Selasa, 18 Juli 2023

RAFTING DI SUNGAI ELO MAGELANG



Agar perjalanan liburan bersama keluarga di kawasan wisata Borobudur, Kabupaten Magelang, menjadi lebih lengkap, tak dapat dilewatkan pengalaman menarik dalam menjelajahi keindahan alam yang menantang adrenalin. Salah satu pilihan yang menarik adalah kegiatan rafting atau arung jeram. 

Di Mungkid, para pengunjung memiliki kesempatan untuk mengexplore tiga sungai dengan tingkat kesulitan dan karakteristik yang berbeda. Terdapat Sungai Progo Atas, Sungai Progo Bawah, dan Sungai Elo. Dari ketiga sungai tersebut, Sungai Elo menjadi yang paling terkenal dan menarik perhatian para wisatawan. Letaknya berada di Desa Pare, Blondo Mungkid, Magelang.

Bagi para wisatawan yang belum pernah mencoba arung jeram atau rafting sebelumnya, Sungai Elo menjadi pilihan yang cocok. Pasalnya, sungai ini memiliki tingkat kesulitan dan bahaya yang rendah, sehingga aman untuk semua orang, termasuk mereka yang tidak bisa berenang atau anak-anak. Namun, penting untuk mencatat bahwa anak-anak perlu didampingi oleh orang dewasa.

Sungai Elo memiliki panjang sekitar 12 kilometer. Pengunjung dapat menikmati kegembiraan susur sungai bersama keluarga dengan waktu tempuh sekitar 2,5 jam hingga 3 jam, tergantung pada volume air sungai pada saat itu.

Selama melakukan rafting, pengunjung dapat merasakan keseruan saat mengarungi sungai dengan arus yang cukup kuat dan melintasi rintangan-rintangan seperti jeram yang menghasilkan ombak yang memecah. Mereka juga bisa merasakan sensasi ketika perahu terjebak di antara batu-batu. Bahkan, yang lebih menarik lagi, pengunjung diperbolehkan untuk terjun ke sungai dan berenang langsung saat melewati bagian sungai yang lebih tenang. Namun, penting untuk mendapatkan izin terlebih dahulu dari operator yang mendampingi.

Salah satu bonus yang dapat dinikmati oleh para peserta rafting di Sungai Elo adalah kesempatan untuk menikmati segarnya kelapa muda dan camilan tradisional di tengah perjalanan. Mereka dapat beristirahat sejenak sambil menikmati pemandangan alam di area istirahat yang berupa gubuk. Ada juga opsi untuk duduk santai dan menikmati suasana sungai di sekitar batu-batu di tepi sungai.

Setelah istirahat yang memuaskan, peserta dapat melanjutkan perjalanan rafting hingga mencapai titik akhir yang telah ditentukan. Biasanya, titik akhir berada di bawah sebuah jembatan besar.

Penting untuk dicatat bahwa selama perjalanan rafting di Sungai Elo, para peserta akan ditemani oleh seorang sopir perahu yang ahli. Mereka juga akan bertindak sebagai pemandu selama perjalanan rafting berlangsung.

Para peserta rafting juga akan disediakan dengan peralatan dan perlengkapan lengkap dan aman untuk kegiatan arung jeram. Ini termasuk pelampung, helm, dan dayung. Selain itu, skeeper juga akan membawa peralatan penyelamatan atau rescue. Walaupun begitu, peserta juga perlu melakukan persiapan sendiri, seperti memakai pakaian yang nyaman dan menghindari penggunaan perhiasan berlebihan. Penggunaan alas kaki, seperti sandal outdoor, juga diwajibkan karena tanpa alas kaki dapat membahayakan diri sendiri.

Tarif untuk rafting di Sungai Elo biasanya disesuaikan dengan paket perjalanan yang ditawarkan, dimulai dari Rp 650 ribu per perahu. Tarif ini biasanya sudah termasuk peralatan untuk arung jeram, makanan besar, snack, kelapa muda, retribusi, dan asuransi. Satu perahu dapat menampung hingga enam orang.

Ada banyak operator yang menyediakan layanan rafting di Sungai Elo, salah satunya adalah Citra Elo Rafting. Basecamp Citra Elo Rafting berlokasi di Jl. Sendangsono No.KM. 0.2, Kanden, Progowati, Kec. Mungkid.

Sebagai rekomendasi, waktu yang terbaik untuk melakukan rafting di Sungai Elo adalah di pagi hari. Terutama jika debit air sungai sedang tinggi, para wisatawan akan merasakan kegembiraan saat menghadapi ombak yang besar.



Minggu, 10 Januari 2021

 


Tobat Wanita Pezina

Dikisahkan dalam hadis: Dari Imran bin Husain bahwa seorang wanita dari Juhainah datang menghadap kepada Nabi Muhammad Saw., padahal dia sedang hamil akibat melakukan zina. Wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah melanggar hukum, oleh karena itu tegakkanlah hukuman itu (rajam) ke atasku.”

