda Ki Ageng Sela diceritakan pernah menangkap kilat
(petir) dengan tangannya. Mungkin legenda ini ada kaitanya dengan relief kilat
(petir) pada pintu utama masjid Demak yang dikenal sebagai pintu bledeg (petir).
Ayah Ageng Pemanahan bernama Ki Ageng
Ngenis, seorang hamba setia dari raja Adwijaya Pajang. Ia bertempat tinggal di Lawiyan dan kemudian dimakamkan pula
disitu. Letak Lawiyan tidak jauh di sebelah timur istana atau keraton Pajang.
Lawiyan sekarang merupakan sebuah kampung di dalam kota Surakarta yang terkenal
kaum saudagarnya.
Adapun nama Ki Ageng Pemanahan di ambil
dari nama desa tempat tinggalnya pula, yaitu Manahan yang letaknya tidak jauh
dari Lawiyan dan sekarang pun juga masuk kota Surakarta. Seperti kita tahu Ki
Ageng Pemanahan bersama putranya, yaitu Senapati dan peserta Ki Penjawi berjasa
terhadap raja Pajang dalam membunuh Aria Penangsang dari Jipang Panolan.
Ki Penjawi dihadiahi daerah Pati.
Menurut Babad Tanah Jawa hal ini
didasarkan karena justru Ki Penjawi berusia lebih muda, sehingga lebih baik
memperoleh daerah yang makmur dan telah berwujud kota, sedang Ki Ageng
Pemanahan yang lebih tua sudah selayaknya harus mengalah, suatu sifat yang
dihargai tinggi oleh orang Jawa, sehingga
dengan rela mau menerima tanah Mentaok (Mataram) yang masih berwujud hutan.
Tetapi menurut Babad Pasundan, Ki Penjawi justru menerima daerah Pati, karena
memang jasanya lebih besar dibandingkan dengan jasa Ki Ageng Pemanahan.
Diperkirakan Ki Ageng Mataram
(Pemanahan) mulai membuka hutan dan membangun kota di Mataram sejak 1558, sebab
pada tahun itu jugalah berakhirnya perang antara Pajang dengan Jipang. Padan
1577, ia menempati istana baru dan disebutnya Kodakede yang tidak jauh
disebelah tenggara kota Yogyakarta sekarang.[23]
2. Sistem Pemerintahan
Pemerintahan Mataram menetapkan
peraturan bagi pengusa setempat wajib bayar upeti. Pada abad ke-16, Mataram
mengadakan peluasan daerah kekuasaan dari Malaka sampai Cirebon. Puncak raja
Mataram berkuasa, ia menguasai kerajaan Madiun (1590 M.), pada tahun 1591 M, ia
berusaha menduduki kerajaan Madiun.[24]
3. Kondisi Ekonomi, Sosial dan Budaya
·
Ekonomi
Dilihat
dari letak geografisnya yang berada di pedalaman dan memiliki tanah yang subur,
menjadikan kerajaan Mataram sebagai daerah pertanian (agraris) yang cukup
berkembang, bahkan menjadi daerah pengekspor beras terbesar pada masa itu.
Rakyat Mataram juga banyak melakukan aktivitas perdagangan laut.
Pada
masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) yang merupakan puncak kejayaan
Mataram terlihat penyatuan kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Jawa tidak hanya
menambah kekuatan politik, tetapi juga kekuatan ekonomi, dengan demikian
ekonomi Mataram tidak semata-mata tergantung ekonomi agraris, tetapi juga
karena pelayaran dan perdagangan.
·
Sosial
budaya
Pada
masa kebesaran Mataram, kebudayaan juga berkembang antara lain seni tari, seni
pahat, seni sastra dan sebagainya. Disamping itu muncul kebudayaan kejawen yang
merupakan akulturasi antara kebudayaan asli Hindu, Buddha dengan Islam. Upacara
Grebeg yang bersumber pada pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan
yang merupakan tradisi sejak zaman Majapahit dijatuhkan pada waktu perayaan
hari besar Islam, sehingga muncul Grebeg Syawal pada hari raya Idul Fitri, dan
Grebeg Maulud padad bulan Rabiul awal. Adanya suasana yang aman, damai dan
tenteram, maka berkembang juga kesustraan Jawa.[25]
4. Perkembangan agama dan peradaban Islam
di Mataram
Penggunaan gelar Sayyidin Panatagama oleh Senapati
menunjukkan bahwa sejak awal berdirinya Mataram telah dinyatakan sebagai negara
yang bercorak Islam. Raja berkedudukan sebagai pemimpin dan pengaturagama.
Kedudukan kepemimpinan agama tersebut kemudian diperjelas lagi dengan tambahan
gelar Kalipatullah, wali Tuhan di dunia. Mataram
menerima agama dan peradaban Islam dari kerajaan-kerajaan Islam pesisir yang
lebih tua. Sunan Kalijaga, sebagal moyang dan penghulu terkenal Masjid Suci di
Demak mempunyai pengaruh besar di Mataram. Tidak saja sebagai pembimbing rohani
dalam penghayatan agama, tetapi juga tidak kalah penting Sunan Kalijaga
dipandang pula oleh Senapati sebagai pembimbing rahanu di bidang politik.
Hubungan-hubungan erat antara Cirebon dengan Mataram memiliki peranan penting
bagi perkembangan Islam di Mataram. Sifat mistik Islam dari Keraton Cirebon
merupakan unsur yang menyebabkan mudahnya isiam diterima oleh masyarakat Jawa
di Mataram. Islam tersebut tentu saja adalah islam Islam sinkretis yang
menyatukan diri dengan unsur-unsur pra-Hindu dan unsur-unsur Hindu-Buddha.[26]
5. Masa Kemunduran
Kharisma Mataram menjadi turun semenjak mangkatnya Sultan Agung di
bulan Februari 1646 dan diganti putranya "Susuhunan Amangkurat I”
Raja baru Mataram yang menggunakan gelar Susuhunan (artinya yang
disembah atau dipuji-bisa juga bearti Kaisar) ini disamping memerintah secara
otoriter, kejam juga termasuk raja yang antipati terhadap ulama. Tercatat
selama ia berkuasa telah membantai dua ribu ulama termasuk mertuanya; Sunan
Giri.
Bersekongkol dengan Kompeni, berpola hidup ala Barat, dansa, minum-minuman
keras dan lain sebagainya merupakan kebijak sanaan yang ditempuh. Ini berbeda
dengan para pendahuluanya yang menghormati ulama dan antipati terhadap kompeni
adapun Sultan Agung menjalin kerjia sama dengan Portugis itu sebatas demi
kepentingan kerajaan atau dengan kata lain untuk membendung usaha penetrasi
yang dijalankan oleh kompeni yang bermarkas di Batavia.
Sebagai akibatnya maka banyak daerah yang di masa Sultan Agung
menjadi bawahan Mataram, melepaskan diri. Pemberontakan-pemberontakan pun tak
bisa dihindarkan lagi, seperti: Trunojoyo (Madura), K. Kajoran (tokoh agama)
dan anaknya sendiri Adipati Anom.
Masa kelam terus menvelimuti bumi bedahan Ki Pemanahan beserta
putranya Panembahan Senopati dan mencapai kegemilangan pada masa Sultan Agung
Hatta akhirnya di tahun 1755 M, Mataram terbagi menjadi dua bagian: Yogyakarta
yang dipimpin Hamengkubuwono dan Surakarta dibawah kekuasaan Pakubuwono.[27]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Proses Islamisasi yang terjadi di
pulau Jawa tidak terlepas dari peran penting kerajaan-kerajaan Islam di Jawa,
seperti Demak, Pajang, Mataram, Cirebon, dan Banten. Masyarakat Jawa yang
dulunya memeluk agama Hindu, seperti kerajaan Majapahit misalnya, lambat laun
mulai meninggalkan ajaran lama dan memeluk agama Islam. Hal ini disebabkan
karena proses Islamisasi yang dilakukan dengan pendekatan budaya dan tanpa
kekerasan, sehingga masyarakat dapat dengan mudah tertarik dan masuk agama
Islam. Seperti melalui jalur kesenian wayang, Suluk, arsitektur, dan
sebagainya. Kerajaan-kerajaan Islam yang terdapat di Jawa memegang peranan
penting bagi terciptanya masyarakat muslim yang maju dan berkembang, baik dalam
hal kepercayaan, ekonomi, sosial, politik, maupun budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Yahya. Kerajaan Islam Nusantara abad ke XVI dan XVII. (Yogyakarta:
Kurnia Kalam Sejahtera, 1995)
Daliman A., Islamisasi dan Perkembangan
Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012)
Mukarrom Akhwan, Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia
(Surabaya: Jauhar, 2010)
Syukur Fatah, Sejarah Peradaban Islam (Semarang : Pustaka
Rizki Putra)
Yusuf Mundzirin, dkk, Sejarah Peradaban
Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006)
Erwantoro Heru, Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon (Bandung :
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2012)
Pigeaud dan Graaf, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
Said Hasani Ahmad, Islam dan Budaya di Banten (Jakarta : UIN
Syarif Hidayatullah, 2016)
SKI Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Sejarah Peradaban Islam di
Indonesia (Yogyakarta : Pustaka, 2006), hlm. 76-77
Birsyada Muhammad Iqbal, Islamisasi di Jawa; Konflik Kekuasaan
di Demak (Yogyakarta : Calpulis) hlm. 22
https://www.zonasiswa.com/2015/06/sejarah-kerajaan-demak-kehidupan.html
. Diakses pada tanggal 5 Maret 2019 pukul 22.05
[1] SKI Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Sejarah Peradaban Islam di
Indonesia (Yogyakarta : Pustaka, 2006), hlm. 76-77
[2] Muhammad Iqbal Birsyada, Islamisasi di Jawa; Konflik Kekuasaan
di Demak (Yogyakarta : Calpulis) hlm. 22
[4] Ibid., hlm. 78
[5] https://www.zonasiswa.com/2015/06/sejarah-kerajaan-demak-kehidupan.html
. Diakses pada tanggal 5 Maret 2019 pukul 22.05
[6] SKI Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Sejarah Peradaban Islam di
Indonesia, hlm. 80
[7] SKI Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Sejarah Peradaban Islam di
Indonesia, hlm. 90
[8] SKI Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Sejarah Peradaban Islam di
Indonesia, hlm. 90-91
[9] Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, hlm. 123
[10] Hasani Ahmad Said, Islam dan Budaya di Banten (Jakarta : UIN
Syarif Hidayatullah, 2016) hlm. 116
[11] Ibid., Islam dan Budaya di Banten.. hlm. 116
[12] Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, hlm. 117
[13] Ibid., hlm. 117
[14] Ibid., hlm. 117
[15] Ibid., hlm. 119
[16] Heru Erwantoro, Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon (Bandung :
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2012) hlm. 173
[17] Drs. H. Fatah Syukur NC,M.Ag,Sejarah Peradaban Islam,PT.
semarang penerbit:pustaka Rizki Putra, hlm 205-206
[18] Ibid, hlm 206
[19] Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah
Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006) hlm
82-83
[20] Prof. A. Daliman, Islamisasi
dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2012), hlm 172-174
[21] Ibid, hlm 172-173
[22] Ibid, hlm 174-176
[23] Ibid 179-180
[24] Drs. H. Fatah Syukur NC,M.Ag,Sejarah Peradaban Islam,PT.
semarang penerbit:pustaka Rizki Putra,hlm 207
[25] Akhwan Mukarrom, Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia
(Surabaya: Jauhar, 2010), hal 29
[26] Prof. A. Daliman, Islamisasi
dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2012), hlm 190
[27] Yahya Harun, Kerajaan
Islam Nusantara abad ke XVI dan XVII, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hal.27-28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar