Kamis, 13 April 2017

Makalah Pendekatan Studi Agama Dalam Fenomenologi Dan Integrasi-Interkoneksi

MAKALAH STUDI AGAMA
PENDEKATAN STUDI AGAMA DALAM FENOMENOLOGI DAN INTEGRASI-INTERKONEKSI


Disusun Oleh :
Taufik Hidayat                       (16410003)
Doli Habibi Wijaya Panjaitan (16410010)
Nur Kholis Riida’ani              (16410017)
Tika Anjariani                         (16410023)
Dwi Afriyanto                        (16410072)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA 2017


KATA PENGANTAR
Dengan mnyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang Pendekatan Studi Agama Dalam Fenomenologi dan Integrasi-Interkoneksi.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik deri segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Kami berharap semoga makalah ilmiah ini dapat memeberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.






DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................... ii
Daftar Isi........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................. 2
C.     Tujuan Penulisan................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pendekatan Fenomenologi............................................... 3
B.     Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama................................ 4
C.     Problematika Fenomenologi Agama.................................................. 9
D.    Pengertian Integrasi-Interkoneksi…………………………………..11
E.     Paradigma Integrasi-Interkoneksi…………………………………..14
F.      Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Studi Agama……………18
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan………………………………………………………….26
B.     Saran…………………………………………………………………27
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Berbicara menegnai fenomenologi agama tidaklah lepas dari pemahaman mengenai esensi dari suatu agama. Metode fenomenologi ini meneliti keragaman dalam agama-agama baik mengenai fetisisme, pemujaan arwah, korban, purifikasi puasa, dan sebagainya. Selain itu metode fenomenologi juga untuk mengetahui hal-hal yang esensial dari berbagai agama.
Mengenai fakta-fakta yang diperoleh secara ilmiah dan interpretasi fakta-fakta tersebut menimbulkan sejumlah metodologis tanpa akhir, sebagian antara para pengikut berbagi aliran subjektif, tetapi sedikit banyaknya juga melibatkan para sarjana yang bermaksud membela status objektif dan empirik fenomenologi agama. Hal ini yang terkadang menimbulkan perdebatan tanpa akhir dan tidak pernah terselesaikan oleh para fenomenolog.
Dari gejala-gejala sejarah maupun keagamaan tersebut, konsep integrasi-interkoneksi yang diperkenalkan oleh M. Amin Abdullah, yaitu mengkaji satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya dan kesaling-terkaitan antar berbagai disiplin ilmu dapat memberi jawaban atas problematika tersebut.
Paradigm ini berasumsikan bahwa untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap keilmuan apapun, baik ilmu agama, social, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Melainkan harus kerjasama antar keilmuan satu dengan yang lainnya, yang nantinya lebih dapat membantu manusia dalam menhadapi atau memahami kompleksitas kehidupan dan memecahkan berbagai persoalan masalah yang dihadapinya.



B.            Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian fenomenologi ?
2.    Bagaimana pendekatan fenomenologi dalam studi agama ?
3.    Apa problematika dalam fenomenologi agama ?
4.    Apa pengertian integrasi-interkoneksi?
5.    Bagaimana paradigma integrasi-interkoneksi ?
6.    Bagaimana pendekatan integrasi-interkoneksi dalam studi agama ?
C.           Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui pengertian fenomenologi
2.    Mengetahui seperti apa pendekatan fenomenologi dalam studi agama.
3.    Mengetahui problematika fenomenologi agama.
4.    Mengetahui pengertian  integrasi-interkoneksi.
5.    Mengetahui paradigma integrasi-interkoneksi.
6.    Mengetahui  pendekatan  integrasi-interkoneksi dalam  studi agama.




BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Fenomenologi
Pasca perang dunia di Eropa dan Amerika, suasananya telah menimbulkan sikap yang lebih hati-hati dan kritis dalam menghadapi bahan studi perbandingan agama dari pada sebelumnya. Dari sinilah, ada sebuah metode baru yang diharapkan dengan metode ini dapat diperoleh pemahaman yang lebih objektif tentang peranan agama di tengah-tengah kehidupan manusia. Dalam perkembangannya, sekelompok sarjana, terutama di  Belanda dan Skandivania, mulai mempelajari kemungkinan diterapkannya sebuah metode baru yang dikenal dengan sebutan Reigions-phanomenologie, atau “fenomenologi agama”. Metode ini sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1880an, akan tetapi selama terjadi perang muncul berbagai pernyataan yang mengatas namakan metode tadi. Yang terpenting ialah pernyataan bahwa metode fenomenologi menyiapkan jalan untuk memahami (verstehen) agama dan esensi (wesen)nya dengan menggunakan pendekataan bebas nilai terhadap manifestasi-manifestasi (erscheinungen)nya.[1]
Fenomenologi agama adalah sebuah studi sistematik tentang bentuk-bentuk agama, bagian dari penelitian agama yang mengklasifikasikan dan secara sistematik meneliti konsep-konsep keagamaan, ritus, tradisi-tradisi mite dari sudut pandang perbandingan morfologis-tipologis. Pada prinsipnya fenomenologi agama adalah identik dengan istilah yang lebih tua ilmu perbandingan agama. Ini menurut Ake Hultkrantz dari tockholm.[2]
Bagi Widengern, fenomenologi agama adalah ilmu pengetahuan klasifikatif, ilmu pengetahuan tentang berbagai bentuk manifestasi agama, dan dengan demikian merupakan timbangan yang sistematik bagi sejarah agama-agama. Tetapi fenomenologi tidak boleh dikacaukan dengan sejarah-sejarah agama. Sementara fenomenologi membahas semua ekspresi kehidupan beragama, dimanapun munculnya, maka sejarah agama-agama, dengan disiplin historisnya yang murni, mempelajari agama-agama yang terpisah. Fenomenologi agama berusaha memberikan uraian terpadu tentang semua fenomena keagamaan yang beraneka ragam, dan karena itu merupakan komplemen sistematik bagi sejarah agama. Sejarah agama-agama memberikan analisis historis, sementara fenomenologi agama memberi kita sintesis yang sistematis.[3]
B.            Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama
Dalam bahasa umum, pendekatan fenomenologis lebih menekankan kepada kebutuhan objektivitas dengan menegaskan diri kepada kebebasan nilai, penelitian yang berjarak, sejauh mungkin bebas dari segala praanggapan, dan ia telah mengembangkan ideal kesarjanaan yang akurat dalam bentuk sikap yang simpatetik kepada data.
Tujuan fenomenologi telah diekspresikan dalam berbagai bentuk sebagai penelitian kepada pola dan struktur, atau esensi agama di balik keragaman ekspresinya atau sebagai pemahaman terhadap sifat unik fenomena keagamaan atau bahkan untuk memahami peran agama dalam sejarah dan kebudayaan.
Tonggak pertama pendekatan baru dalam fenomenologi agama adalah karya seorang sarjana Belanda, Gerardus Van Der Leeuw, Phanomenologie der Religion, tahun 1933 yang kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Religion in Essence and Manifestation.  Menurut Van der Leeuw, ketika itu fenomenologi agama sudah ada sekalipun masih tanpa nama. Ia mengutip pendapat Christoph Meiners yang dianggapnya sebagai fenomenolog sistematik pertama. Van Der Leeuw menganggap Meiners sebagai “ the first systematic phenomenologist” bukan hanya karena mengklasifikasikan berbagai fenomena agama- fetisisme, pemujaan arwah, korban, purifikasi, puasa,dan sebagainya tetapi juga karena sikapnya pada dasarnya fenomenologis, yakni menggunakan metode fenomenologi untuk mengetahui hal-hal yang esensial dalam agama.[4]
Pemikiran Van Der Leeuw dipengaruhi oleh Edmund Husserl, meskipun sulit memastikan seberapa jauh pengaruh Husserl terhadap dirinya. Meskipun demikian, Husserl telah mewariskan bagi para ahli fenomenologi agama di masa selanjutnya dua konsep penting : epoche dan eidetic vision.
Epoche berasal dari bahasa Yunani yang berarti saya tidak suka. Kata tersebut juga berarti berhenti, penangguhan penilaian, mengurung. Dalam hubungan ini, yang terpenting adalah penekanan terhadap keharusan peneliti menjauhkan diri dari setiap penilaian, agar dapat melihat fenomena yang dipelajari semata-mata sebagai seorang pengamat yang netral, lepas dari penilaian benar atau salah. Istilah eidetic vision juga berasal dari bahasa Yunani, to eidos (apa yang dilihat) dank arena itu maka dapat berupa “bentuk”, ”wujud”, ”esensi”. Dalam pemakaian fenomenologis, eidetic vision adalah kemampuan peneliti untuk melihat hal-hal yang essendial dalam sebuah situasi atau fenomena yang berbeda dengan apa yang dulu ada, kemungkinannya nanti atau keadaan yang seharusnya. Hal penting disini adalah bahwa eidetic vision berarti suatu bentuk subjektivitas dan mengimplikasikan suatu pemahaman intuitif terhadap hal-hal yang esensial dari suatu situasi seutuhnya.
Dalam memberikan uraian yang sistematik tentang agama, Van Der Leeuw mengikuti contoh yang diberikan Chantepie de la Saussaye dan Edvard Lehmann. Van der Leeuw mengatakan “Dalam melakukan ini, saya menyadari bahwa fenomenologi agama tidak semata-mata mengusahakan sebuah penemuan dan klasifikasi fenomena seperti tampak dalam sejarah, tetapi juga merupakansebuah deskripsi psikologis yang memerlukan bukan saja observasi yang cermat atas realitas keagamaan, namun juga sebuah introspeksi yang sistematik,  bukan saja deskripsi tentang apa yang hanya dapat menjadi realitas setelah diterima dalam kehidupan peneliti itu sendiri. Dengan kata lain saya menyadari bahwa dalam melaksanakan usaha besar tetapi pada dasarnya tidak filosofis, dari Chantepie dan Lehmann, saya berada di tengah-tengah arus fenomenologis yang besar yang saat itu mengalir melalui filsafat, psikiatri, dan ilmu-ilmu lainnya.”[5]
Dalam Religion in Essence and Manifestation, Van der Leeuw tidak hanya menulis tentang fenomenologi deskriptif yang merupakan daftar sistematis tentang “benda-benda” agama. Baginya sebuah fenomena bukanlah sebuah benda. Ia adalah “apa yang tampak”, “objek yang berhubungan dengan subjek dan subjek yang berhubungan dengan objek.” Kondisi-kondisi yang memungkinkan diperolehnya pemahaman tersebut pada dasarnya tidak berbeda. Van der Leeuw mengakui kemungkinan orang tidak tahu apa-apa dan pemahaman yang diperolehnya sedikit sekali. Namun pada dasarnya tidak sulit memahami orang Mesir kuno disbanding memahami tetangga dekat asalkan datanya ada dalam kesadaran seseorang. Untukmemperoleh data yang cukup, fenomenolog harus selalu tunduk pada koreksi sejarah. Tetapi fenomenologi agama lebih dari sekedar sejarah murni. Apabila fenomenolog berhenti memahami  bahan yang dipelajari, maka tugasnya selesai. Jika sejarawan berhenti memahami, maka ia dapat melanjutkan tugasnya mencatat dan membuat catalog untuk tujuan-tujuan yang lain.
Fenomenologi agama juga tidak identik dengan teologi sekalipun Van Der Leeuw selalu menganggap dirinya sebagai teolog. Teologi berbicara tentang Tuhan, suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh fenomenologi, sebab Tuhan yang dipahami secara fenomenologis akan berarti subjek atau objek, Padahal Tuhan bukan keduanya. fenomenologi sekalipun dapat mempelajari pengalaman keagamaan dan dapat mengamati orang-orang yang memberikan respon terhadap wahyu Tuhan, namun wahyu itu sendiri tetap tidak dapat dipelajarinya.
Seorang sarjana Belanda C.Jouco Bleeker, yang sangat dipengaruhi oleh karya pendahulunya Van Der Leeuw membedakan adanya tiga jenis fenomenologi di era pasca 40an. Yaitu : (1) aliran deskriptif yang berurusan dengan sistematisasi fenomena keagamaan; (2) aliran tipologis yang bertujuan melakukan penelitian kepada berbagai jenia agama yang berbeda-beda; (3) aliran fenomenologis dalam pengertian khusus istilah ini yang melakukan pencarian kepada esensi, makna, dan struktur fenomena keagamaan. [6]
Dalam melakukan tugas fenomenologi agama, Bleeker melakukan pengembangan teoritis lebih lanjut. Ia membedakan tiga dimensi dalam fenomena keagamaan yang menjadi tujuan pencarian para pengkaji. (1) theoria yang menyingkap makna fenomena keagamaan; (2) logos fenomena yang menembus ke dalam struktur berbagai bentuk kehidupan keagamaan dimana terdapat empat kategori permanen yang dapat dibedakan (bentuk-bentuk konstan, elemen-elemen yang tak tereduksi, poin-poin kristilasisasi, dan faktor-faktor tipikal); (3) entlechia dari fenomena yang merupakan jalan dimana suatu esensi menampakkan diri dalam dinamika perkembangan kehidupan beragama umat manusia.[7]
Menurut Bleeker, metode fenomenologi dapat bermanfaat bagi sejarah agama-agama dalam lima hal :[8]
1.    Ia dapat membantu sejarah agama-agama untuk menemukan prinsip kajiannya sendiri karena fenomenologi telah mengembangkan sebuah teori distingtif mengenai bagaimana menangani fenomena keagamaan. Sejahrawan agama yang kebanyakan bekerja secara empiric dengan lebih memperhatikan kepada bukti-bukti filologis, historis, atau arkeologis akan dibawa dibawa untuk melakukan pengujian kepada praanggapan kerja mereka sendiri.
2.    Ia mempertajam pandangan terhadap hakikat khusus dari agama dan fungsinya dalamkehidupan cultural dan sosial. Dengan mengkaji agama dalam konteks fakta-fakta non-religius yang lebih luas, para sejarawan ‘berada dalam bahaya kehilangan pandangan tentang hakikat sebenarnya dari agama’.
3.    Ia dapat membantu para sejarawan untuk mencapai ‘akhir sejati dari kajiannya: berupa klarifikasi makna dari fenomena keagamaan’.
4.    Ia dapat memberikan pandangan kearah esensi dan struktur fenomena keagamaan dan membantunya untuk mengembangkan kekuatan dan keberanian imajinasikesarjanaan yang menjadi cirri khas para fenomenolog.
5.    Fenomena agama dapat menginduksi para sejarawan agama-agama untuk merenung mengenai definisi agama yang ia gunakan.
Bersama dengan Bleeker dan lainnya, Hultkrantz menganggap fenomenologi agama sebagai salah satu diantara empat cabang ilmu agama empiris. Ia mengatakan ada tiga poin tujuan fenomenologi agama :[9]
1.    Mencari bentuk-bentuk dan struktur agama-agama, dan akhirnya dari suatu agama tertentu. Namun ini tidak berarti mengimplikasikan suatu pencarian terhadap suatu tipe ideal atau esendi platonic. Esensi sejati dari suatu agama tidak akan dapat diketahui hanya dengan mengkaji bentuk-bentuk mereka yang terikat dengan praanggapan cultural, ekologis, historis, dan sosial. Para fenomenolog berusaha untuk mengidentifikasi komponen-komponen utama dalam bahan-bahan, struktur, dan fungsi fenomena keagamaan. Sehingga penekanannya adalah kajian terhadap morfologi  bahan keagamaan bukan kepada perkembangan tipologis yang memang memiliki nilai terbatas.
2.    Di samping melakukan klasifikasi terhadap muatan agama, fenomenologi juga berusaha memahami fenomena keagamaan  tersebut.
3.    Fenomenologi agama juga menyediakan suatu makna bagi sejarah agama-agama dengan cara suatu makna bagi sejarah agama-agama dengan cara merangkulnya bersama dan mengintegrasikannya.
Di Belanda sendiri, Waardenburg dapat memilahkan adanya lima aliran dalam memahami fenomenologi agama, yaitu :[10]
1.    Pengklasifikasian terhadap fenomena keagamaan dari berbagai tradisi     keagamaan yang berbeda-beda.
2.    Pencarian terhadap motif atau ide dasar dalam berbagai tradisi keagamaan.
3.    Pendivisian fenomena keagamaan dalam suatu struktur fundamental yang asli.
4.    Pemahaman dan pengetahuan terhadap fenomena keagamaan sesuai dengan struktur dasar manusia.
5.    Interpretasi sejarah keagamaan manusia dalam terma perkembangan menurut sekuen waktu ( langsung maupun terputus).
C.           Problematika Fenomenologi Agama
Kesulitan yang dihadapi fenomologi agama sebenarnya adalah kesulitan-kesulitan yang juga dihadapi oleh Ilmu Perbandingan Agama selama beratus-ratus tahun sejarahnya.Yang terpenting adalah batas-batas objektivitas keserjanaan. Sebagian besar fenomolog berusaha menerapkan prinsip epoche’, dan mengusahakan agar bahan-bahan yang mereka kumpulkan dan mereka pelajari sesuai dengan keserjanaan historis yang ketat. Semua sependapat dengan Heiler bahwa seorang fenomenolog harus juga seorang filolog dan harus memiliki spesialisasi dalam bidang penelitian tertentu agar dapat menilai spesialisasi nilainya dengan simpati dan akurat. Apapun yang dilakukanya, ketika menulis atau mengajar fenomologi agama, dia melakukan sesuatu yang lain dari sekedar sejarah kronologis ‘’langsung’’ walaupun ia seorang ahli sejarah. Ia melakukan seleksi, sistematisasi dan interpretasi. Ia membuat tipe-tipe, pola-pola, morfologi-morfologi-semuanya dengan pandangan yang masuk ke dalam ‘’esensi’’ agama. Kemudian ia menyusun semua bahan yang ada disekitar pola-pola tersebut. Disini jelas bahwa tidak ada alasan baginya untuk mengklaim suatu keadaan yang bebas dari presuposisi-presuposisi. Presuposisi-presuposisi memang sudah sangat biasa dalam senua usaha fenomologis. Bahan-bahan diperoleh berdasarkan ketentuan-ketentuan keilmuan yang ketat, dan fenomenolog dapat mengklaim bahwa aktivitasnya membuat sistematisasi adalah sama ilmiahnya[11].
Ketegangan antara fakta-fakta yang diperoleh secara ilmiah dan interpretasi fakta-fakta tersebut menimbulkan sejumlah metodologis tanpa akhir, sebagian antara para pengikut berbagi aliran subjektif, tetapi sedikit banyaknya juga melibatkan para sarjana yang bermaksud membela status objektif dan empirik fenomenologi agama. Ketegangan inilah yang mendorong Bleeker menulis bahwa bagi sebagian sarjana fenomenologi agama merupakan hasil-silang antara sejarah agama-agama dan filsafat agama, sementara menurut pendapatnya fenomoogi agama merupakan sebuah ilmu pengetahuan empiris tanpa aspirasi-aspirasi filosofis. Lebih jauh, fenomologi agama merupakan ilmu yang tidak memihak (impartial science), yang hanya menginginkan agar “all religion should be understood as what it stands for, namely as a serious testimony of religious people that they possess a knowledge of God’’. Ilmu tersebut menyelamatkan sarjana dari spesialisasi yang sia-sia, dan mendatangkan keuntungan yang lebih jauh karena menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan “pemahaman yang mendalam mengenai agama-agama lain”. Dengan demikian, hal yang ideal adalah ketidak berpihakan (impartiality) untuk mendapatkan pemahaman. Penilaian-penilaian a priori ditolak. Aktivitas seperti ini tidak dapat digolongkan teologi ataupun filsafat. Ia adalah ilmu pengetahuan[12].
Akan tetapi sulit dihindari bahwa kesan debat tersebut menjadi kacau karena gagal menjhelaskan maksud istilah yang digunakan.”Sejarah” dan “Filsafat” digunakan seolah-olah hanya merujuk pada kegiatan-kegiatan jurusan-jurusan yang terpisah di perguruan tinggi. Keduanya bukanlah ilmu pengetahuan yang secara radikal dan eksternal terpisah.
Ada satu jenis fenomologi yang barangkali selamat dari dilemma metodologis tersebut dengan menolak terlibat lebih jauh dengan “agama-sebagi-agama”, yaitubyang dapat disebut dengan “monograf perbandingan” (comparative monograph). Studi terhadap sebuah fenomena, atau sebuah kelompok fenomena, dilakukan secara across the board, mencangkup semua kelompok. Di dunia berbahasa Inggris, kecenderungan tersebut muncul pada awal abad ke-20 dalam artikel-artikel tematik yang termuat dalam Encyclopedia of Religion and Ethics. Termasuk kedalam kategori ini adalah karya-karya S.G.F. Brandon (1907-1971), di antaranya Time and Makind (1951), Man and His Destiny in the Great Religions (1962), History, Time and Deity (1965) dan The Judgment of the Dead (1967). Semua karya tersebut, terutama yang pertama dan ketiga, mengembangkan teori khusus mengenai asal-usul dan hakikat agama, namun seluruh pembahasanya bersifat historis dan tematik. Secara keseluruhan karya-karya tersebut merupakan sebuah epitome dari apa yang disebut ‘’fenomenologi selektif’’.[13]
D.           Pengertian Integrasi-Interkoneksi
Sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa, selalu mengalami perkembangan. Dari pola pikir yang tanpa konsep menjadi poa piker yang dualitas secara konseptual (oposisi biner). Dan inilah pola piker berkategorikal Aristotelian. Pola berpikir yang terus berkembang, sampai pada tingkatan integralistis, yaitu melihat segala sesuatu secara tak terpisah-pisahkan dari keseluruhannya. Misalnya, bukannya mengatakan “Daun itu Hijau”, melainkan “Daun itu memantulkan warna hijau, sebagai salah satu warna cahaya”.[14] Cara berfikir integral inilah yang pada akhirnya mempengaruhi gerak sejarah keilmuan abad ke-21, sehingga muncullah konsep-konsep tentang integrase ilmu, seperti di UIN Sunan Kalijaga dengan Integrasi-interkoneksinya yang diperkenalkan oleh M. Amin Abdullah.
Dalam perkembangan inipun ada perubahan-perubahan istilah yang digunakan oleh Amin sendiri. Itu terbukti selain menggunakan istilah Integratif-Interkonektif, ternyata bapak Amin Abdullah juga menggunakan susunan tebalik yaitu, “Interkonektif-integratif”, yang terdapat dalam artikelnya tahun 2011. Dan dalam tuisan yang lain pula bapak Amin Abdullah dengantegas menggunakan istilah “Interkonektisitas” saja, tanpa ada integrase, ini tedapat dalam bukunya yang berjudul Islamic Studies di Perguruan Tinggi. Dari penjelasan tersebut, sebenarnya telah terjadi perubahan konsep istilah –untuk tidak mengatakan inkonsistensi—keilmuan di UIN Sunan Kalijaga—yang didasarkan pada tulisan-tuliasan bapak Amin Abdullah. Namun menurut bapak Amin Abdullah, dari istilah-istilah tersebut yang standard an baku tetaplah “Integrasi-Interkoneksi”.
Mengenai pengertian Integrasi-interkoneksi, Minhaji mengemukakan tapi dalam kontaks UIN Sunan Kalijag, bahwa integrasi adalah menghubungkan dan sekaligus menyatukan antara dua hal atau lebuih (materi, pemikiran, atau pendekatan); sedangkan interkoneksi adalah mempertemukan atau menghubungkan dua hal atau lebih (materi, pemikiran, atau pendekatan) karena tidak memungkinkannya untuk dilakukan penyatuan (integrasi).[15]
Menurut bapak Amin Abdulah, Interkoneksitas mengakui adanaya ruang atau spatial atau majaalis yang diakui keberadaannya, untuk diajak dialog, diakui sebagai partner in progress, dan tidak ada keinginan untuk mengakui sisi ruang-ruang yang berbeda tersebut. Inilah perbedaan yang mendasar antara mazhab Integrasi-Interkoneksi yang diusung UIN Sunan Kalijaga dengan paradigma keilmuan yang diusung oleh UIN-UIN lain di Indonesia.
UIN Sunan Kalijaga yang telah mengembangkan mazhab Integrasi-Interkoneksi tidak bisa dilepaskan dari pemikiran-pemikiran terdahulu sebagaimana telah dikemukakan diatas (tentang mazhab Islamisasi Ilmu dan Ilmuisasi Islam). Dalam perspektif Falsafah-Kalaam, menurut waryani fajar wiryanto mazhab Islamisasi Ilmudapat dikatakan berpola piker deductive, sedangkan mazhab Ilmuisasi Islam berpola piker inductive. Sedangkan mazhab Integrasi-Interkoneksi berpolakan pikir abductive. Menurut bapak Amin Abdullah, dalam analisis sejarah perkembangan Ilmu Pengetahuan (history of science) pola pemikiran Deductive dan Inductive dianggap tidak lagi cukup memadai untuk dapat menjelaskan secara cermat tata kerja yang diperolehnya untuk Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Pada abad 20 pola pemikiran yaitu Abductive. Pola pemikiran ini menekankan--meminjam istilah Karl Popper—the logic of discovery dan bukannya the logic of justification.[16]
Secara epistimologis, paradigma “Interkoneksitas” merupakan jawaban atau respon terhadap kesulitan selama ini yang diwariskan dari masa ke masa tentang pendidikan umum dan pendidikan Islam. Paradigm ini berasumsikan bahwa untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap keilmuan apapun, baik ilmu agama, social, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Melainkan harus kerjasama antar keilmuan satu dengan yang lainnya, yang nantinya lebih dapat membantu manusia dalam menhadapi atau memahami kompleksitas kehidupan dan memecahkan berbagai persoalan masalah yang dihadapinya.
Paradigma interkoneksitas, secara aksiologis, hendak menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama, transparan, dapat dipertanggungjawabkan secara public dan berpandangan kedepan. Secara ontologism, hubungan antar berbagai disiplin ilmu menjadi semakin terbuka dan cair meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antar kedua budaya pendukung keilmuan agama yang bersumber pada teks-teks, budaya pendukung factual-historis empiris (ilmu social dan ilmu kealaman), serta budaya pendukung keilmuan etis-fiosofis.
Menurut bapak Amin Abdullah, paradigm integrase-interkoneksi ilmu pada hakikatnya ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan, termasuk pendekatanya yang dipakai dalam mengkaji, sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta yang sama, hanya saja dimensi dan focus perhatian yang dilihat oleh masing-masing disiplin berbeda. Begini pernyataan bapak Amin Abdullah, “mengkaji satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya itulah integrasi  dan melihat kesaling-terkaitan antar berbagai disiplin ilmu itulah Interkoneksi”.[17]
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka menurut bapak Amin Abdullah, integrasi adalah mengkaji satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya, sedangkan interkoneksi adalah melihat kesaling-terkaitan antar berbagai disiplin imu tersebut.[18]
Interkoneksitas bapak Amin Abdullah dalam mazhab integrasi-interkoneksi, digunakan dalam konteks Islamic religions sciences, yang dimaknai sebagai “garis pori-pori basah”, dimana antar kluster keilmuaan bisa saling menembus, tanpa harus meninggalkan identitas ruang keilmuannya.masing-masing. Intinya, integrasi-interkoneksi muncul untuk mengadopsi integralitas (integrasi) antara ilmu dan agama di satu sisi, disisi lain tetap mempertahankan identitas (interkoneksi) Islamnya, yang dapat dirumuskan seperti: A + B = AB, bukan A saja atau B saja.
E.            Paradigma Integrasi-Interkoneksi
Paradigma Integrasi-Interkoneksi itu muncul karena adanya dikotomi pendidikan agama , sains, dan filsafat. Selain itu disebabkan oleh perilaku manusia yang berperilaku tidak pada semestinya. Ditambah pula krisis lingkungan energi dan lain-lain, Faktanya dikotomi pendidikanlah yang menjadi pangkal dari segala faktor munculnya paradigma integrasi-interkoneksi.
Ada baiknya untuk melihat fakta “spesialisasi” ilmu yang menjadi khas nalar-modern. Dalam diskursus ilmu pengetahuan modern, bidang-bidang keilmuan terpisah secara tegas dan jelas. Biologi, Fisika, Psikologi, Sosiologi, Geografi dan lain sebagainya, merupakan contoh bidang-bidang yang dimaksud. Setiap bidang mewakili dimensi kehidupan tertentu dan para ilmuwan dari masing-masing bidang hanya fokus kepada bidang yang digelutinya. Dengan kata lain, Para ilmuwan ini mereduksi realitas hanya sebatas bidang yang menjadi lahannya. Hal ini sebenarnya bukan permasalahan besar, karena kenyataannya realitas hidup memang multi-dimensi dan multi-aspek. Kiranya mustahil bagi seseorang untuk mampu menguasai seluruh bidang keilmuan tersebut secara sama mendalam. Apabila dicermati, dalam konteks ilmu-ilmu agama, ada bidang teologi, ada bidang mistik dan lain sebagainya,[19]
Dikotomi ilmu umum-ilmu agama, hegemoni bidang ilmu tertentu terhadap bidang lainnya, superior inferior feeling dari masig-masing bidang ilmu, hiraki ilmu utama-ilmu komplementer, adalah akibat-akibat laten yang harus tanggung jawab dari kenyataan spesialsasi. Dampak ini merambah ke dunia sosial , dunia pendidikan, dunia politik, dan lain sebgainya, sehingga tidak jarang muncul konflik di ranah social maupun politik akibat adanya ekslusifisme dari masing-masing bidang ilmu. Sebagai contoh dalam dataran ilmu-ilmu keislaman sering terjadi ”takfir” (pengkafiran) antar sesama muslim hanya Karen disiplin keilmuannya berbeda.
Pada akhirnya secara psikologis banyak orang yang mengalami kegelisahan luar biasa karena antara dunia yang dia alami, yang multi dimensi, dengan keilmuan yang dia hayati, yang hanya satu dimensi dan yang satu-atunya dia pahami, ternyata tidak sejalan. Orang yag menghayati ilmu fiqh saja pasti gelisah ketika berhadapan dengan kenyataan social yang berbeda dengan isi ilmunya. Orang yang menghayati ilmu ekoomi saja pasti gelisah ketika berhadapan dengan “logika zakat dan sedekah” ala fiqh. Orang yang menghayati ilmu gepgrafi aja pasti gelisah ketika berhadapan dengan adanya ruang baru yang disebut”dunia virtual” atau “dunia maya”.
Paradigma integrasi-interkoneksi hakikatnya ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan tersebut sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta yang sama, hanya saja dimensi dan focus perhatian yang dilihat oleh masing-masing disiplin berbeda. Oleh karena itu, rasa superior, eksklusifitas pemilahan secara dikotomis terhadap bidang-bidang keilmuan yang dimaksud hanya akan merugikan diri sediri, baik secara psikologis maupun secara ilmiah akademis.[20] Betapapun setiap orang ingin memiliki pemahaman yang lebih utuh dan komprehensif, bukannya pemahaman yang parsial dan reduktif. Maka dengan menimbang asumsi ini seorang ilmuwan perlu memiliki visi integrasi-interkoneksi. Mengkaji satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya itulah integrasi dan melihat kesaling-terkaitan antar berbagai disiplin ilmu itulah interkoneksi.[21]Gagasan keilmuan yang integrasi dan interkoneksi ini muncul dari sebuah “kegelisahan” pak Amin terkait dengan tantangan perkembangan zaman yang sedemikian pesatnya yang dihadapi oleh umat islam saat ini.
Adapun landasan Integrasi-Interkoneksi, Sebagai sebuah ” lompatan besar” dan paradigma baru sekaligus di UIN, maka sudah barang tentu model keilmuan ini mendasari dirinya dalam sumber-sumber keislaman. Landasan teologis adalah landasan yang paling kelihatan dalam mendasari dirinya pada teks kitab.


Secara keseluruhan, integrasi-Interkoneksi ini, memiliki lima landasan mendasar yakni:
1.    Landasan Teologis
Normatif-teologis adalah pemahaman yang lebih menggunakan ajaran yang diyakini berasal dai tuhan. Bersifat mutlak, Al-quran dan Al-sunnah tidak membedakan antara ilmu-ilmu agama (Islam) dan ilmu-ilmu umum ( sains-teknologi dan social humaniora).
2.    Landasan Filosofis
Filosofis adalah keterpaduan antara ilmu agama dan ilmu umum yang diharapkan mampu memahami kompleksitas kehidupan manusia. Bahwa manusia bersifat kompleks-multidimensial dalam berbagai aspek dan levelnya. Keragaman tersebut merupakan interpretasi dari sebuah keinginan untuk memahami kompleksitas yang dimiliki. Dan masing-masing disiplin ilmu mencoba menyelami dimensi tertentu dari hidup manusia. Karenalah kita tidak bias kemudian mencukupkan diri pada satu disiplin keilmuan saja. Dengan demikian kita perlu merumuskan kembali keterpaduan dan keterkaitan antar disiplin ilmu sebagai jembatan untuk memahami kompleksitas hidup manusia baik secara material maupun spiritual.
3.    Landasan Kultural
Landasan ketiga Ini dapat kita fahami sebagai sebuah pendidikan yang tidak boleh mengabaikan budaya (potensi) local. Jika budaya atau potensi local tidak dijadikan basis pengembangan keilmuan maka akan terjadi proses elitsm ilmu, sehingga ilmu menjadi kurang berfungsi dalam kehidupan nyata.


4.    Landasan Sosiologis
Landasan ini muncul karena adanya anggapan lulusan Universitas islam atau UIN Sunan Kalijaga kurang mampu menyelesaikan masalah masyarakat. Dengan paradigm integrasi-interkoneksi para lulusan Universitas Islam atau UIN Sunan Kalijaga mampu menyelesaikan masalah masyarakat. Di sinilah perlunya UIN kembali yang lebih integratif sesuai dengan tuntunan keunggulan dinamika masyarakat.
5.    Landasan Psikologis
Landasan ini yakni  adanya pembacaan parsial dapat menyebabkan perpecahan kepribadian, oleh karena itu adanya landasan psikologis diharapkan mengubah menjadi pembacaan secara terpadu dan menyeluruh memperkuat kepribadian.
6.    Landasan Historis
Landasan historis yakni pada abad modern tekanan dari ilmu-ilmu agama mulai berkurang, bahkan hampir tidak ada. Ilmu umum mampu berkembang pesat, namun mengabaikan norma-norma agama dan etika kemanusiaan. Diharapkan hubungan ilmu agama dan ilmu umum meningkat, dari kompak menjadi sejahtera dan mencapai puncak lestari.[22]
F.            Pendekatan Integrasi-Interkoneksi
Adanya speasilisasi ilmu adalah sebuah keniscayaan keterbatasan manusia untuk mengetahui semuanya walaupun obyeknya sama yaitu alam. Tetapi efek dari bentuk spesialisasi tersebut ternyata juga membawa bentuk yang negatif, terjadi suatu arogansi,ketika dihadapkan dengan problem-problem realitas masyarakat mulanya hanya dalam tataran berpikir teorititis keilmuan yang bersifat abstrak, tapi ujungnya juga bersifat ilmu fiqih akan merasa kebingungan jika dihadapkan dengan ilmu sosiologis, ahli ekonomi akan sulit memahami logika zakat, sehingga tidak jarang terjadi suatu bentuk pengkafiran dalam suatu pemikiran. Berangkat dari fakta bahwa dunia Islam dewasa ini cenderung membuat dikatomi dikatomi antara ailmu agam dengan ilmu umum, dikotomi ini sangat membekas dihati kaum muslimin,terbukti sebagian besar orang sekarang masih terkesan bahwa ilmu keislaman adalah satu hal dan ilmu non-keislaman adalah hal lain.
Dikatomi seperti ini jelas akan merugikan dunia Islam itu sendiri. Sebab ilmu-ilmu non keagaman dianggap kurang penting,sehingga tidak perlu dipelajari. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan kemunduran keilmuan Islam. Bandingkan dengan abad pertengahan ketika muncul tokoh-tokoh yang tidak melihat dikotomi yaitu seperti Yaqub b Ishaq al-Kindi, Abu Nasir Muhammad dan lain-lain. Yang disamping menguasai ilmu Islam tradisional juga disegani sebagai pakar ilmu non-keagamaan. Pada saat itu Islam mampu menunjukkan perannya sebagai contributor ilmu ketika barat mengalami kemunduran ilmiah. Tapi hari ini,akibat dikatomi yang diciptakan dan diwariskan sejak ratusan tahun itu, dunia Islam terpuruk dalam ketertinggalan, barat sekarang tampil dipuncak kemajuan peradapan Ilmu, fenomena tersebut membawa kegelisahan dikalangan tokoh-tokoh pemikir muslim modern.
Seperti pemikiran Islam pada umumnya masih sangat merasa asing terhadap kedua bentuk falsafah tersebut, baik falsafah barat maupun falsafah Islam,apalagi dalam dialog intensif antara keduanya. Apa lagi dalam jenjang perguruan tinggi falsafah barat hanya dipelajari di perguruan-perguruan tinggi negri atau sekolah tinggi Teologia, khususnya, di lingkungan yayasan pendidikan Kristen katolik. Yang dimana falsafah barat tidak diselingi dengan ajaran falsafah Islam. Pada umumnya,pandangan para akademis dan lebih-lebih lagi golongan awamnya, masih sangat sulit memahami maksud diskursus Filsafat itu sendiri. Jangankan terhadap filsafat barat-seperti yang diusulkan Hasan Hanafi dan para filusuf Islam yang lain. Tanpa disadari pemikiran masyarakat muslim pada level historis-empiris, sesungguhnya banyak mengalami perubahan. Bahkan kadang sangat radikal. Tetapi ketika perubahan-perubahan itu coba dikonseptualisasikan lewat studi dan telaah akademik-filosofis, maka yang muncul bukan sikap apresiatif terhadap kajian tersebut, tetapi malah muncul istilah ”Al-Ghazwu al-Fikry”. Barangkali, fenomena apa yang disebut-sebut sebagai al-Ghazwu al-Fikry” itu sendiri memang ada. Tetapi bagaimana memahami dan mengulangi fenomena seperti itu? Dengan cara reflektif-defensif-emosional. Wilayah dikursus filsafat dan wilayah dikursus islam, dari dulu sampai sekarang,sebenarya,tidaklah dengan mudah begitu saja dapat dipadukan, tanpa harus menanggung resiko yang harus dibayar. Seringkali mungkin tanpa disadari,bahwa dikursus “filsafat” berubah menjadi diskursus “Teologi” atau “kalam” dan jarang terjadi proses sebaliknya. Jika itu yang terjadi, maka falsafah sebagai alat untuk memperoleh klarifikasi keilmuan tidak bisa diperoleh. Filsafat berubah menjadi abdi teologi,seperti dahulu yang pernah terjadi pada abad pada lingkungan scholastic.kalau itu yang terjadi, maka filsat Islam tidak lain tidak bukan hanyalah bentuk lain dari pada kalam atau teologi Islam. Dlam kenyataannya sangat mungkin terjadi. Apa yang disebut falsafah ,sebenarnya telah memiliki batas-batas wilanyah kupasan tersebut. Filsafat mempunyai tiga wilayah bahasan yaitu metapisika, epistemology, dan etika. Oleh sementara sendiri, yang bersifat “clear” dan “distinct”. Ia telah telah mempunyai the body of knowledge tersendiri yang kokoh. Dari itulah kemudian berkembang,yang kemudian dapat dilacak dimana sumber mata air perkembangan diskursus kalangan, logika tidak dianggap bagian terpisah dari filsafat,karena logika tidak lain tidak bukan ialah the essence of philosophy itu sendiri.[23] Semua aliran filsafat barat, baik yang menamakan dirinya sebagai idealism, rationalism, empiricism, existentialism, pragmaticism maupun filsafat analitik kontemporer memiliki konsepsi masing-masing terhadap metafisik, epistemology maupun etik. Disinilah aktifitas pendidikan dan keilmuan mirip dengan pola kerja keilmuan pada abad renaissance hingga era revolusi informasi,yang sekarang ini mulai diratapi oleh, banyak kalangan.[24]
Milenium baru membawa tantangan-tantangan yang negative arus globalisasi dan lingkungan hidup,jika tidak diwaspadai,akan membuat seluruh planet bumi hancur. Tambahn pula ancaman lama perang nuklir, konflik-konflik internasional yang belum terpecahkan di Timur Tengah dan Eropa Timur, perang anytar suku di Afrika, penyakit AIDS, yang bertambahnya kejahatan dalam berbagai bentuk, rusaknya kelembagaan keluarga, penyalahgunaan obat, kerusakan kehidupan kota, dekadensi moral dan berbagai penyakit social lainnya. Agama-agama yang mengajak kepada kedamaian,keadilan dan kesejahtraan hidup secara utuh menyeluruh dan kehidupan yang baik harus menanggapi isu-isu tersebut. Sementara ia tetap harus menentang ketidakadilan social, penindasan, keserakahan, materialism, rasisme, seks, hedonism, dan nihilism.
Jauh sebelumnya, dalam sejarah kependidikan Islam telah terpola pengembangan keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik disatu sisi, yang diperoleh oleh para ilmuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusd, Ibnu Khaldun, berhadapan dengan pola pengembangan keilmuan agama yang spesifik-prasialistik disisi lain yang dikembangkan oleh para ahli fiqih dan hadis. Keterpisahan secara diametral antara keduanya dan sebab-sebab lain bersifat politis-ekonomis, berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada umumnya. Dalam ketiga revolusi peradaban manusia, yaitu revolusi hijau, revolusi industry dan revolusi informasi,tidak ada satupun ilmuan muslim yang tercatat dalam tinta emas pengembang ilmu pengetahuan. Perkembangan dan pertumbuhan ilmu sekuler sebagai symbol keberhasilan yang umumnya pada perguruan tinggi umum yang tercerabur dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia disatu pihak, sementara dilain pihak, perkembangan dan pertumbuhan perguruan tinggi agama (baca:Islam) yang hanya menekankan ilmu-ilmu keagamaan dan teks-teks keislaman normative era klasik yang berdampak pada persoalan penciptaan tenaga kerja terampil dalam dunia ketenagakerjaan,menjadikan keduanya mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan social budaya, sosial-ekonomi, social politik dan social keagamaan ditanah air. Dari sini tergambar bahwa imu sekuler yang dikembangkan diperguruan tinggi umum dan ilmu-ilmu agama yang dikembangkan diperguruan tinggi agama secara terpisah, yang sekarang ini berjalan, dan sedang terjangkit krisis relevansi (tidak dapat memecahkan banyak persoalan) mengalami kemandekan dan kebuntuan, (tertutup untuk pencarian alternative-alternatif yang lebih) dan penuh  bias-bias.
Kepentingan (keagamaan, ras, etnis, filosofis, ekonomis, politik, gender, peradaban). Dari latar belakang itulah, gerakan rapprochment (kesedian untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara dua buku keilmuan merupakan suatu keniscayaan. Gerakan ini,dapat disebut juga gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemology keilmuan adalah suatu keniscayaan dan mutlak diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan serba kompleks dan tidak terduga pada millennium ketiga sera tanggung jawab manusia bersama secara global dalam mengelola sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas sebagai khalifatu Allah fi-al-aradh.
Perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi Islam diIndonesia secara sadar harus berani mengkaji ulang visi,misi dan paradigma keilmuan yang pernah dibangunnya selama 50 tahun. Begitu juga perguruan-perguruan tinggi umum yang sudah mapan dan berjalan selama ini. Ide dan usulan perlunya dikembangkan ilmu-ilmu social profetik dan kajian agama secara kontekstual diperguruan tinggi umum,yang merupakan keprihatinan yang serius tentang arah pengembangan dan tujuan pembelajaran ilmu-ilmu umum pada perguruan tinggi umum yang telah berjalan selama 50 tahun belakangan ini. Bangunan ilmu pengetahuan yang dikatomi antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama harus diubah menjadi ilmu pengetahuan baru yang lebih holistik-integralistik atau paling tidak bersifat komplementer.
Perguruan tinggi Islam yang diorentasikan pada lahirnya sarjana yang memiliki tiga kemampuan sekaligus, yaitu kemampuan meganilisi secara akademik, kemampuan melakukan inovasi dan kemampuan memimpin sesuai dengan tuntutan persoaalan kemasyarakatan, keilmuan, maupun profesi yang ditekuninya dalam satu tarikan nafas etos keilmuan dan keagamaan. Tantangan diera globalisaai menuntut respon tepat dan cepat dari sisitem pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika kaum muslimin tidak hanya ingin sekedar survive ditengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat, tetapi berharap juga berharap mampu tampil didepan, maka re-oerintasi mengenai pemikiran Islam dan rekonstuksi system dan kelembagaan merupakan keniscayaan. Umat Islam tidak boleh berpangku tangan dan menonton dari luar seluruh perkembangan yang terjadi. Dalam konsep ini, fakultas-fakultas agama tetap dipertahankan seperti yang ada sekarang, namun perlu dikembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, sedangkan dalam fakultas-fakultas umum baik dalam bentuk wider mandate maupun universitas perlu dibekali muatan-muatan spritualitas dan moral keagamaan yang lebih kritis dan terarah dalam format integrated curriculum, dan bukannya strated curriculum seperti yang berjalan selama ini.Pengembangan yang dilakukan perguruan-perguruan tinggi Islam yang diharapkan bisa melahirkan pendidikan Islam yang ideal dimasa. Program reintegrasi epistemology keilmuan dan implikasinya dalam proses belajar mengajar dalam proses akademik, pada gilirannya akan menghilangkan dikatomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama yang telah berjalan selama ini. Perubahan dan perkembangan ini bukan asal berkembang dan berubah,diprlukan konsep yang matang dan detail. Sehingga tidak mengulangi eksperimen dan pengalaman sejarah yang dilakukan perguruan-perguruan tinggi umum dan agama yang didirikan agama maupun swasta. Pengembangan ini berada dalam kerangka dan semangat harmonis keilmuan dan keagamaan, bukannya keterpisahan antara keduanya  mekipun berada dabawah satu atap kampus. Hal ini penting untuk memberikan landasan moral Islam terhadap Ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sosial ekonomi, dan sosial budaya, sosial politik dan sosial keagamaan ditanah air sekaligus mengartikulasikan ajaran Islam sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, humaniora dan sosial kontemporer. Selain alasan diatas, sejak tahun 1980, madrasah aliyah yang ada diindonesia, yang jumblah muridnya tidak kurang dari 800.075 siswa telah berubah orientasi. Pada awalnya perbandingan muatan mata pelajaran agama dan umum 70:30, tetapi sejak tahun 1994 menjadi 30:70 dan pada tahun 2000/2001 kurikulum madrasah aliyah 100% sama dengan kurikulum SMU dengan penekanan pendidikan umum yang bercirikan Islam.[25]
Dengan perubahan tersebut, maka para lulusan Madrasah Aliyah yang jumlahnya sangat signifikan, juga mengalami perubahan orientasi untuk memilih program studi umum diperguruan tinggi,sementara yang lain mengambil program studi agama. Hanya saja kecenderungan dikotomistik yang berjalan selama ini masih menghantui banyak kalangan dan tidak bisa menolong krisis yang dialami oleh paradigma ilmu-ilmu sekular maupun ilmu-ilmu keagamaan dalam bentuknya yang terpisah seperti yang selama ini berjalan.
Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan,yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,diri-sendiri,dan lingkungan hidup maupun fisik,sosial mau[un budaya secara global. Seperangkat aturan-aturan,nilai-nilai umum dan prinsip dasar inilah yang sebenarnya disebut syariat. Kitab suci Al-Quran merupkan petunjuk etika,moral,akhlak,kebijkasanaan dan dapat menjadi teologi ilmu serta grand theory ilmu. Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu yang seperti seringkali diklaim oleh ilmu-ilmu sekular.
Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan dan sedikit pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua macam,yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengethuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris.
Modernisme dan sekularisme sebagai hasil turunannya yang menghendaki diferensiasi yang ketat dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman,spesialisasi dan penjurusan yang sempit dan dangkal mempersempit jarak pandang atau horizon berpikir. Pada peradapan yang disebut pasca modern perlu ada perubahan-perubahan yang dimaksud adalah gerakan resakralisasi (penyatuan atau rujuk kembali). Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antar agama dan sector-sektor kehidupan lain,termasuk agama dan ilmu.
Agama menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu, baik, buruk, tujuan ilmu, manfaat, merugikan. Dimensi aksiologi dalam teologi ilmu ini penting untuk digaris bawahi, sebelum manusia keluar untuk mengembangkan ilmu. Selain ontology keilmuan, epistemology keilmuan,agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan. Ilmu yang lahir dari induk agama menjadi ilmu yang objektif. Dalam arti bahwa ilmu itu tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non agama, dan anti agama sebagai norma, tetapi sebagai gejala keilmuan yang objektif semata. Meyakini latar belakang agama yang menjadi sumber ilmu atau tidak menjadi masalah,ilmu yang belatar belakang agama adalah ilmu obyektif, bukan agama yang normatif. Maka objektifikasi ilmu adalah imu dari orang beriman untuk seluruh manusia,tidak hanya orang yang beriman saja, lebih-lebih bukan hanya untuk pengikut agama tertentu saja.


BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Fenomenologi agama berusaha memberikan uraian terpadu tentang semua fenomena keagamaan yang beraneka ragam, dan karena itu merupakan komplemen sistematik bagi sejarah agama. Sejarah agama-agama memberikan analisis historis, sementara fenomenologi agama memberi kita sintesis yang sistematis. Adapun tujuan fenomenologi telah diekspresikan dalam berbagai bentuk sebagai penelitian kepada pola dan struktur, atau esensi agama di balik keragaman ekspresinya atau sebagai pemahaman terhadap sifat unik fenomena keagamaan atau bahkan untuk memahami peran agama dalam sejarah dan kebudayaan.
UIN Sunan Kalijaga dengan Integrasi-interkoneksinya yang diperkenalkan oleh M. Amin Abdullah, yaitu mengkaji satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya dan melihat kesaling-terkaitan antar berbagai disiplin ilmu. Dalam kontaks UIN Sunan Kalijaga, bahwa integrasi adalah menghubungkan dan sekaligus menyatukan antara dua hal atau lebih (materi, pemikiran, atau pendekatan); sedangkan interkoneksi adalah mempertemukan atau menghubungkan dua hal atau lebih (materi, pemikiran, atau pendekatan) karena tidak memungkinkannya untuk dilakukan penyatuan.
Sudah seharusnya perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi Islam di Indonesia secara sadar harus berani mengkaji ulang visi, misi dan paradigma keilmuan. Yaitu  pada bangunan ilmu pengetahuan yang dikatomi antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama harus diubah menjadi ilmu pengetahuan baru yang lebih holistik-integralistik atau paling tidak bersifat komplementer.

B.            Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kepadanya penulis akan lebih focus dan details dalam menjelaskan tentang maklah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisa juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah dijelaskan.














DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, dkk. 2007. ISLAMIC STUDIES Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi. Yogyakarta: Suka Press
Abdullah, Amin. 2012. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Djam’annuri. 2003. Studi Agama-Agama Sejarah dan Pemikiran. Yogyakarta: Pustaka Rihlah.
Permata, Norma Ahmad. 2000. Metodologi Studi Agama .Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset
Riyanto, Fajar Waryani. 2013. INTEGRASI-INTERKONEKSI KEILMUAN Biografi Intelektual M. Amin Abdullah. Yogyakarta: Suka Press
Faiz, Fahrudin. 2007. ,”Mengawal perjalan Sebuah Paradigma” dalam Fahrudin Faiz(ed). Islamic studies dalam paradigm integrasi dan interkoneksi. Yogyakarta:  SUKA Pres





[1] Djam’annuri, Studi Agama-Agama Sejarah dan Pemikiran (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003), hal. 128.
[2] Ibid., hal. 157.
[3] Ibid., hal. 152.
[4] Djam’annuri, Studi Agama-Agama Sejarah dan Pemikiran (Yogyakarta: Pustaka Rihlah,  2003),  hal. 128.
[5] Ibid., hal.139. 
[6] Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), hal.367.  
[7] Ibid.,
[8] Ibid., hal.368.
[9] Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), hal.375.
[10] Ibid., hal. 379.
[11] Djam’annuri, Studi Agama-Agama Sejarah dan Pemikiran (Yogyakarta: Pustaka Rihlah,  2003),  hal. 153.
[12] Ibid, hal. 154-155
[13] Ibid, hal. 155.
[14] Waryani Fajar Riyanto, INTEGRASI-INTERKONEKSI KEILMUAN Biografi Intelektual M. Amin Abdullah (1953 - …) (Yokyakarta: SUKA Press, 2013), hal. 763.
[15] Ibid., hal. 768.
[16] Ibid., hal. 774.
[17] Ibid., hal. 779.
[18] Ibid., hal.792.
[19] Amin Abdullah, Islamic studies:Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi,(Yogyakarta:SUKA Press,2007) hal.vii

[20] Ibid, hal. viii
[21] Ibid, hal. ix
[22] M.Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekataan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006) hlm.              
[23]. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012), hal.9.
[24]. Ibid., hal 94.
[25]. Ibid., hal 101.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RAFTING DI SUNGAI ELO MAGELANG

Agar perjalanan liburan bersama keluarga di kawasan wisata Borobudur, Kabupaten Magelang, menjadi lebih lengkap, tak dapat dilewatkan pengal...