Setelah itu, Nabi Muhammad Saw., memanggil wali perempuan itu dan bersabda kepadanya, “Rawatlah wanita ini sebaik-baiknya, apabila ia telah melahirkan dan menyusui anaknya selama 2 tahun, bawalah ia ke hadapanku.” Selanjutnya, walinya melakukan pesan tersebut. Setelah itu, Nabi Saw., memerintahkan untuk merajam wanita tersebut, maka pakaian wanita tersebut dirapikan (agar auratnya tidak terbuka ketika dirajam), kemudian Beliau memerintahkan agar ia di rajam.

Setelah dirajam, Beliau menyalatkan jenazahnya, tetapi hal itu menjadikan Umar bin Khattab bertanya kepada beliau, “Wahai Nabi Allah, perlukah ia dishalatkan ? bukankah ia telah berzina ?” Beliau menjawab, “Sungguh, ia telah bertaubat kalau sekiranya taubatnya dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, pasti tobatnya akan mencukupi mereka semua. Adakah tobat yang lebih utama (hebat) daripada menyerahkan nyawa kepada Allah Ta’ala secara ikhlas ?”

Sumber: Shahih Muslim No. 3209 dan Sunan Abu Dawud No. 3.852

Minggu, 10 Maret 2019

KERAJAAN ISLAM DI JAWA (KERAJAAN DEMAK, BANTEN, CIREBON, PAJANG, MATARAM)


KERAJAAN ISLAM DI JAWA
(KERAJAAN DEMAK, BANTEN, CIREBON, PAJANG, MATARAM)
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebelum Islam masuk ke pulau Jawa, mayoritas masyarakat Jawa masih menganut ajaran Hindu dan Buddha. Hal ini didukung oleh fakta sejarah yang menerangkan bahwa terdapat kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa. Kerajaan-kerajaan tersebut sangat tangguh dan kokoh hingga peninggalan dari kerajaan Hindu dan Buddha masih dapat kita lihat saat ini, seperti Candi Prambanan, Candi Borobudur, dan sebagainya.
Islam datang ke pulau Jawa melalui beberapa jalur seperti jalur perdagangan, perkawinan, dan sebagainya. Proses Islamisasi di Jawa juga terjadi karena adanya peran dari Walisongo. Walisongo adalah para wali yang merintis dan menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Peran Walisongo tidak hanya sebagai penyebar ajaran Islam, melainkan dalam bidang politik, Walisongo juga berperan sebagai penasihat agama bahkan menjadi pemimpin agama di beberapa kerajaan Islam di Jawa. Proses Islamisasi berkembang sangat cepat hingga muncul beberapa kerajaan yang bercorak Islam di Jawa. Makalah ini akan membahas bagaimana perkembangan ajaran agama Islam di pulau Jawa serta beberapa kerajaan Islam yang ada di Jawa.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta peran Kerajaan Demak dalam proses Islamisasi di Jawa?
2.      Bagaimana sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta peran Kerajaan Cirebon dalam proses Islamisasi di Jawa?
3.      Bagaimana sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta peran Kerajaan Banten dalam proses Islamisasi di Jawa?
4.      Bagaimana sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi perekonomian, peran dalam kebudayaan, serta kemunduran Kerajaan Pajang di Jawa?
5.      Bagaimana sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi sosial, ekonomi, dan politik, perkembangan dan peradaban Islam, serta kemunduran dari Kerajaan Mataram di Jawa?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta peran Kerajaan Demak dalam proses Islamisasi di Jawa?
2.      Untuk mengetahui sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta peran Kerajaan Cirebon dalam proses Islamisasi di Jawa?
3.      Untuk mengetahui sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta peran Kerajaan Banten dalam proses Islamisasi di Jawa?
4.      Untuk mengetahui sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi perekonomian, peran dalam kebudayaan, serta kemunduran Kerajaan Pajang di Jawa?
5.      Untuk mengetahui sejarah berdirinya, sistem pemerintahan, kondisi sosial, ekonomi, dan politik, perkembangan dan peradaban Islam, serta kemunduran dari Kerajaan Mataram di Jawa?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kerajaan Demak
1.      Sejarah Berdirinya Kerajaan Demak
Kerajaan Demak adalah sebuah kerajaan yang terletak di daerah Demak, Jawa Tengah. Pendiri kerajaan Demak adalah Pangeran Jinbun atau lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah. Menurut sumber sejarah, Pangeran Jimbun merupakan keturunan dari Raja Brawijaya yang menikahi seorang wanita dari Cina.[1] Ibu kandungnya yang merupakan seorang putri Cina menjadi selir Raja Brawijaya yang terakhir. Ketika sedang hamil, putri Cina tersebut dihadiahkan pada seorang anaknya yang bernama Arya Damar, seorang gubernur di Palembang.[2]
Setelah dewasa, Raden Patah kemudian pergi ke Jawa Timur untuk berguru dengan Sunan Ampel. Dikisahkan dalam buku Babad Tanah Jawa, Sunan Ampel memiliki tiga orang putri, dan salah satu putrinya akan dinikahkan dengan Raden Patah, yaitu Nyai Ageng Mendaka. Setelah menikah dengan Nyai Ageng Mendaka, atas nasihat Sunan Ampel, Raden Patah berkelana dan menemukan sebuah tempat bernama Glagah Wangi. Raden Patah kemudian membuka dan membangun desa di Glagah Wangi hingga banyak orang yang tinggal menetap disitu. Mereka diajari agama Islam, sembahyang lima waktu, dan tiap rumah memiliki surau/langgar.

2.      Sistem Pemerintahan
Dalam sistem pemerintahan, kekuasaan tertinggi berada di tangan Raja. Menurut Graaf dan Pigeaud, Raden Patah memiliki gelar Panembahan Sayyidin Panata Gama.[3] Demak kemudian dijadikan pusat dan benteng agama Islam.
Pada masa pemerintahan Raden Patah, disusun angkatan perang yang bertugas sebagai penjaga negara dan penjaga agama Islam. Hal ini dilakukan agar agama Islam unggul dan terus berkembang sesuai dengan keinginan para pendahulunya (Walisongo). Dalam pelaksanaan hukum, Raden Patah menyusun suatu kitab undang-undang dan peraturan dalam pelaksanaan hukum yang dikenal sebagai Salokantara. Di dalamnya menerangkan tentang pemimpin keagamaan yang pernah menjadi hakim yang disebut dharmadhyaksa. Raden Patah juga membuat siasat politik yaitu :
a.       Menghancurkan kekuatan Portugis di luar Indonesia
b.      Membuat pertahanan yang kuat di Indonesia
Usaha melawan Portugis belum selesai ketika pada tahun 1518 Raden Patah wafat. Beliau pun digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati Unus. Namun, Adipati Unus hanya memerintah selama tiga tahun sehingga usahanya sebagai negarawan tidak banyak diceritakan.[4]
Setelah Adipati Unus wafat, ia digantikan oleh saudaranya yang bernama Sultan Trenggana. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Demak diperluas hingga ke arah Barat, yaitu Banten, dan ke Timur hingga ke hulu sungai Brantas.
3.      Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
Dalam hal perekonomian, masyarakat Demak berkembang ke arah perdagangan maritim dan agraria. Dalam kemaritiman, Demak memiliki fungsi sebagai pelabuhan transit atau penghubung antara daerah penghasil rempah-rempah di daerah timur Malaka yang kemudian dibawa ke arah Barat. Dalam hal agraria, Demak memiliki daerah pertanian yang cukup luas sehingga hasil pertanian yang berupa beras kemudian di ekspor ke Malaka.[5]
4.      Peran dalam Proses Islamisasi
Dalam proses Islamisasi di wilayah Demak, kerajaan Demak berperan dalam pembangunan Masjid Agung Demak sebagai pusat peribadatan umat Islam. Dengan adanya masjid, umat Islam dapat membangun hubungan dengan pusat-pusat Islam Internasional di luar negeri.[6]

B.     Kerajaan Banten
1.      Sejarah Berdirinya Kerajaan Banten
Pada tahun 1524/1525, Nurullah atau Sunan Gunungjati pergi ke Banten dan meletakkan dasar bagi pengembangan agama dan perdagangan orang-orang Islam. Menurut cerita Jawa-Banten, Sunan Gunungjati menduduki Banten setelah berhasil menyingkirkan bupati Sunda dengan bantuan militer dari Demak.
Pada tahun 1527, Hasanuddin yang merupakan putra dari Sunan Gunungjati berhasil menduduki kota pelabuhan Sunda Kelapa. Hasanuddin yang semakin berkuasa dan tidak menghiraukan Demak yang sedang kacau sejak tahun 1550. Pada tahun 1568, ia memutuskan hubungan dengan Demak dan menyatakan dirinya sebagai raja pertama kerajaan di Banten.

2.      Sistem Pemerintahan
Dalam sistem pemerintahan, Hasanuddin mengikuti kebijakan ayahnya yaitu memperluas wilayah agama Islam, seperti ke Lampung dan wilayah sekitarnya. Pada saat pemerintahan Banten dipimpin oleh anak Hasanuddin yang bernama Yusuf, terdapat pimpinan agama yang dipegang oleh Maulana Judah (dari Jeddah).[7]

3.      Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
Pada masa pemerintahan Hasanuddin, dilakukan ekspansi wilayah hingga ke Lampung dan wilayah sekitarnya di Sumatera Selatan. Wilayah tersebut merupakan wilayah penghasil merica yang besar sehingga Banten menjadi kota pelabuhan yang disinggahi para pedagang dari Cina, India, dan Eropa.[8]
Peninggalan yang terdapat di kerajaan Banten adalah sebuah Meriam besar buatan Demak yang merupakan hadiah dari Sultan Trenggana sebagai tanda penghargaan atas hasil yang telah dicapai. Meriam yang diberi nama Ki Jimat tersebut masih dapat dilihat di Banten tepatnya di Kampung Karang Antu pada paruh pertama abad ke-20.[9] Selain itu, terdapat peninggalan sejarah berupa Keraton Surosowan, Masjid Agung dan Menara Banten, Masjid Pacinan Tinggi, dan makam-makam Sultan Banten.[10]

4.      Peran dalam Proses Islamisasi
Menurut Hoesein Djajadiningrat, penyebaran Islam di Banten dilakukan oleh Sunan Gunungjati pada tahun 1525 dan 1526 M. Setelah Pangeran Hasanuddin beranjak dewasa, tugas untuk menyebarkan agama Islam kemudian diserahkan pada Hasanuddin. Ia berkeliling ke daerah-daerah sehingga berangsur-angsur penduduk Banten memeluk agama Islam. Penyebaran Islam di Banten dilakukan melalui jalur kesenian, misalnya dengan akulturasi beberapa bangunan masjid, menara, dan kraton yang tidak terlepas dari pengaruh Hindu-Islam.[11]

C.    Kerajaan Cirebon
1.      Sejarah Berdirinya Kerajaan Cirebon
Menurut sejarah, pendiri kerajaan Cirebon adalah Nurullah atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunungjati. Nurullah berasal dari Pasei, kota pelabuhan tua di Aceh. Berdasarkan cerita Jawa Barat, Nurullah melakukan ibadah haji di Mekkah pada tahun 1521 dan kemudian kembali ke Demak pada tahun 1524. Ketika kembali ke Demak, ia menikahi saudara perempuan Sultan Trenggana.
Setelah menikah, Nurullah kemudian pergi ke Banten dan mendirikan pemukiman muslim. Menurut sejarah Banten, Sunan Gunungjati menetap di Banten hingga tahun 1552. Sunan Gunungjati yang memiliki daerah kekuasaan di Cirebon sebelumnya diserahkan pada putranya yang bernama Pangeran Pasareyan. Namun, pada tahun 1552, Pangeran Pasareyan wafat.[12] Kemudian, Nurullah yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunungjati pindah ke Cirebon, dan pemerintahan yang berada di Banten diserahkan pada anaknya yang bernama Hasanuddin.
Menurut cerita-cerita Jawa, tidak ada kepastian mengenai adanya keraton besar yang didirikan oleh Sunan Gunungjati. Cerita Jawa hanya menyebutkan bahwa Sunan Gunungjati menyuruh membuat masjid besar dengan gaya yang sama seperti Masjid Agung Demak. Tidak dibangunnya keraton besar di Cirebon kemungkinan karena Sunan Gunungjati masih berkedudukan di Banten hingga tahun 1552.[13]

2.      Sistem Pemerintahan
Kekuasaan pemerintahan yang kuat tidak dimiliki kerajaan Cirebon. Kerajaan Cirebon berusaha memperkuat kedudukan politiknya dengan perkawinan. Sunan Gunungjati yang menikah dengan saudara perempuan Sultan Trenggana dari Demak, ia menyuruh putranya, Hasanuddin dari Banten menikah dengan putri yang ditinggalkan raja.

3.      Kemajuan dalam bidang Budaya
Pada zaman pemerintahan Sultan Trenggana, Cirebon merupakan kota pelabuhan yang dihuni masyarakat Islam yang berdarah campuran Cina. Namun pada saat itu, Cirebon belum menjadi kota yang makmur. Sunan Gunungjati-lah yang berhasil mengubah Cirebon menjadi kota yang merdeka.[14]
Dalam bidang kebudayaan, keraton Cirebon banyak mengembangkan kegiatan sastra seperti mengarang nyanyian keagamaan Islam yang disebut Suluk yang bercorak mistis[15]

4.      Peran dalam Proses Islamisasi
Menurut cerita orang-orang pribumi, proses Islamisasi daerah Cirebon dilakukan oleh Sunan Gunungjati. Cirebon yang merupakan daerah kekuasaaan Kerajaan Sunda Pajajaran yang bercorak Hindu-Buddha. Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, proses Islamisasi di daerah Jawa Barat dilakukan. Misalnya, pada tahun 1525- 1526, penyebaran Islam ke Banten dilakukan dengan cara menempatkan putra Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana Hasanuddin yang kemudian menjadi pemimpin Kerajaan Banten. Penyebaran Islam tidak hanya dilakukan ke Banten, namun juga wilayah Priangan Timur antara lain ke Galuh pada tahun 1528 dan ke Talaga pada tahun 1530. [16]

D.    Kerajaan Pajang
1.      Sejarah Berdirinya Kerajaan Pajang
Kerajaan ini adalah dari kelanjutan kesultanan Demak. Sesuai tersebut dalam Serat Kandha dan Babad Tanah Jawa disebutkan sebagai mana tertulis dalam buku H.J. de Graff dan Th. Pigeaud, raja utama adalah putera Raja Pengging. Semasa kecil ia bernama Mas Kerabet ketika dewasa bernama Jaka Tingkir sesuai dengan tempat lahirnya. Setelah dewasa ia menikah dengan puteri Sultan Trenggana, dan dia membentuk keraton Demak. Konon ada yang mengatakan ia cucu dari Sunan Kalijaga. Dia terkenal orang yang sangat pandai mengatasi keadaan yang sedang berkecamuk.
Jaka Tingkir adalah raja pertama Kerajaan Pajang, ia berkuasa karena mengambil alih kekuasaan yang pada waktu itu kerajaan Demak sedang kekacauan terjadi pembunuhan sesuhunan Pawoto yang di bunuh oleh Aria Penangsang penguasa Jipang (Bojonegoro) pada tahun 1546 M. setelah ia memerintah menarik semua benda pusaka dipindah ke Pajang, dan ia menjadi raja yang paling berpengaruh di pulau Jawa ia bergelar Sultan Adiwijaya.[17]

2.      Sistem Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Sultan Adiwijaya, ia memperluas kekuasaan di tanah pedalaman ke arah timur samping Bengawan Solo terbesar. Setelah itu dia berturut-turut menguasai Blora (1554 M.), dan Kediri (1577M.). Pada tahun 1581 M., ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai Sultan Islam dari raja-raja terpenting di Jawa Timur, pada umumnya hubungan keraton Pajang dengan keraton Timur memang bersahabat.[18]
Setelah Jaka Tingkir meninggalkan dunia pada tahun 1587, para penggantinya tidak dapat mempertahankan pemerintahnya. Ahli waris Sultan Pajang  ialah tiga orang putra menantu; yaitu raja di Tuban, raja di Demak, dan raja di Araos Bayu, di samping putranya sendiri, Pangeran Banawa, yang kono masih sangat muda. Oleh karena itu, dia disingkirkan oleh Arya Panggiri (dari Demak) dan dijadikan adipati di Jipang. Sebagai pemimpin Pajang adalah Arya Panggiri. Ternyata, tindakan-tindakannya banyak yang merugikan rakyat sehingga menimbulkan rasa tidak senang di mana-mana.
Keadaan semacam itu dimanfaatkan oleh Pangeran Benawa untuk merebut kembali kekuasaannya. Usahanya berhasil, sesudah menjadi pertempuran pada tahun 1588. Selanjutnya, Arya Panggiri di kembalikan ke Demak kemenangan tersebut atas peran Senopati mataram yang dianggapkannya sebagai kakak. Namun, baru satu tahun memerintah, dia wafat. Meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa dia meninggalkan Pajang, menuju Parakan (Kedu).
Setelah itu memerintah Pajang banyak dikendalikan oleh orang-orang Mataram. Buktinya, Senopati Mataram mengangkat Gagak Bening, yang memerintah sampai dengan tahun 1592. Senopati Mataram mengendalikan Pajang sampai dengan tahun 1618.[19]

3.      Perekonomian Pajang
Pada abad ke 16 dan 17 Pajang sangat maju di bidang pertanian, sehingga merupakan lumbung beras terkemuka pada zamannya. Pusat kerajaan Pajang berada di dataran rendah tempat bertemuan sungai Pepe dan Dengkeng (yang kedua-duanya bermata air di lereng Gunung Merapi) dengan Bengawan Solo. Air cukup sepanjang tahun. Irigasi dapat di pastikan lancar, sehingga pertanian Pajang maju.
Penguasa-penguasa Pajang pun rupanya bercita-cita pula untuk membangun suatu negeri kombinasi agraris-maritim dengan daerah induk Panjang sebagai tulang panggung daerah agraris penghasil peras serta pelabuhan ekspor di muara Bengawan Sala yang stategis di jawa Timur seperti Gresek dan daratan. Keadaan yang terakhir inilah yang sebenarnya mempersulit tercapainya cita-cita yang sangat ideal itu, karena Bengawan Sala tidah bermuara di Jawa tengah seperti di demak misalnya, melaikan di Jawa Timur. Bagai mana pun untuk mencapai cita-cita sebagai Negara agraris-maritim, Pajang harus berorientasi ke Jawa Timur , kerena di sanalah terdapat pelabuhan untuk ekspor besarnya.[20]

4.      Peranan Pajang di bidang Budaya
Pajang mempunyai peranan penting dalam memperkenalkan gaya-gaya arsitektur. Sastra dan seni lainya yang di ambil-alih dari Demak dan Jepara ke daerah pedalaman Jawa Tengah. Karaton Pajang sendiri dibangun menurut model arsitektur keraton Demak.
Sastra jawa pada masa Pajang juga telah hidup dan dihayati oleh rakyat . pada parut kedua abad ke-16   pengarang karang Gayam, pujangga keraton Pajang, telah menulis kitab Nitisruti yang mengandung ajaran-ajaran moral Jawa.
Dua tokoh penyebar agama di wilayah Pajang adalah Syekh Siti Jenar mengajarkan islam yang bersifat mistik dan sinkretis. Daerah penyebaran ajaran Syakh Siti Jenar diperkirakan sekitar Pengging. Sedang Sunan Tembayat menyebarkan agamanya jauh di sebelah Selatan, di Tembayat, Klaten, sesuai dengan asalnya dari Semarang, Sunan tembayat menyiarkan agama islam yang lebih puritan.
Suatu tradisi religius yang diperkirakan juga berasal dari abad ke 16 adalah pesta apem yang disebut Angka Wiyu  di Jatinom di daerah Klaten sekarang, yang pada masa itu juga termasuk wilayah Pajang. Letaknya pun tidak jauh dari Pengging. trandisi religius itu dilaksanakan dan dirakyatkan dengan menyembarkan dengan kue apem di atas kepala para pengunjung untuk diperebutkanya.[21]

5.      Berakhirnya Kerajaan Pajang
Sultan Adiwijaya meninggal pada tahun 1587. Kemudian di makamkan di Butuh, yang terletak tidak jauh di sebelah Barat taman kerajaan Pajang. Makam itu hingga kini masih dikenal sebagai makam Aji.
Sepeninggal Sultan Adiwijaya pada 1587 itu kerajaan Pajang ditaklukkan oleh negara bawahannya, Mataram. Pemberontakan Pajang terhadap Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung telah menghancurkan Pajang untuk selama-lamanya. Pemberontakan ini terjadi pada 1617-1618 dan memperleh duungan dari pihak-pihak yang tidak puas di Mataram. Pemberotakan Pajang ini mudah dipahami pula, karena secara ekonomis Pajang senantiasa ditekan, dahulu oleh Demak dan sekarag oleh Mataram. Menurut catatan VOC pemberontakan itu terjadi pada masa musim kering yang luar biasa hebatnya yang berlangsung dari 1618-1624.
Sebagai hukuman atas pemberontakan yang berupa tidak mau menyetorkan hasil berasnya kepada Mataram, sawah-sawah di Pajang yang padinya sedang menguning dibakar habis oleh pasukan Mataram. Para petani yang terlibat dalam pemberontakan itu kemudian diangkut paksa ke Mataram. Tenaga mereka dmanfaatkan dalam pembangunan keraton baru di Plered yang letaknya 1 Km sebelah tumur laut Ibu Kota Mataram yang lama, Karta. Sesudah itu Pajang tidak lagi berarti baik politk atau pun ekonomi.[22]

E.     Kerajaan Mataram
1.      Sejarah Berdirinya Dinasti Mataram
Pendiri padam raja-raja dinasti Mataram adalah Ki Ageng Pemanahan. Diceritakan bahwa Ki Ageng Pemanhan adalah cucu Ki Ageng Sela (Sesela) yang bermukim di Sesela, di daerah Grobongan, sebelah selatan Demak. Dalam legenda Ki Ageng Sela diceritakan pernah menangkap kilat (petir) dengan tangannya. Mungkin legenda ini ada kaitanya dengan relief kilat (petir) pada pintu utama masjid Demak yang dikenal sebagai pintu bledeg (petir).
Ayah Ageng Pemanahan bernama Ki Ageng Ngenis, seorang hamba setia dari raja Adwijaya Pajang. Ia bertempat tinggal  di Lawiyan dan kemudian dimakamkan pula disitu. Letak Lawiyan tidak jauh di sebelah timur istana atau keraton Pajang. Lawiyan sekarang merupakan sebuah kampung di dalam kota Surakarta yang terkenal kaum saudagarnya.
Adapun nama Ki Ageng Pemanahan di ambil dari nama desa tempat tinggalnya pula, yaitu Manahan yang letaknya tidak jauh dari Lawiyan dan sekarang pun juga masuk kota Surakarta. Seperti kita tahu Ki Ageng Pemanahan bersama putranya, yaitu Senapati dan peserta Ki Penjawi berjasa terhadap raja Pajang dalam membunuh Aria Penangsang dari Jipang Panolan.
Ki Penjawi dihadiahi daerah Pati. Menurut Babad Tanah Jawa  hal ini didasarkan karena justru Ki Penjawi berusia lebih muda, sehingga lebih baik memperoleh daerah yang makmur dan telah berwujud kota, sedang Ki Ageng Pemanahan yang lebih tua sudah selayaknya harus mengalah, suatu sifat yang dihargai tinggi  oleh orang Jawa, sehingga dengan rela mau menerima tanah Mentaok (Mataram) yang masih berwujud hutan. Tetapi menurut Babad Pasundan, Ki Penjawi justru menerima daerah Pati, karena memang jasanya lebih besar dibandingkan dengan jasa Ki Ageng Pemanahan.
Diperkirakan Ki Ageng Mataram (Pemanahan) mulai membuka hutan dan membangun kota di Mataram sejak 1558, sebab pada tahun itu jugalah berakhirnya perang antara Pajang dengan Jipang. Padan 1577, ia menempati istana baru dan disebutnya Kodakede yang tidak jauh disebelah tenggara kota Yogyakarta sekarang.[23]

2.      Sistem Pemerintahan
Pemerintahan Mataram menetapkan peraturan bagi pengusa setempat wajib bayar upeti. Pada abad ke-16, Mataram mengadakan peluasan daerah kekuasaan dari Malaka sampai Cirebon. Puncak raja Mataram berkuasa, ia menguasai kerajaan Madiun (1590 M.), pada tahun 1591 M, ia berusaha menduduki kerajaan Madiun.[24]
3.      Kondisi Ekonomi, Sosial dan Budaya
·         Ekonomi
Dilihat dari letak geografisnya yang berada di pedalaman dan memiliki tanah yang subur, menjadikan kerajaan Mataram sebagai daerah pertanian (agraris) yang cukup berkembang, bahkan menjadi daerah pengekspor beras terbesar pada masa itu. Rakyat Mataram juga banyak melakukan aktivitas perdagangan laut.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) yang merupakan puncak kejayaan Mataram terlihat penyatuan kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Jawa tidak hanya menambah kekuatan politik, tetapi juga kekuatan ekonomi, dengan demikian ekonomi Mataram tidak semata-mata tergantung ekonomi agraris, tetapi juga karena pelayaran dan perdagangan.

·         Sosial budaya
Pada masa kebesaran Mataram, kebudayaan juga berkembang antara lain seni tari, seni pahat, seni sastra dan sebagainya. Disamping itu muncul kebudayaan kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan asli Hindu, Buddha dengan Islam. Upacara Grebeg yang bersumber pada pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi sejak zaman Majapahit dijatuhkan pada waktu perayaan hari besar Islam, sehingga muncul Grebeg Syawal pada hari raya Idul Fitri, dan Grebeg Maulud padad bulan Rabiul awal. Adanya suasana yang aman, damai dan tenteram, maka berkembang juga kesustraan Jawa.[25]

4.      Perkembangan agama dan peradaban Islam di Mataram
Penggunaan gelar Sayyidin Panatagama oleh Senapati menunjukkan bahwa sejak awal berdirinya Mataram telah dinyatakan sebagai negara yang bercorak Islam. Raja berkedudukan sebagai pemimpin dan pengaturagama. Kedudukan kepemimpinan agama tersebut kemudian diperjelas lagi dengan tambahan gelar Kalipatullah, wali Tuhan di dunia.      Mataram menerima agama dan peradaban Islam dari kerajaan-kerajaan Islam pesisir yang lebih tua. Sunan Kalijaga, sebagal moyang dan penghulu terkenal Masjid Suci di Demak mempunyai pengaruh besar di Mataram. Tidak saja sebagai pembimbing rohani dalam penghayatan agama, tetapi juga tidak kalah penting Sunan Kalijaga dipandang pula oleh Senapati sebagai pembimbing rahanu di bidang politik. Hubungan-hubungan erat antara Cirebon dengan Mataram memiliki peranan penting bagi perkembangan Islam di Mataram. Sifat mistik Islam dari Keraton Cirebon merupakan unsur yang menyebabkan mudahnya isiam diterima oleh masyarakat Jawa di Mataram. Islam tersebut tentu saja adalah islam Islam sinkretis yang menyatukan diri dengan unsur-unsur pra-Hindu dan unsur-unsur Hindu-Buddha.[26]

5.      Masa Kemunduran
Kharisma Mataram menjadi turun semenjak mangkatnya Sultan Agung di bulan Februari 1646 dan diganti putranya "Susuhunan Amangkurat I”
Raja baru Mataram yang menggunakan gelar Susuhunan (artinya yang disembah atau dipuji-bisa juga bearti Kaisar) ini disamping memerintah secara otoriter, kejam juga termasuk raja yang antipati terhadap ulama. Tercatat selama ia berkuasa telah membantai dua ribu ulama termasuk mertuanya; Sunan Giri.
Bersekongkol dengan Kompeni, berpola hidup ala Barat, dansa, minum-minuman keras dan lain sebagainya merupakan kebijak sanaan yang ditempuh. Ini berbeda dengan para pendahuluanya yang menghormati ulama dan antipati terhadap kompeni adapun Sultan Agung menjalin kerjia sama dengan Portugis itu sebatas demi kepentingan kerajaan atau dengan kata lain untuk membendung usaha penetrasi yang dijalankan oleh kompeni yang bermarkas di Batavia.
Sebagai akibatnya maka banyak daerah yang di masa Sultan Agung menjadi bawahan Mataram, melepaskan diri. Pemberontakan-pemberontakan pun tak bisa dihindarkan lagi, seperti: Trunojoyo (Madura), K. Kajoran (tokoh agama) dan anaknya sendiri Adipati Anom.
Masa kelam terus menvelimuti bumi bedahan Ki Pemanahan beserta putranya Panembahan Senopati dan mencapai kegemilangan pada masa Sultan Agung Hatta akhirnya di tahun 1755 M, Mataram terbagi menjadi dua bagian: Yogyakarta yang dipimpin Hamengkubuwono dan Surakarta dibawah kekuasaan Pakubuwono.[27]











BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Proses Islamisasi yang terjadi di pulau Jawa tidak terlepas dari peran penting kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, seperti Demak, Pajang, Mataram, Cirebon, dan Banten. Masyarakat Jawa yang dulunya memeluk agama Hindu, seperti kerajaan Majapahit misalnya, lambat laun mulai meninggalkan ajaran lama dan memeluk agama Islam. Hal ini disebabkan karena proses Islamisasi yang dilakukan dengan pendekatan budaya dan tanpa kekerasan, sehingga masyarakat dapat dengan mudah tertarik dan masuk agama Islam. Seperti melalui jalur kesenian wayang, Suluk, arsitektur, dan sebagainya. Kerajaan-kerajaan Islam yang terdapat di Jawa memegang peranan penting bagi terciptanya masyarakat muslim yang maju dan berkembang, baik dalam hal kepercayaan, ekonomi, sosial, politik, maupun budaya.










DAFTAR PUSTAKA

Harun Yahya. Kerajaan Islam Nusantara abad ke XVI dan XVII. (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995)
Daliman A., Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012)
Mukarrom Akhwan, Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia (Surabaya: Jauhar, 2010)
Syukur Fatah, Sejarah Peradaban Islam (Semarang : Pustaka Rizki Putra)
Yusuf Mundzirin, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006)
Erwantoro Heru, Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon (Bandung : Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2012)
Pigeaud dan Graaf, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
Said Hasani Ahmad, Islam dan Budaya di Banten (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2016)
SKI Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Yogyakarta : Pustaka, 2006), hlm. 76-77
Birsyada Muhammad Iqbal, Islamisasi di Jawa; Konflik Kekuasaan di Demak (Yogyakarta : Calpulis) hlm. 22
https://www.zonasiswa.com/2015/06/sejarah-kerajaan-demak-kehidupan.html . Diakses pada tanggal 5 Maret 2019 pukul 22.05



[1] SKI Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Yogyakarta : Pustaka, 2006), hlm. 76-77
[2] Muhammad Iqbal Birsyada, Islamisasi di Jawa; Konflik Kekuasaan di Demak (Yogyakarta : Calpulis) hlm. 22
[3] SKI Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, hlm. 78
[4] Ibid., hlm. 78
[5] https://www.zonasiswa.com/2015/06/sejarah-kerajaan-demak-kehidupan.html . Diakses pada tanggal 5 Maret 2019 pukul 22.05
[6] SKI Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, hlm. 80
[7] SKI Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, hlm. 90
[8] SKI Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, hlm. 90-91
[9] Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, hlm. 123
[10] Hasani Ahmad Said, Islam dan Budaya di Banten (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2016) hlm. 116
[11] Ibid., Islam dan Budaya di Banten.. hlm. 116
[12] Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, hlm. 117
[13] Ibid., hlm. 117
[14] Ibid., hlm. 117
[15] Ibid., hlm. 119
[16] Heru Erwantoro, Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon (Bandung : Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2012) hlm. 173
[17] Drs. H. Fatah Syukur NC,M.Ag,Sejarah Peradaban Islam,PT. semarang penerbit:pustaka Rizki Putra, hlm 205-206
[18] Ibid, hlm 206                                                                                                                   
[19] Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006) hlm 82-83
[20] Prof. A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm 172-174
[21] Ibid, hlm 172-173
[22] Ibid, hlm 174-176
[23] Ibid 179-180
[24] Drs. H. Fatah Syukur NC,M.Ag,Sejarah Peradaban Islam,PT. semarang penerbit:pustaka Rizki Putra,hlm 207
[25] Akhwan Mukarrom, Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia (Surabaya: Jauhar, 2010), hal 29
[26] Prof. A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm 190
[27] Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara abad ke XVI dan XVII, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hal.27-28

RAFTING DI SUNGAI ELO MAGELANG

Agar perjalanan liburan bersama keluarga di kawasan wisata Borobudur, Kabupaten Magelang, menjadi lebih lengkap, tak dapat dilewatkan pengal...