MAKALAH STUDI
AGAMA
PENDEKATAN STUDI
AGAMA DALAM FENOMENOLOGI DAN INTEGRASI-INTERKONEKSI
Disusun Oleh :
Taufik Hidayat (16410003)
Doli Habibi
Wijaya Panjaitan (16410010)
Nur Kholis
Riida’ani (16410017)
Tika Anjariani (16410023)
Dwi Afriyanto (16410072)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA 2017
KATA PENGANTAR
Dengan mnyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah tentang Pendekatan
Studi Agama Dalam Fenomenologi dan Integrasi-Interkoneksi.
Makalah ilmiah
ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu menyampaikan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Terlepas dari
semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik deri segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini. Kami berharap semoga makalah ilmiah ini dapat memeberikan
manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................... ii
Daftar Isi........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.............................................................................. 2
C.
Tujuan
Penulisan................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendekatan Fenomenologi............................................... 3
B.
Pendekatan
Fenomenologi dalam Studi Agama................................ 4
C.
Problematika
Fenomenologi Agama.................................................. 9
D.
Pengertian Integrasi-Interkoneksi…………………………………..11
E.
Paradigma
Integrasi-Interkoneksi…………………………………..14
F.
Pendekatan
Integrasi-Interkoneksi dalam Studi Agama……………18
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan………………………………………………………….26
B.
Saran…………………………………………………………………27
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara menegnai fenomenologi
agama tidaklah lepas dari pemahaman mengenai esensi dari suatu agama. Metode
fenomenologi ini meneliti keragaman dalam agama-agama baik mengenai fetisisme,
pemujaan arwah, korban, purifikasi puasa, dan sebagainya. Selain itu metode
fenomenologi juga untuk mengetahui hal-hal yang esensial dari berbagai agama.
Mengenai fakta-fakta yang diperoleh
secara ilmiah dan interpretasi fakta-fakta tersebut menimbulkan sejumlah metodologis
tanpa akhir, sebagian antara para pengikut berbagi aliran subjektif, tetapi
sedikit banyaknya juga melibatkan para sarjana yang bermaksud membela status
objektif dan empirik fenomenologi agama. Hal ini yang terkadang menimbulkan
perdebatan tanpa akhir dan tidak pernah terselesaikan oleh para fenomenolog.
Dari gejala-gejala sejarah maupun
keagamaan tersebut, konsep integrasi-interkoneksi yang diperkenalkan oleh M.
Amin Abdullah, yaitu mengkaji satu
bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya dan kesaling-terkaitan antar berbagai disiplin ilmu dapat
memberi jawaban atas problematika tersebut.
Paradigm ini berasumsikan bahwa
untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani
manusia, setiap keilmuan apapun, baik ilmu agama, social, humaniora, maupun
kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Melainkan harus kerjasama antar keilmuan
satu dengan yang lainnya, yang nantinya lebih dapat membantu manusia dalam
menhadapi atau memahami kompleksitas kehidupan dan memecahkan berbagai
persoalan masalah yang dihadapinya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
fenomenologi ?
2.
Bagaimana
pendekatan fenomenologi dalam studi agama ?
3.
Apa problematika
dalam fenomenologi agama ?
4.
Apa pengertian integrasi-interkoneksi?
5.
Bagaimana
paradigma integrasi-interkoneksi ?
6.
Bagaimana
pendekatan integrasi-interkoneksi dalam studi agama ?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
pengertian fenomenologi
2.
Mengetahui
seperti apa pendekatan fenomenologi dalam studi agama.
3.
Mengetahui
problematika fenomenologi agama.
4.
Mengetahui
pengertian integrasi-interkoneksi.
5.
Mengetahui
paradigma integrasi-interkoneksi.
6.
Mengetahui pendekatan integrasi-interkoneksi dalam studi agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fenomenologi
Pasca perang dunia di Eropa dan Amerika,
suasananya telah menimbulkan sikap yang lebih hati-hati dan kritis dalam
menghadapi bahan studi perbandingan agama dari pada sebelumnya. Dari sinilah,
ada sebuah metode baru yang diharapkan dengan metode ini dapat diperoleh
pemahaman yang lebih objektif tentang peranan agama di tengah-tengah kehidupan
manusia. Dalam perkembangannya, sekelompok sarjana, terutama di Belanda dan Skandivania, mulai mempelajari
kemungkinan diterapkannya sebuah metode baru yang dikenal dengan sebutan Reigions-phanomenologie, atau “fenomenologi agama”.
Metode ini sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1880an, akan tetapi selama
terjadi perang muncul berbagai pernyataan yang mengatas namakan metode tadi.
Yang terpenting ialah pernyataan bahwa metode fenomenologi menyiapkan jalan
untuk memahami (verstehen) agama dan esensi (wesen)nya dengan
menggunakan pendekataan bebas nilai terhadap manifestasi-manifestasi (erscheinungen)nya.[1]
Fenomenologi agama adalah sebuah studi
sistematik tentang bentuk-bentuk agama, bagian dari penelitian agama yang
mengklasifikasikan dan secara sistematik meneliti konsep-konsep keagamaan,
ritus, tradisi-tradisi mite dari sudut
pandang perbandingan morfologis-tipologis. Pada prinsipnya fenomenologi agama
adalah identik dengan istilah yang lebih tua ilmu perbandingan agama. Ini
menurut Ake Hultkrantz dari tockholm.[2]
Bagi Widengern, fenomenologi agama adalah ilmu pengetahuan klasifikatif,
ilmu pengetahuan tentang berbagai bentuk manifestasi agama, dan dengan demikian
merupakan timbangan yang sistematik
bagi sejarah agama-agama. Tetapi fenomenologi tidak boleh dikacaukan dengan
sejarah-sejarah agama. Sementara fenomenologi membahas semua ekspresi kehidupan
beragama, dimanapun munculnya, maka sejarah agama-agama, dengan disiplin historisnya
yang murni, mempelajari agama-agama yang terpisah. Fenomenologi agama berusaha
memberikan uraian terpadu tentang semua fenomena keagamaan yang beraneka ragam,
dan karena itu merupakan komplemen sistematik bagi sejarah agama. Sejarah
agama-agama memberikan analisis historis, sementara fenomenologi agama memberi
kita sintesis yang sistematis.[3]
B.
Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama
Dalam bahasa umum, pendekatan
fenomenologis lebih menekankan kepada kebutuhan objektivitas dengan menegaskan
diri kepada kebebasan nilai, penelitian yang berjarak, sejauh mungkin bebas
dari segala praanggapan, dan ia telah mengembangkan ideal kesarjanaan yang
akurat dalam bentuk sikap yang simpatetik kepada data.
Tujuan fenomenologi telah
diekspresikan dalam berbagai bentuk sebagai penelitian kepada pola dan
struktur, atau esensi agama di balik keragaman ekspresinya atau sebagai
pemahaman terhadap sifat unik fenomena keagamaan atau bahkan untuk memahami
peran agama dalam sejarah dan kebudayaan.
Tonggak pertama pendekatan baru
dalam fenomenologi agama adalah karya seorang sarjana Belanda, Gerardus Van Der
Leeuw, Phanomenologie der Religion, tahun 1933 yang kemudian diterbitkan
dalam bahasa Inggris dengan judul Religion in Essence and Manifestation. Menurut Van der Leeuw, ketika itu
fenomenologi agama sudah ada sekalipun masih tanpa nama. Ia mengutip pendapat
Christoph Meiners yang dianggapnya sebagai fenomenolog sistematik pertama. Van
Der Leeuw menganggap Meiners sebagai “ the first systematic phenomenologist”
bukan hanya karena mengklasifikasikan berbagai fenomena agama- fetisisme,
pemujaan arwah, korban, purifikasi, puasa,dan sebagainya tetapi juga karena
sikapnya pada dasarnya fenomenologis, yakni menggunakan metode fenomenologi untuk
mengetahui hal-hal yang esensial dalam agama.[4]
Pemikiran Van Der Leeuw dipengaruhi
oleh Edmund Husserl, meskipun sulit memastikan seberapa jauh pengaruh Husserl
terhadap dirinya. Meskipun demikian, Husserl telah mewariskan bagi para ahli
fenomenologi agama di masa selanjutnya dua konsep penting : epoche dan eidetic
vision.
Epoche berasal dari bahasa Yunani yang berarti saya tidak suka. Kata
tersebut juga berarti berhenti, penangguhan penilaian, mengurung. Dalam
hubungan ini, yang terpenting adalah penekanan terhadap keharusan peneliti menjauhkan
diri dari setiap penilaian, agar dapat melihat fenomena yang dipelajari
semata-mata sebagai seorang pengamat yang netral, lepas dari penilaian benar
atau salah. Istilah eidetic vision juga berasal dari bahasa Yunani, to
eidos (apa yang dilihat) dank arena itu maka dapat berupa “bentuk”,
”wujud”, ”esensi”. Dalam pemakaian fenomenologis, eidetic vision adalah
kemampuan peneliti untuk melihat hal-hal yang essendial dalam sebuah situasi
atau fenomena yang berbeda dengan apa yang dulu ada, kemungkinannya nanti atau
keadaan yang seharusnya. Hal penting disini adalah bahwa eidetic vision
berarti suatu bentuk subjektivitas dan mengimplikasikan suatu pemahaman
intuitif terhadap hal-hal yang esensial dari suatu situasi seutuhnya.
Dalam memberikan uraian yang
sistematik tentang agama, Van Der Leeuw mengikuti contoh yang diberikan
Chantepie de la Saussaye dan Edvard Lehmann. Van der Leeuw mengatakan “Dalam
melakukan ini, saya menyadari bahwa fenomenologi agama tidak semata-mata
mengusahakan sebuah penemuan dan klasifikasi fenomena seperti tampak dalam
sejarah, tetapi juga merupakansebuah deskripsi psikologis yang memerlukan bukan
saja observasi yang cermat atas realitas keagamaan, namun juga sebuah
introspeksi yang sistematik, bukan saja
deskripsi tentang apa yang hanya dapat menjadi realitas setelah diterima dalam
kehidupan peneliti itu sendiri. Dengan kata lain saya menyadari bahwa dalam
melaksanakan usaha besar tetapi pada dasarnya tidak filosofis, dari Chantepie
dan Lehmann, saya berada di tengah-tengah arus fenomenologis yang besar yang
saat itu mengalir melalui filsafat, psikiatri, dan ilmu-ilmu lainnya.”[5]
Dalam Religion in Essence and
Manifestation, Van der Leeuw tidak hanya menulis tentang fenomenologi
deskriptif yang merupakan daftar sistematis tentang “benda-benda” agama.
Baginya sebuah fenomena bukanlah sebuah benda. Ia adalah “apa yang tampak”,
“objek yang berhubungan dengan subjek dan subjek yang berhubungan dengan
objek.” Kondisi-kondisi yang memungkinkan diperolehnya pemahaman tersebut pada
dasarnya tidak berbeda. Van der Leeuw mengakui kemungkinan orang tidak tahu
apa-apa dan pemahaman yang diperolehnya sedikit sekali. Namun pada dasarnya
tidak sulit memahami orang Mesir kuno disbanding memahami tetangga dekat
asalkan datanya ada dalam kesadaran seseorang. Untukmemperoleh data yang cukup,
fenomenolog harus selalu tunduk pada koreksi sejarah. Tetapi fenomenologi agama
lebih dari sekedar sejarah murni. Apabila fenomenolog berhenti memahami bahan yang dipelajari, maka tugasnya selesai.
Jika sejarawan berhenti memahami, maka ia dapat melanjutkan tugasnya mencatat
dan membuat catalog untuk tujuan-tujuan yang lain.
Fenomenologi agama juga tidak identik
dengan teologi sekalipun Van Der Leeuw selalu menganggap dirinya sebagai
teolog. Teologi berbicara tentang Tuhan, suatu hal yang tidak dapat dilakukan
oleh fenomenologi, sebab Tuhan yang dipahami secara fenomenologis akan berarti
subjek atau objek, Padahal Tuhan bukan keduanya. fenomenologi sekalipun dapat
mempelajari pengalaman keagamaan dan dapat mengamati orang-orang yang
memberikan respon terhadap wahyu Tuhan, namun wahyu itu sendiri tetap tidak
dapat dipelajarinya.
Seorang sarjana Belanda C.Jouco
Bleeker, yang sangat dipengaruhi oleh karya pendahulunya Van Der Leeuw
membedakan adanya tiga jenis fenomenologi di era pasca 40an. Yaitu : (1) aliran
deskriptif yang berurusan dengan sistematisasi fenomena keagamaan; (2) aliran
tipologis yang bertujuan melakukan penelitian kepada berbagai jenia agama yang
berbeda-beda; (3) aliran fenomenologis dalam pengertian khusus istilah ini yang
melakukan pencarian kepada esensi, makna, dan struktur fenomena keagamaan. [6]
Dalam melakukan
tugas fenomenologi agama, Bleeker melakukan pengembangan teoritis lebih lanjut.
Ia membedakan tiga dimensi dalam fenomena keagamaan yang menjadi tujuan
pencarian para pengkaji. (1) theoria yang menyingkap makna fenomena
keagamaan; (2) logos fenomena yang menembus ke dalam struktur berbagai
bentuk kehidupan keagamaan dimana terdapat empat kategori permanen yang dapat
dibedakan (bentuk-bentuk konstan, elemen-elemen yang tak tereduksi, poin-poin
kristilasisasi, dan faktor-faktor tipikal); (3) entlechia dari fenomena
yang merupakan jalan dimana suatu esensi menampakkan diri dalam dinamika
perkembangan kehidupan beragama umat manusia.[7]
Menurut Bleeker, metode fenomenologi
dapat bermanfaat bagi sejarah agama-agama dalam lima hal :[8]
1. Ia dapat membantu sejarah agama-agama untuk menemukan prinsip
kajiannya sendiri karena fenomenologi telah mengembangkan sebuah teori
distingtif mengenai bagaimana menangani fenomena keagamaan. Sejahrawan agama
yang kebanyakan bekerja secara empiric dengan lebih memperhatikan kepada
bukti-bukti filologis, historis, atau arkeologis akan dibawa dibawa untuk
melakukan pengujian kepada praanggapan kerja mereka sendiri.
2. Ia mempertajam pandangan terhadap hakikat khusus dari agama dan
fungsinya dalamkehidupan cultural dan sosial. Dengan mengkaji agama dalam
konteks fakta-fakta non-religius yang lebih luas, para sejarawan ‘berada dalam
bahaya kehilangan pandangan tentang hakikat sebenarnya dari agama’.
3. Ia dapat membantu para sejarawan untuk mencapai ‘akhir sejati dari
kajiannya: berupa klarifikasi makna dari fenomena keagamaan’.
4. Ia dapat memberikan pandangan kearah esensi dan struktur fenomena
keagamaan dan membantunya untuk mengembangkan kekuatan dan keberanian
imajinasikesarjanaan yang menjadi cirri khas para fenomenolog.
5. Fenomena agama dapat menginduksi para sejarawan agama-agama untuk
merenung mengenai definisi agama yang ia gunakan.
Bersama dengan
Bleeker dan lainnya, Hultkrantz menganggap fenomenologi agama sebagai salah
satu diantara empat cabang ilmu agama empiris. Ia mengatakan ada tiga poin
tujuan fenomenologi agama :[9]
1.
Mencari
bentuk-bentuk dan struktur agama-agama, dan akhirnya dari suatu agama tertentu.
Namun ini tidak berarti mengimplikasikan suatu pencarian terhadap suatu tipe
ideal atau esendi platonic. Esensi sejati dari suatu agama tidak akan dapat
diketahui hanya dengan mengkaji bentuk-bentuk mereka yang terikat dengan
praanggapan cultural, ekologis, historis, dan sosial. Para fenomenolog berusaha
untuk mengidentifikasi komponen-komponen utama dalam bahan-bahan, struktur, dan
fungsi fenomena keagamaan. Sehingga penekanannya adalah kajian terhadap
morfologi bahan keagamaan bukan kepada
perkembangan tipologis yang memang memiliki nilai terbatas.
2.
Di samping
melakukan klasifikasi terhadap muatan agama, fenomenologi juga berusaha
memahami fenomena keagamaan tersebut.
3.
Fenomenologi
agama juga menyediakan suatu makna bagi sejarah agama-agama dengan cara suatu
makna bagi sejarah agama-agama dengan cara merangkulnya bersama dan
mengintegrasikannya.
Di Belanda
sendiri, Waardenburg dapat memilahkan adanya lima aliran dalam memahami
fenomenologi agama, yaitu :[10]
1.
Pengklasifikasian
terhadap fenomena keagamaan dari berbagai tradisi keagamaan yang berbeda-beda.
2.
Pencarian
terhadap motif atau ide dasar dalam berbagai tradisi keagamaan.
3.
Pendivisian
fenomena keagamaan dalam suatu struktur fundamental yang asli.
4.
Pemahaman dan
pengetahuan terhadap fenomena keagamaan sesuai dengan struktur dasar manusia.
5.
Interpretasi
sejarah keagamaan manusia dalam terma perkembangan menurut sekuen waktu (
langsung maupun terputus).
C.
Problematika Fenomenologi Agama
Kesulitan yang dihadapi fenomologi
agama sebenarnya adalah kesulitan-kesulitan yang juga dihadapi oleh Ilmu
Perbandingan Agama selama beratus-ratus tahun sejarahnya.Yang terpenting adalah
batas-batas objektivitas keserjanaan. Sebagian besar fenomolog berusaha
menerapkan prinsip epoche’, dan mengusahakan agar bahan-bahan yang
mereka kumpulkan dan mereka pelajari sesuai dengan keserjanaan historis yang
ketat. Semua sependapat dengan Heiler bahwa seorang fenomenolog harus juga
seorang filolog dan harus memiliki spesialisasi dalam bidang penelitian
tertentu agar dapat menilai spesialisasi nilainya dengan simpati dan akurat.
Apapun yang dilakukanya, ketika menulis atau mengajar fenomologi agama, dia
melakukan sesuatu yang lain dari sekedar sejarah kronologis ‘’langsung’’
walaupun ia seorang ahli sejarah. Ia melakukan seleksi, sistematisasi dan
interpretasi. Ia membuat tipe-tipe, pola-pola, morfologi-morfologi-semuanya
dengan pandangan yang masuk ke dalam ‘’esensi’’ agama. Kemudian ia menyusun
semua bahan yang ada disekitar pola-pola tersebut. Disini jelas bahwa tidak ada
alasan baginya untuk mengklaim suatu keadaan yang bebas dari
presuposisi-presuposisi. Presuposisi-presuposisi memang sudah sangat biasa
dalam senua usaha fenomologis. Bahan-bahan diperoleh berdasarkan
ketentuan-ketentuan keilmuan yang ketat, dan fenomenolog dapat mengklaim bahwa
aktivitasnya membuat sistematisasi adalah sama ilmiahnya[11].
Ketegangan antara fakta-fakta yang
diperoleh secara ilmiah dan interpretasi fakta-fakta tersebut menimbulkan
sejumlah metodologis tanpa akhir, sebagian antara para pengikut berbagi aliran subjektif,
tetapi sedikit banyaknya juga melibatkan para sarjana yang bermaksud membela
status objektif dan empirik fenomenologi agama. Ketegangan inilah yang
mendorong Bleeker menulis bahwa bagi sebagian sarjana fenomenologi agama merupakan
hasil-silang antara sejarah agama-agama dan filsafat agama, sementara menurut pendapatnya
fenomoogi agama merupakan sebuah ilmu pengetahuan empiris tanpa aspirasi-aspirasi
filosofis. Lebih jauh, fenomologi agama merupakan ilmu yang tidak memihak (impartial
science), yang hanya menginginkan agar “all religion should be
understood as what it stands for, namely as a serious testimony of religious
people that they possess a knowledge of God’’. Ilmu tersebut menyelamatkan
sarjana dari spesialisasi yang sia-sia, dan mendatangkan keuntungan yang lebih
jauh karena menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan “pemahaman yang
mendalam mengenai agama-agama lain”. Dengan demikian, hal yang ideal adalah
ketidak berpihakan (impartiality) untuk mendapatkan pemahaman.
Penilaian-penilaian a priori ditolak. Aktivitas seperti ini tidak dapat
digolongkan teologi ataupun filsafat. Ia adalah ilmu pengetahuan[12].
Akan tetapi sulit dihindari bahwa
kesan debat tersebut menjadi kacau karena gagal menjhelaskan maksud istilah yang
digunakan.”Sejarah” dan “Filsafat” digunakan seolah-olah hanya merujuk pada
kegiatan-kegiatan jurusan-jurusan yang terpisah di perguruan tinggi. Keduanya
bukanlah ilmu pengetahuan yang secara radikal dan eksternal terpisah.
Ada satu jenis fenomologi yang
barangkali selamat dari dilemma metodologis tersebut dengan menolak terlibat
lebih jauh dengan “agama-sebagi-agama”, yaitubyang dapat disebut dengan
“monograf perbandingan” (comparative monograph). Studi terhadap sebuah
fenomena, atau sebuah kelompok fenomena, dilakukan secara across the board,
mencangkup semua kelompok. Di dunia berbahasa Inggris, kecenderungan tersebut
muncul pada awal abad ke-20 dalam artikel-artikel tematik yang termuat dalam Encyclopedia
of Religion and Ethics. Termasuk kedalam kategori ini adalah karya-karya
S.G.F. Brandon (1907-1971), di antaranya Time and Makind (1951), Man
and His Destiny in the Great Religions (1962), History, Time and Deity
(1965) dan The Judgment of the Dead (1967). Semua karya tersebut,
terutama yang pertama dan ketiga, mengembangkan teori khusus mengenai asal-usul
dan hakikat agama, namun seluruh pembahasanya bersifat historis dan tematik.
Secara keseluruhan karya-karya tersebut merupakan sebuah epitome dari apa yang
disebut ‘’fenomenologi selektif’’.[13]
D.
Pengertian
Integrasi-Interkoneksi
Sejarah pemikiran manusia dari masa
ke masa, selalu mengalami perkembangan. Dari pola pikir yang tanpa konsep
menjadi poa piker yang dualitas secara konseptual (oposisi biner). Dan inilah
pola piker berkategorikal Aristotelian. Pola berpikir yang terus berkembang,
sampai pada tingkatan integralistis, yaitu melihat segala sesuatu secara tak
terpisah-pisahkan dari keseluruhannya. Misalnya, bukannya mengatakan “Daun itu
Hijau”, melainkan “Daun itu memantulkan warna hijau, sebagai salah satu warna
cahaya”.[14] Cara
berfikir integral inilah yang pada akhirnya mempengaruhi gerak sejarah keilmuan
abad ke-21, sehingga muncullah konsep-konsep tentang integrase ilmu, seperti di
UIN Sunan Kalijaga dengan Integrasi-interkoneksinya yang diperkenalkan oleh M.
Amin Abdullah.
Dalam
perkembangan inipun ada perubahan-perubahan istilah yang digunakan oleh Amin
sendiri. Itu terbukti selain menggunakan istilah Integratif-Interkonektif,
ternyata bapak Amin Abdullah juga menggunakan susunan tebalik yaitu,
“Interkonektif-integratif”, yang terdapat dalam artikelnya tahun 2011. Dan
dalam tuisan yang lain pula bapak Amin Abdullah dengantegas menggunakan istilah
“Interkonektisitas” saja, tanpa ada integrase, ini tedapat dalam bukunya yang
berjudul Islamic Studies di Perguruan Tinggi. Dari penjelasan tersebut,
sebenarnya telah terjadi perubahan konsep istilah –untuk tidak mengatakan
inkonsistensi—keilmuan di UIN Sunan Kalijaga—yang didasarkan pada
tulisan-tuliasan bapak Amin Abdullah. Namun menurut bapak Amin Abdullah, dari
istilah-istilah tersebut yang standard an baku tetaplah
“Integrasi-Interkoneksi”.
Mengenai
pengertian Integrasi-interkoneksi, Minhaji mengemukakan tapi dalam kontaks UIN
Sunan Kalijag, bahwa integrasi adalah menghubungkan dan sekaligus menyatukan
antara dua hal atau lebuih (materi, pemikiran, atau pendekatan); sedangkan
interkoneksi adalah mempertemukan atau menghubungkan dua hal atau lebih
(materi, pemikiran, atau pendekatan) karena tidak memungkinkannya untuk
dilakukan penyatuan (integrasi).[15]
Menurut bapak
Amin Abdulah, Interkoneksitas mengakui adanaya ruang atau spatial atau majaalis
yang diakui keberadaannya, untuk diajak dialog, diakui sebagai partner in progress,
dan tidak ada keinginan untuk mengakui sisi ruang-ruang yang berbeda tersebut.
Inilah perbedaan yang mendasar antara mazhab Integrasi-Interkoneksi yang
diusung UIN Sunan Kalijaga dengan paradigma keilmuan yang diusung oleh UIN-UIN
lain di Indonesia.
UIN Sunan
Kalijaga yang telah mengembangkan mazhab Integrasi-Interkoneksi tidak bisa
dilepaskan dari pemikiran-pemikiran terdahulu sebagaimana telah dikemukakan
diatas (tentang mazhab Islamisasi Ilmu dan Ilmuisasi Islam). Dalam perspektif Falsafah-Kalaam,
menurut waryani fajar wiryanto mazhab Islamisasi Ilmudapat dikatakan berpola
piker deductive, sedangkan mazhab Ilmuisasi Islam berpola piker inductive.
Sedangkan mazhab Integrasi-Interkoneksi berpolakan pikir abductive.
Menurut bapak Amin Abdullah, dalam analisis sejarah perkembangan Ilmu
Pengetahuan (history of science) pola pemikiran Deductive dan Inductive
dianggap tidak lagi cukup memadai untuk dapat menjelaskan secara cermat tata
kerja yang diperolehnya untuk Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Pada abad 20
pola pemikiran yaitu Abductive. Pola pemikiran ini menekankan--meminjam
istilah Karl Popper—the logic of discovery dan bukannya the logic of
justification.[16]
Secara
epistimologis, paradigma “Interkoneksitas” merupakan jawaban atau respon
terhadap kesulitan selama ini yang diwariskan dari masa ke masa tentang
pendidikan umum dan pendidikan Islam. Paradigm ini berasumsikan bahwa untuk
memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia,
setiap keilmuan apapun, baik ilmu agama, social, humaniora, maupun kealaman
tidak dapat berdiri sendiri. Melainkan harus kerjasama antar keilmuan satu
dengan yang lainnya, yang nantinya lebih dapat membantu manusia dalam menhadapi
atau memahami kompleksitas kehidupan dan memecahkan berbagai persoalan masalah
yang dihadapinya.
Paradigma
interkoneksitas, secara aksiologis, hendak menawarkan pandangan dunia manusia
beragama dan ilmuan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan
kerjasama, transparan, dapat dipertanggungjawabkan secara public dan
berpandangan kedepan. Secara ontologism, hubungan antar berbagai disiplin ilmu
menjadi semakin terbuka dan cair meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah
antar kedua budaya pendukung keilmuan agama yang bersumber pada teks-teks,
budaya pendukung factual-historis empiris (ilmu social dan ilmu kealaman),
serta budaya pendukung keilmuan etis-fiosofis.
Menurut bapak
Amin Abdullah, paradigm integrase-interkoneksi ilmu pada hakikatnya ingin
menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan, termasuk pendekatanya yang
dipakai dalam mengkaji, sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang
yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam
semesta yang sama, hanya saja dimensi dan focus perhatian yang dilihat oleh
masing-masing disiplin berbeda. Begini pernyataan bapak Amin Abdullah,
“mengkaji satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya
itulah integrasi dan melihat
kesaling-terkaitan antar berbagai disiplin ilmu itulah Interkoneksi”.[17]
Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka menurut bapak Amin Abdullah, integrasi adalah mengkaji satu bidang keilmuan dengan
memanfaatkan bidang keilmuan lainnya, sedangkan interkoneksi adalah melihat
kesaling-terkaitan antar berbagai disiplin imu tersebut.[18]
Interkoneksitas bapak Amin Abdullah dalam mazhab integrasi-interkoneksi,
digunakan dalam konteks Islamic religions sciences, yang dimaknai
sebagai “garis pori-pori basah”, dimana antar kluster keilmuaan bisa saling
menembus, tanpa harus meninggalkan identitas ruang keilmuannya.masing-masing.
Intinya, integrasi-interkoneksi muncul untuk mengadopsi integralitas
(integrasi) antara ilmu dan agama di satu sisi, disisi lain tetap
mempertahankan identitas (interkoneksi) Islamnya, yang dapat dirumuskan
seperti: A + B = AB, bukan A saja atau B saja.
E.
Paradigma Integrasi-Interkoneksi
Paradigma
Integrasi-Interkoneksi itu muncul karena adanya dikotomi pendidikan agama , sains,
dan filsafat. Selain itu disebabkan oleh perilaku manusia yang berperilaku
tidak pada semestinya. Ditambah pula krisis lingkungan energi dan lain-lain,
Faktanya dikotomi pendidikanlah yang menjadi pangkal dari segala faktor
munculnya paradigma integrasi-interkoneksi.
Ada baiknya
untuk melihat fakta “spesialisasi” ilmu yang menjadi khas nalar-modern. Dalam
diskursus ilmu pengetahuan modern, bidang-bidang keilmuan terpisah secara tegas
dan jelas. Biologi, Fisika, Psikologi, Sosiologi, Geografi dan lain sebagainya,
merupakan contoh bidang-bidang yang dimaksud. Setiap bidang mewakili dimensi
kehidupan tertentu dan para ilmuwan dari masing-masing bidang hanya fokus
kepada bidang yang digelutinya. Dengan kata lain, Para ilmuwan ini mereduksi
realitas hanya sebatas bidang yang menjadi lahannya. Hal ini sebenarnya bukan
permasalahan besar, karena kenyataannya realitas hidup memang multi-dimensi dan
multi-aspek. Kiranya mustahil bagi seseorang untuk mampu menguasai seluruh
bidang keilmuan tersebut secara sama mendalam. Apabila dicermati, dalam konteks
ilmu-ilmu agama, ada bidang teologi, ada bidang mistik dan lain sebagainya,[19]
Dikotomi ilmu
umum-ilmu agama, hegemoni bidang ilmu tertentu terhadap bidang lainnya,
superior inferior feeling dari masig-masing bidang ilmu, hiraki ilmu utama-ilmu
komplementer, adalah akibat-akibat laten yang harus tanggung jawab dari
kenyataan spesialsasi. Dampak ini merambah ke dunia sosial , dunia pendidikan,
dunia politik, dan lain sebgainya, sehingga tidak jarang muncul konflik di
ranah social maupun politik akibat adanya ekslusifisme dari masing-masing
bidang ilmu. Sebagai contoh dalam dataran ilmu-ilmu keislaman sering terjadi
”takfir” (pengkafiran) antar sesama muslim hanya Karen disiplin keilmuannya
berbeda.
Pada akhirnya
secara psikologis banyak orang yang mengalami kegelisahan luar biasa karena
antara dunia yang dia alami, yang multi dimensi, dengan keilmuan yang dia
hayati, yang hanya satu dimensi dan yang satu-atunya dia pahami, ternyata tidak
sejalan. Orang yag menghayati ilmu fiqh saja pasti gelisah ketika berhadapan
dengan kenyataan social yang berbeda dengan isi ilmunya. Orang yang menghayati
ilmu ekoomi saja pasti gelisah ketika berhadapan dengan “logika zakat dan
sedekah” ala fiqh. Orang yang menghayati ilmu gepgrafi aja pasti gelisah ketika
berhadapan dengan adanya ruang baru yang disebut”dunia virtual” atau “dunia
maya”.
Paradigma integrasi-interkoneksi
hakikatnya ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan tersebut
sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang dibidik oleh seluruh
disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta yang sama, hanya saja
dimensi dan focus perhatian yang dilihat oleh masing-masing disiplin berbeda.
Oleh karena itu, rasa superior, eksklusifitas pemilahan secara dikotomis
terhadap bidang-bidang keilmuan yang dimaksud hanya akan merugikan diri sediri,
baik secara psikologis maupun secara ilmiah akademis.[20]
Betapapun setiap orang ingin memiliki pemahaman yang lebih utuh dan
komprehensif, bukannya pemahaman yang parsial dan reduktif. Maka dengan menimbang
asumsi ini seorang ilmuwan perlu memiliki visi integrasi-interkoneksi. Mengkaji
satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya itulah
integrasi dan melihat kesaling-terkaitan antar berbagai disiplin ilmu itulah
interkoneksi.[21]Gagasan
keilmuan yang integrasi dan interkoneksi ini muncul dari sebuah “kegelisahan”
pak Amin terkait dengan tantangan perkembangan zaman yang sedemikian pesatnya
yang dihadapi oleh umat islam saat ini.
Adapun landasan
Integrasi-Interkoneksi, Sebagai sebuah ” lompatan besar” dan paradigma baru
sekaligus di UIN, maka sudah barang tentu model keilmuan ini mendasari dirinya
dalam sumber-sumber keislaman. Landasan teologis adalah landasan yang paling
kelihatan dalam mendasari dirinya pada teks kitab.
Secara
keseluruhan, integrasi-Interkoneksi ini, memiliki lima landasan mendasar yakni:
1.
Landasan Teologis
Normatif-teologis
adalah pemahaman yang lebih menggunakan ajaran yang diyakini berasal dai tuhan.
Bersifat mutlak, Al-quran dan Al-sunnah tidak membedakan antara ilmu-ilmu agama
(Islam) dan ilmu-ilmu umum ( sains-teknologi dan social humaniora).
2.
Landasan
Filosofis
Filosofis
adalah keterpaduan antara ilmu agama dan ilmu umum yang diharapkan mampu
memahami kompleksitas kehidupan manusia. Bahwa manusia bersifat
kompleks-multidimensial dalam berbagai aspek dan levelnya. Keragaman tersebut
merupakan interpretasi dari sebuah keinginan untuk memahami kompleksitas yang
dimiliki. Dan masing-masing disiplin ilmu mencoba menyelami dimensi tertentu
dari hidup manusia. Karenalah kita tidak bias kemudian mencukupkan diri pada
satu disiplin keilmuan saja. Dengan demikian kita perlu merumuskan kembali
keterpaduan dan keterkaitan antar disiplin ilmu sebagai jembatan untuk memahami
kompleksitas hidup manusia baik secara material maupun spiritual.
3.
Landasan
Kultural
Landasan ketiga
Ini dapat kita fahami sebagai sebuah pendidikan yang tidak boleh mengabaikan
budaya (potensi) local. Jika budaya atau potensi local tidak dijadikan basis
pengembangan keilmuan maka akan terjadi proses elitsm ilmu, sehingga ilmu
menjadi kurang berfungsi dalam kehidupan nyata.
4.
Landasan
Sosiologis
Landasan ini
muncul karena adanya anggapan lulusan Universitas islam atau UIN Sunan Kalijaga
kurang mampu menyelesaikan masalah masyarakat. Dengan paradigm
integrasi-interkoneksi para lulusan Universitas Islam atau UIN Sunan Kalijaga
mampu menyelesaikan masalah masyarakat. Di sinilah perlunya UIN kembali yang
lebih integratif sesuai dengan tuntunan keunggulan dinamika masyarakat.
5.
Landasan
Psikologis
Landasan ini
yakni adanya pembacaan parsial dapat
menyebabkan perpecahan kepribadian, oleh karena itu adanya landasan psikologis
diharapkan mengubah menjadi pembacaan secara terpadu dan menyeluruh memperkuat
kepribadian.
6.
Landasan
Historis
Landasan historis yakni pada abad modern tekanan dari ilmu-ilmu
agama mulai berkurang, bahkan hampir tidak ada. Ilmu umum mampu berkembang
pesat, namun mengabaikan norma-norma agama dan etika kemanusiaan. Diharapkan
hubungan ilmu agama dan ilmu umum meningkat, dari kompak menjadi sejahtera dan
mencapai puncak lestari.[22]
F.
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi
Adanya
speasilisasi ilmu adalah sebuah keniscayaan keterbatasan manusia untuk
mengetahui semuanya walaupun obyeknya sama yaitu alam. Tetapi efek dari bentuk
spesialisasi tersebut ternyata juga membawa bentuk yang negatif, terjadi suatu
arogansi,ketika dihadapkan dengan problem-problem realitas masyarakat mulanya
hanya dalam tataran berpikir teorititis keilmuan yang bersifat abstrak, tapi
ujungnya juga bersifat ilmu fiqih akan merasa kebingungan jika dihadapkan
dengan ilmu sosiologis, ahli ekonomi akan sulit memahami logika zakat, sehingga
tidak jarang terjadi suatu bentuk pengkafiran dalam suatu pemikiran. Berangkat
dari fakta bahwa dunia Islam dewasa ini cenderung membuat dikatomi dikatomi
antara ailmu agam dengan ilmu umum, dikotomi ini sangat membekas dihati kaum
muslimin,terbukti sebagian besar orang sekarang masih terkesan bahwa ilmu
keislaman adalah satu hal dan ilmu non-keislaman adalah hal lain.
Dikatomi seperti ini jelas akan merugikan dunia Islam itu sendiri.
Sebab ilmu-ilmu non keagaman dianggap kurang penting,sehingga tidak perlu
dipelajari. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan kemunduran keilmuan
Islam. Bandingkan dengan abad pertengahan ketika muncul tokoh-tokoh yang tidak
melihat dikotomi yaitu seperti Yaqub b Ishaq al-Kindi, Abu Nasir Muhammad dan
lain-lain. Yang disamping menguasai ilmu Islam tradisional juga disegani
sebagai pakar ilmu non-keagamaan. Pada saat itu Islam mampu menunjukkan
perannya sebagai contributor ilmu ketika barat mengalami kemunduran ilmiah.
Tapi hari ini,akibat dikatomi yang diciptakan dan diwariskan sejak ratusan
tahun itu, dunia Islam terpuruk dalam ketertinggalan, barat sekarang tampil
dipuncak kemajuan peradapan Ilmu, fenomena tersebut membawa kegelisahan
dikalangan tokoh-tokoh pemikir muslim modern.
Seperti pemikiran Islam pada umumnya masih sangat merasa asing terhadap
kedua bentuk falsafah tersebut, baik falsafah barat maupun falsafah
Islam,apalagi dalam dialog intensif antara keduanya. Apa lagi dalam jenjang
perguruan tinggi falsafah barat hanya dipelajari di perguruan-perguruan tinggi
negri atau sekolah tinggi Teologia, khususnya, di lingkungan yayasan pendidikan
Kristen katolik. Yang dimana falsafah barat tidak diselingi dengan ajaran falsafah
Islam. Pada umumnya,pandangan para akademis dan lebih-lebih lagi golongan
awamnya, masih sangat sulit memahami maksud diskursus Filsafat itu sendiri.
Jangankan terhadap filsafat barat-seperti yang diusulkan Hasan Hanafi dan para
filusuf Islam yang lain. Tanpa disadari pemikiran masyarakat muslim pada level
historis-empiris, sesungguhnya banyak mengalami perubahan. Bahkan kadang sangat
radikal. Tetapi ketika perubahan-perubahan itu coba dikonseptualisasikan lewat
studi dan telaah akademik-filosofis, maka yang muncul bukan sikap apresiatif
terhadap kajian tersebut, tetapi malah muncul istilah ”Al-Ghazwu al-Fikry”.
Barangkali, fenomena apa yang disebut-sebut sebagai al-Ghazwu al-Fikry” itu
sendiri memang ada. Tetapi bagaimana memahami dan mengulangi fenomena seperti
itu? Dengan cara reflektif-defensif-emosional. Wilayah dikursus filsafat dan
wilayah dikursus islam, dari dulu sampai sekarang,sebenarya,tidaklah dengan
mudah begitu saja dapat dipadukan, tanpa harus menanggung resiko yang harus
dibayar. Seringkali mungkin tanpa disadari,bahwa dikursus “filsafat” berubah
menjadi diskursus “Teologi” atau “kalam” dan jarang terjadi proses sebaliknya.
Jika itu yang terjadi, maka falsafah sebagai alat untuk memperoleh klarifikasi
keilmuan tidak bisa diperoleh. Filsafat berubah menjadi abdi teologi,seperti
dahulu yang pernah terjadi pada abad pada lingkungan scholastic.kalau itu yang
terjadi, maka filsat Islam tidak lain tidak bukan hanyalah bentuk lain dari
pada kalam atau teologi Islam. Dlam kenyataannya sangat mungkin terjadi. Apa
yang disebut falsafah ,sebenarnya telah memiliki batas-batas wilanyah kupasan
tersebut. Filsafat mempunyai tiga wilayah bahasan yaitu metapisika, epistemology,
dan etika. Oleh sementara sendiri, yang bersifat “clear” dan “distinct”.
Ia telah telah mempunyai the body of knowledge tersendiri yang kokoh.
Dari itulah kemudian berkembang,yang kemudian dapat dilacak dimana sumber mata
air perkembangan diskursus kalangan, logika tidak dianggap bagian terpisah dari
filsafat,karena logika tidak lain tidak bukan ialah the essence of
philosophy itu sendiri.[23]
Semua aliran filsafat barat, baik yang menamakan dirinya sebagai idealism, rationalism,
empiricism, existentialism, pragmaticism maupun filsafat analitik kontemporer
memiliki konsepsi masing-masing terhadap metafisik, epistemology maupun etik.
Disinilah aktifitas pendidikan dan keilmuan mirip dengan pola kerja keilmuan
pada abad renaissance hingga era revolusi informasi,yang sekarang ini mulai
diratapi oleh, banyak kalangan.[24]
Milenium baru
membawa tantangan-tantangan yang negative arus globalisasi dan lingkungan
hidup,jika tidak diwaspadai,akan membuat seluruh planet bumi hancur. Tambahn
pula ancaman lama perang nuklir, konflik-konflik internasional yang belum
terpecahkan di Timur Tengah dan Eropa Timur, perang anytar suku di Afrika, penyakit
AIDS, yang bertambahnya kejahatan dalam berbagai bentuk, rusaknya kelembagaan
keluarga, penyalahgunaan obat, kerusakan kehidupan kota, dekadensi moral dan
berbagai penyakit social lainnya. Agama-agama yang mengajak kepada
kedamaian,keadilan dan kesejahtraan hidup secara utuh menyeluruh dan kehidupan
yang baik harus menanggapi isu-isu tersebut. Sementara ia tetap harus menentang
ketidakadilan social, penindasan, keserakahan, materialism, rasisme, seks, hedonism,
dan nihilism.
Jauh
sebelumnya, dalam sejarah kependidikan Islam telah terpola pengembangan
keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik disatu sisi, yang diperoleh
oleh para ilmuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusd, Ibnu Khaldun, berhadapan dengan
pola pengembangan keilmuan agama yang spesifik-prasialistik disisi lain yang
dikembangkan oleh para ahli fiqih dan hadis. Keterpisahan secara diametral
antara keduanya dan sebab-sebab lain bersifat politis-ekonomis, berakibat pada
rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada umumnya. Dalam ketiga
revolusi peradaban manusia, yaitu revolusi hijau, revolusi industry dan
revolusi informasi,tidak ada satupun ilmuan muslim yang tercatat dalam tinta
emas pengembang ilmu pengetahuan. Perkembangan dan pertumbuhan ilmu sekuler
sebagai symbol keberhasilan yang umumnya pada perguruan tinggi umum yang
tercerabur dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia disatu pihak,
sementara dilain pihak, perkembangan dan pertumbuhan perguruan tinggi agama (baca:Islam)
yang hanya menekankan ilmu-ilmu keagamaan dan teks-teks keislaman normative era
klasik yang berdampak pada persoalan penciptaan tenaga kerja terampil dalam
dunia ketenagakerjaan,menjadikan keduanya mengalami proses pertumbuhan yang
tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan
kehidupan social budaya, sosial-ekonomi, social politik dan social keagamaan
ditanah air. Dari sini tergambar bahwa imu sekuler yang dikembangkan
diperguruan tinggi umum dan ilmu-ilmu agama yang dikembangkan diperguruan
tinggi agama secara terpisah, yang sekarang ini berjalan, dan sedang terjangkit
krisis relevansi (tidak dapat memecahkan banyak persoalan) mengalami kemandekan
dan kebuntuan, (tertutup untuk pencarian alternative-alternatif yang lebih) dan
penuh bias-bias.
Kepentingan (keagamaan,
ras, etnis, filosofis, ekonomis, politik, gender, peradaban). Dari latar
belakang itulah, gerakan rapprochment
(kesedian untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara
dua buku keilmuan merupakan suatu keniscayaan. Gerakan ini,dapat disebut juga
gerakan penyatuan atau reintegrasi
epistemology keilmuan adalah suatu keniscayaan dan mutlak diperlukan untuk
mengantisipasi perkembangan-perkembangan serba kompleks dan tidak terduga pada
millennium ketiga sera tanggung jawab manusia bersama secara global dalam
mengelola sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas sebagai khalifatu
Allah fi-al-aradh.
Perguruan
tinggi khususnya perguruan tinggi Islam diIndonesia secara sadar harus berani
mengkaji ulang visi,misi dan paradigma keilmuan yang pernah dibangunnya selama
50 tahun. Begitu juga perguruan-perguruan tinggi umum yang sudah mapan dan
berjalan selama ini. Ide dan usulan perlunya dikembangkan ilmu-ilmu social
profetik dan kajian agama secara kontekstual diperguruan tinggi umum,yang
merupakan keprihatinan yang serius tentang arah pengembangan dan tujuan pembelajaran
ilmu-ilmu umum pada perguruan tinggi umum yang telah berjalan selama 50 tahun
belakangan ini. Bangunan ilmu pengetahuan yang dikatomi antara ilmu pengetahuan
umum dan ilmu pengetahuan agama harus diubah menjadi ilmu pengetahuan baru yang
lebih holistik-integralistik atau paling tidak bersifat komplementer.
Perguruan
tinggi Islam yang diorentasikan pada lahirnya sarjana yang memiliki tiga
kemampuan sekaligus, yaitu kemampuan meganilisi secara akademik, kemampuan
melakukan inovasi dan kemampuan memimpin sesuai dengan tuntutan persoaalan
kemasyarakatan, keilmuan, maupun profesi yang ditekuninya dalam satu tarikan
nafas etos keilmuan dan keagamaan. Tantangan diera globalisaai menuntut respon
tepat dan cepat dari sisitem pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika kaum
muslimin tidak hanya ingin sekedar survive ditengah persaingan global yang
semakin tajam dan ketat, tetapi berharap juga berharap mampu tampil didepan, maka
re-oerintasi mengenai pemikiran Islam dan rekonstuksi system dan kelembagaan
merupakan keniscayaan. Umat Islam tidak boleh berpangku tangan dan menonton
dari luar seluruh perkembangan yang terjadi. Dalam konsep ini, fakultas-fakultas
agama tetap dipertahankan seperti yang ada sekarang, namun perlu dikembangkan
kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, sedangkan dalam fakultas-fakultas umum
baik dalam bentuk wider mandate maupun universitas perlu dibekali muatan-muatan
spritualitas dan moral keagamaan yang lebih kritis dan terarah dalam format integrated curriculum, dan bukannya strated curriculum seperti yang berjalan
selama ini.Pengembangan yang dilakukan perguruan-perguruan tinggi Islam yang
diharapkan bisa melahirkan pendidikan Islam yang ideal dimasa. Program reintegrasi epistemology keilmuan dan
implikasinya dalam proses belajar mengajar dalam proses akademik, pada
gilirannya akan menghilangkan dikatomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu
agama yang telah berjalan selama ini. Perubahan dan perkembangan ini bukan asal
berkembang dan berubah,diprlukan konsep yang matang dan detail. Sehingga tidak
mengulangi eksperimen dan pengalaman sejarah yang dilakukan perguruan-perguruan
tinggi umum dan agama yang didirikan agama maupun swasta. Pengembangan ini
berada dalam kerangka dan semangat harmonis keilmuan dan keagamaan, bukannya
keterpisahan antara keduanya mekipun
berada dabawah satu atap kampus. Hal ini penting untuk memberikan landasan
moral Islam terhadap Ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sosial
ekonomi, dan sosial budaya, sosial politik dan sosial keagamaan ditanah air
sekaligus mengartikulasikan ajaran Islam sesuai dengan perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, humaniora dan sosial kontemporer.
Selain alasan diatas, sejak tahun 1980, madrasah aliyah yang ada diindonesia, yang
jumblah muridnya tidak kurang dari 800.075 siswa telah berubah orientasi. Pada
awalnya perbandingan muatan mata pelajaran agama dan umum 70:30, tetapi sejak
tahun 1994 menjadi 30:70 dan pada tahun 2000/2001 kurikulum madrasah aliyah
100% sama dengan kurikulum SMU dengan penekanan pendidikan umum yang bercirikan
Islam.[25]
Dengan
perubahan tersebut, maka para lulusan Madrasah Aliyah yang jumlahnya sangat
signifikan, juga mengalami perubahan orientasi untuk memilih program studi umum
diperguruan tinggi,sementara yang lain mengambil program studi agama. Hanya
saja kecenderungan dikotomistik yang berjalan selama ini masih menghantui
banyak kalangan dan tidak bisa menolong krisis yang dialami oleh paradigma
ilmu-ilmu sekular maupun ilmu-ilmu keagamaan dalam bentuknya yang terpisah
seperti yang selama ini berjalan.
Agama dalam
arti luas merupakan wahyu Tuhan,yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan,diri-sendiri,dan lingkungan hidup maupun fisik,sosial mau[un budaya
secara global. Seperangkat aturan-aturan,nilai-nilai umum dan prinsip dasar
inilah yang sebenarnya disebut syariat. Kitab suci Al-Quran merupkan petunjuk
etika,moral,akhlak,kebijkasanaan dan dapat menjadi teologi ilmu serta grand theory ilmu. Wahyu tidak pernah
mengklaim sebagai ilmu qua ilmu yang seperti seringkali diklaim oleh ilmu-ilmu
sekular.
Agama memang
mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan dan sedikit
pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua
macam,yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengethuan yang berasal
dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris.
Modernisme dan
sekularisme sebagai hasil turunannya yang menghendaki diferensiasi yang ketat
dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat
zaman,spesialisasi dan penjurusan yang sempit dan dangkal mempersempit jarak
pandang atau horizon berpikir. Pada peradapan yang disebut pasca modern perlu
ada perubahan-perubahan yang dimaksud adalah gerakan resakralisasi (penyatuan
atau rujuk kembali). Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antar agama dan
sector-sektor kehidupan lain,termasuk agama dan ilmu.
Agama
menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu, baik, buruk, tujuan ilmu, manfaat, merugikan.
Dimensi aksiologi dalam teologi ilmu ini penting untuk digaris bawahi, sebelum
manusia keluar untuk mengembangkan ilmu. Selain ontology keilmuan, epistemology
keilmuan,agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan. Ilmu yang lahir
dari induk agama menjadi ilmu yang objektif. Dalam arti bahwa ilmu itu tidak
dirasakan oleh pemeluk agama lain, non agama, dan anti agama sebagai norma, tetapi
sebagai gejala keilmuan yang objektif semata. Meyakini latar belakang agama
yang menjadi sumber ilmu atau tidak menjadi masalah,ilmu yang belatar belakang
agama adalah ilmu obyektif, bukan agama yang normatif. Maka objektifikasi ilmu
adalah imu dari orang beriman untuk seluruh manusia,tidak hanya orang yang
beriman saja, lebih-lebih bukan hanya untuk pengikut agama tertentu saja.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fenomenologi agama berusaha
memberikan uraian terpadu tentang semua fenomena keagamaan yang beraneka ragam,
dan karena itu merupakan komplemen sistematik bagi sejarah agama. Sejarah
agama-agama memberikan analisis historis, sementara fenomenologi agama memberi
kita sintesis yang sistematis. Adapun tujuan fenomenologi telah diekspresikan
dalam berbagai bentuk sebagai penelitian kepada pola dan struktur, atau esensi
agama di balik keragaman ekspresinya atau sebagai pemahaman terhadap sifat unik
fenomena keagamaan atau bahkan untuk memahami peran agama dalam sejarah dan
kebudayaan.
UIN Sunan Kalijaga dengan
Integrasi-interkoneksinya yang diperkenalkan oleh M. Amin Abdullah, yaitu mengkaji
satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya dan melihat
kesaling-terkaitan antar berbagai disiplin ilmu. Dalam kontaks UIN Sunan
Kalijaga, bahwa integrasi adalah menghubungkan dan sekaligus menyatukan antara
dua hal atau lebih (materi, pemikiran, atau pendekatan); sedangkan interkoneksi
adalah mempertemukan atau menghubungkan dua hal atau lebih (materi, pemikiran,
atau pendekatan) karena tidak memungkinkannya untuk dilakukan penyatuan.
Sudah
seharusnya perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi Islam di Indonesia
secara sadar harus berani mengkaji ulang visi, misi dan paradigma keilmuan.
Yaitu pada bangunan ilmu pengetahuan
yang dikatomi antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama harus
diubah menjadi ilmu pengetahuan baru yang lebih holistik-integralistik atau paling
tidak bersifat komplementer.
B.
Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh
dari kata sempurna, kepadanya penulis akan lebih focus dan details dalam
menjelaskan tentang maklah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang
tentunya dapat dipertanggung jawabkan. Untuk saran bisa berisi kritik atau
saran terhadap penulisa juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari
bahasan makalah yang telah dijelaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin,
dkk. 2007. ISLAMIC STUDIES Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi.
Yogyakarta: Suka Press
Abdullah, Amin.
2012. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Djam’annuri. 2003. Studi Agama-Agama Sejarah dan Pemikiran. Yogyakarta:
Pustaka Rihlah.
Permata, Norma
Ahmad. 2000. Metodologi Studi Agama
.Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset
Riyanto, Fajar
Waryani. 2013. INTEGRASI-INTERKONEKSI KEILMUAN Biografi Intelektual M. Amin
Abdullah. Yogyakarta: Suka Press
Faiz, Fahrudin.
2007. ,”Mengawal perjalan Sebuah Paradigma” dalam Fahrudin Faiz(ed). Islamic
studies dalam paradigm integrasi dan interkoneksi. Yogyakarta: SUKA Pres
[1] Djam’annuri, Studi Agama-Agama Sejarah dan Pemikiran (Yogyakarta:
Pustaka Rihlah, 2003), hal. 128.
[4] Djam’annuri, Studi Agama-Agama Sejarah dan Pemikiran (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003), hal. 128.
[5]
Ibid., hal.139.
[6]
Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, ( Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 2000), hal.367.
[7]
Ibid.,
[8]
Ibid., hal.368.
[9]
Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, ( Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 2000), hal.375.
[10] Ibid., hal. 379.
[11] Djam’annuri, Studi
Agama-Agama Sejarah dan Pemikiran (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003), hal. 153.
[12] Ibid, hal. 154-155
[13] Ibid, hal. 155.
[14] Waryani
Fajar Riyanto, INTEGRASI-INTERKONEKSI KEILMUAN Biografi Intelektual M. Amin
Abdullah (1953 - …) (Yokyakarta: SUKA Press, 2013), hal. 763.
[15] Ibid.,
hal. 768.
[16]
Ibid., hal. 774.
[19] Amin Abdullah, Islamic studies:Dalam Paradigma
Integrasi-Interkoneksi,(Yogyakarta:SUKA Press,2007) hal.vii
[20] Ibid, hal. viii
[21] Ibid, hal. ix
[22] M.Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekataan
Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006) hlm.
[23]. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012), hal.9.
[24]. Ibid., hal 94.
[25]. Ibid., hal 101.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar